Kamis, 23 Desember 2010

MENATA INDUSTRI GULA AREN UNTUK BAHAN BAKU KECAP YANG AMAN

MENATA  INDUSTRI   GULA AREN  UNTUK  BAHAN  BAKU KECAP  YANG  AMAN

Oleh : Dian Kusumanto

                  Beberapa bulan yang lalu kita sempat dikejutkan dengan ditariknya produk Mie instan asal Indonesia di luar negeri.   Kita sebagai bangsa yang ikut bangga karena produk Indonesia sudah mendunia jadi merasakan kekhawatiran juga, meskipun toh itu persoalan intern di produsennya.  Produk yang dimaksud adalah Indomie instan yang diedarkan di Taiwan.

Taiwan memang dikenal sebagai negara yang tingkat konsumsi mie perkapitanya paling tinggi se dunia, kalau tidak salah sekitar 65 bungkus/kapita/tahun, sedangkan Indonesia mencapai 35 bungkus/kapita/tahun, lebih tinggi sdikit dibandingkan dengan negara asal mie itu sendiri yaitu China yang mencapai 34 bungkus/kapita/tahun.   Produk mie instan yang sudah mendunia itu antara lain adalah produksi Indonesia, yaitu Indomie.

Ternyata yang menjadi titik masalah bukan berasal dari bahan utama mienya, tetapi dari bumbu tambahannya yaitu kecapnya.  Memang kecap biasanya ditambahkan pada mie goreng instan, sebagai penyedap dan pembentuk warna agak gelap.   Sebenarnya bumbu kecap yang ada pada Indomie Goreng instan ini hanya sedikit saja, yaitu sekitar 4 gram, dari mie instan yang beratnya hampir 100 gram.   Namun ternyata pada kecap inilah bahan yang menjadi sebab penarikan  produk tersebut terkandung.  Dalam mi instan, bahan nipagin hanya terdapat dalam bumbu kecap yang beratnya sebesar 4 gram, sehingga kandungan nipaginnya hanya sebesar satu miligram per bungkus mi instan.

Zat pengawet yang ditengarai menjadi penyebab penarikan mie instan di Taiwan adalah Nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate.  Zat pengawet ini terdapat pada kecap yang disertakan dalam kemasan mie instan khususnya jenis mie goreng. 

" Zat pengawet nipagin digunakan dalam kecap mie instan buatan Indofood.  Tapi kalau sausnya menggunaan pengawet lain yaitu asam benzoat. Tentunya, kandungan pengawet dalam Indomie sudah memenuhi syarat aman yang ditentukan. Bahkan, kandungannya jauh sekali di bawah ambang batas yang dapat diterima tubuh untuk konsumsi sehari-hari atau ADI (Acceptable Daily Intake),"  ungkap Roy Sparingga, Deputi Keamanan Makanan Badan POM, kepada KOMPAS.com, Senin (11/10/2010).

 Penggunaan Nipagin telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988 tentang bahan tambahan pangan. Apabila dipakai dalam produk kecap, penggunaan batas maksimum adalah 250 mg per kg. Dalam makanan lain, kecuali daging, ikan dan unggas, batas maksimum penggunaan adalah 1.000 mg per kg.

 Nipagin atau metil p-hidroksibenzoat memiliki nama lain yaitu metilparaben dengan rumus kimia CH3(C6H4(OH)COO). Metilparaben adalah jenis araben yang dapat dihasilkan secara alami dan ditemukan di sejumlah buah-buahan terutama blueberry. Paraben yang banyak digunakan adalah propilparaben dan butilparaben.

Paraben secara teknis dikenal sebagai ester dari asam para-hidroksibenzoat. Bahan ini dikembangkan dari asam organik dan alkohol. Walaupun dapat dihasilkan secara alami, namun karena penggunaanya secara masal, paraben diproduksi dengan cara sintetis.

Sejauh ini belum ada bukti bahwa metilparaben dapat menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan pada konsumsi tertentu. Metilparaben juga dapat dimetabolisme oleh bakteri tanah sehingga benar-benar terurai. Metilparaben mudah diserap dari saluran pencernaan atau melalui kulit. Di dalam tubuh metilparaben dihidrolisis menjadi asam p-hidroksibenzoat dan cepat dikeluarkan tanpa akumulasi dalam tubuh.   Pada makanan, metilparaben dapat ditemukan pada produk seperti :  Kecap,  Sereal, Produk Roti, Produk Susu Beku,  Minyak dan Lemak,  Selai, Sirup, Produk Coklat dan Kakao,  Minuman Kaleng, Bumbu-bumbu Kemasan,  Produk Daging, Ikan dan Unggas.

 Dari kajian persyaratan di beberapa negara seperti Kanada, Amerika Serikat, batas maksimum nipagin dalam pangan yang diizinkan itu 1.000 mg per kg. Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimumnya dalam kecap 250 mg per kg dan di Hongkong sebesar 550 mg per kg.

Berdasarkan data Badan POM, hingga saat ini, jumlah produk mie instan yang terdaftar di Indonesia adalah 663 item jenis dalam negeri dan 466 item jenis luar negeri.

Rupanya tidak hanya mi instan saja yang tak bisa masuk Taiwan lantaran mengandung bahan pengawet, tapi gula merah dan permen merek tertentu dari Indonesia juga dilarang masuk Taiwan. Tudingannya sama saja, yaitu mengandung bahan berbahaya.

“Untuk gula merah ditemukan mengandung pemutih, sehingga tidak bisa masuk Tiawan,” kata Bambang Mulyatno, Kepala Bidang Perdagangan, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) untuk Taipei di sela-sela rapat kerja di komisi VI DRP RI di Jakarta, Senin (11/10). Adapun untuk permen, pihak Departemen Kesehatan Taiwan juga menemukan adanya bahan berbahaya yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan.  Temuan kandungan pemutih pada gula merah dan permen yang bermasalah tersebut pernah terjadi sebelumnya.

Kalau kita amati apa saja komposisi pada Indomie “Mi Goreng Kriuuk.. 8x pedas” yang ada di pasaran, adalah sebagai berikut;

MI : Tepung terigu, minyak sayur, tepung tapioka, garam, pengatur keasaman, pemantap, mineral (zat besi), anti oksidan (TBHQ), pewarna makanan (Tartrazin Cl 19140).

BUMBU :  Gula, garam, penguat rasa mononatrium glutamat (MSG), cabe merah kering, perisa ayam, bubuk bawang putih, bubuk bawang merah,bubuk lada dan vitamin (A, B1, B6, B12, Niasin, Asam Folat, Pantotenat).

MINYAK :  Minyak sayur, cabe merah, bawang merah dan bawang putih.

KECAP MANIS : Gula, air, garam, kedelai, dan pengawet (natrium benzoat, metil p-hidroksibenzoat).

SAUS CABE : Cabe, gula, garam, rempah-rempah, pengental dan pengawet (natrium benzoat).

 Di setiap negara, batas maksimum pemakaian metil p-hidroksibenzoat atau nipagin atau metilparaben berbeda-beda. Di Kanada dan Amerika Serikat, batas maksimum penggunaan nipagin dalam pangan yang diijinkan adalah 1000 mg/kg. Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimum penggunaan adalah 250 mg/kg dan di Hongkong sebesar 550 mg/kg. Di Indonesia, batas maksimum penggunaan yang diijinkan adalah 250 mg/kg.


Gula merah dalam komposisi kecap

Seperti kita ketahui, kecap (yang manis bukan kecap asin) biasa dibuat dari aneka bahan nabati yang berasal dari kacang-kacangan, bumbu rempah maupun bahan yang mengandung protein hewani, dan yang paling dominan adalah gula merah.   Gula merah dalam pembuatan kecap ini bisa berasal dari gula kelapa, gula merah dari tebu, gula merah dari siwalan atau gula merah dari Aren alias gula Aren.  Gula merah sebagai komponen utama pembuatan kecap digunakan dalam jumlah lebih dari 60 % bahan.

Di bawah ini disajikan perbandingan komposisi bahan utama pembuatan kecap dari berbagai jenis kecap yang berasal dari berbagai sumber.

No.

Jenis Kecap

Gula Merah

Kedelai

Bahan utama lainnya

Air

1.

Kecap Manis

(idea_boedi)

2 kg

0,5 kg (kedelai hitam)

-

4 liter

2.

Kecap Manis  Air kelapa (Tabloid Lezat)

0,6 kg

-

Air Kelapa  4 liter

-

3.

 Kecap Manis

6 kg

1 kg (kedelai hitam/putih)

0,8 kg garam

5,5 liter

4.

Kecap Air Kelapa (LIPI)

0,8 kg

0,2 kg kedelai bubuk

Air kelapa 2 liter,

keluwek 0,12 kg

-

(Diolah dari berbagai sumber oleh Aren Foundation 2010)


Kecap Manis dalam kemasan botol gelas

Lalu dimana letak masalahnya??

Letak masalahnya ada pada produsen gula merah yang kebanyakan adalah para perajin kecil yang kurang memperhatikan atau tidak mempedulikan mutu hasil dari gula merah itu.   Lalu dimana letak kesalahannya?   Ya, karena konsumen dalam hal ini pengguna produk (Indofood) belum sepenuhnya bisa mengontrol mutu gula merah dari para pemasoknya.   Para pemasok gula merah ini mengandalkan sebagian besar produk gula merah dari para perajin-perajin kecil yang jumlahnya sangat banyak itu.    Dapat dikatakan bahwa titik pangkat masalah itu bertumpu pada para produsen gula merah alias para perajin sekaligus penderes atau penyadap untuk gula merah, baik dari tanaman kelapa maupun aren.

Perajin Gula Merah Tradisional

Kalau kita coba untuk mengurai masalahnya, maka beberapa hal di bawah ini bisa jadi merupakan penyebabnya, yaitu antara lain :

1.       Mutu nira yang cenderung cepat menurun karena cepat mengalami fermentasi , sehingga para perajin/ penderes cenderung menggunakan bahan pengawet nira yang berlebihan atau tidak terukur.

Kapur gamping sering digunakan sebagai bahan pengawet Nira oleh para Perajin dengan diberikan pada wadah penampung Nira yang berada di atas pohon

2.       Cepat menurunnya mutu nira atau terjadinya fermentasi yang terjadi karena system penyadapan belum dilakukan secara baik dan steril, wadah penampungan kotor dan tidak steril, kebersihan wadah, pohon dan alat belum terjamin, serta perajin belum paham.

3.       Pola penampungan nira di atas pohon yang memperlambat/memperlama/ mempersulit system kerja perajin.

4.       Jarak antar pohon yang  produktif tidak beraturan atau saling berjauhan dengan tempat penampungan dan pengolahan nira menjadi gula.

5.       Atau secara keseluruhan adalah pola kerja perajin yang belum standard serta keadaan kebun yang belum teratur dan peralatan pemungutan nira, penampungan dan pengolahannya yang masih sangat sederhana.

6.       Bisa dikatakan juga bahwa bentuk-bentuk kemitraan yang ada masih lemah sehingga belum bisa berfungsi efektif pada control mutu gula merah tersebut.

Untuk memperbaiki mutu gula merah yang memenuhi standard sehingga aman untuk berbagai kebutuhan, khususnya dalam hal ini  sebagai bahan baku utama dari kecap, maka perlu dilakukan penataan dan pembenahan serta perbaikan seluruh systemnya.   Menurut saya beberapa hal di bawah ini jika dilakukan akan dapat mengangkat citra gula merah Indonesia lebih baik lagi, upaya dimaksud antara lain :

1.       Membangun pola kemitraan pra produksi, produksi sampai pemasaran gula merah (Aren) yang bisa mengontrol mutu gula merah sesuai standard yang ditetapkan.

2.       Membangun atau memperbaiki system industry gula rakyat  sehingga bisa bekerja sesuai SOP yang sudah disepakati, yang aman sesuai standard yang diharapkan.

3.       Pembinaan kepada para perajin gula merah secara terus menerus yang dilakukan oleh Pemerintah/ Mitra kerja/ pihak-pihak LSM kepada para pelaku usaha.

4.       Meminimalkan bahkan meniadakan penggunaan pengawet yang berbahaya bagi konsumen bahkan bagi para pelaku usaha sendiri.   Sebab pengawet kimia yang tidak alami dan yang berbahaya akan terakumulasi dalam produk gula merah yang dihasilkan dan tidak mengalami degradasi meskipun sudah atau saat pemasakan/ pemanasan, dan bahkan akan teroksidasi menjadi senyawa yang lebih berbahaya pada saat dipanaskan.

5.       Membangun/ menata kebun (kelapa siwalan dan Aren) yang memungkinkan mutu nira bisa dikontrol dengan baik, antara lain dengan beberapa aplikasi sederhana seperti :

  • a.       Jembatanisasi antar pohon
  • b.      Pipanisasi nira
  • c.       Pengamanan ujung sadapan
  • d.      Pengelolaan penyimpanan dan pengolahan yang cepat bersih dan efisien.
  • e.      Dan lain-lain lagi.

 Bagaimana menurut Anda???


Senin, 20 Desember 2010

Teknologi Membran untuk Produktifitas dan Efisiensi Industri Gula

Teknologi Membran untuk Produktifitas dan Efisiensi Industri Gula

Oleh : Wisnu EN 

Teknologi proses produksi gula yang digunakan di sebagian besar pabrik gula di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun, sedangkan komponen biaya produksi semakin meningkat. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktifitas dan efisensi proses produksi industri gula. 

Usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi proses secara umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : menekan kuantitas kehilangan sukrosa dan menghilangkan kontaminasi non sukrosa semaksimal mungkin. 

Tahapan proses pemurnian nira merupakan tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan cara sulfitasi dimana impuriti dipisahkan dengan penambahan susu kapur dan asam fosfat pada temperatur tertentu yang dilanjutkan dengan penambahan gas belerang. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtrasi hampa. Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan sukrosa. 

Teknologi memban yang saat ini sedang dikembangkan di berbagai negara sangat memiliki peran yang penting dalam industri. Teknologi membran tidak hanya berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai indutri, namun juga telah berhasil untuk memecahkan persoalan pemisahan massa dimana teknik konvensional tidak berhasil atau sangat mahal biaya operasionalnya. Teknologi membran dipercaya dapat memisahkan padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna, protein, jamur, dan bakteri. 

Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan, karena itu teknologi membran mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. 

Selain untuk proses pemisahan, penggunaan teknologi membran memungkinkan langkah diversifikasi produk berbasis gula atau turunan gula yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti alkohol absolut, laktosukrosa, enzim dan turunan gula lain. 

Pemurnian Nira dengan Ultrafikasi 

Ultrafikasi (UF) merupakan proses pemisahan dengan teknologi membran berdasarkan beda tekanan yang telah diketahui memiliki rentang aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi, biomedikal, pengolahan limbah cair, serta di berbagai industri makanan. Konsumsi energi teknologi ini sangat rendah dengan tingkat kemurnian produk yang tinggi dan ramah lingkungan. 

Para ahli telah melakukan penelitian tentang penggunaan membran untuk pemisahan nira dengan hasil sebagai berikut : (1) Pengotor-pengotor non gula dengan berat molekul rendah dan air dapat terpisahkan dari gula (Zanto, dkk). (2) Menghasilakan juice dengan kemurnian yang tinggi, intensitas warna yang rendah serta bebas pati dan partikel-partikel yang tidak mudah terlarut (Kishihara, dkk). (3) Mampu mereduksi 67% zat warna dan 47% partikel non gula, penurunan viskositas 20% (Day). (4) Campuran nira dan larutan kapur dingin hasil defekasi sangat efisien dipisahkan dengan ultrafikasi pada pH 7,2 (Madsen). 

Walaupun proses pemurnian nira untuk industri gula masih dalam tahap wacana dan uji coba, namun di berbagai literatur unjuk kerja membran untuk clarified juice skala industri menunjukkan peningkatan kemurnian hingga 95%, penyisihan dextran 98%, pati 70%, total polisakarida 80%, dan warna 14%, serta penurunan viskositas 25%. 

Dengan demikian sangat jelas bahwa teknologi membran dapat memisahkan padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut berberat molekul tinggi seperti polisakarida, warna dan protein, serta bakteri dan jamur. Pemisahan kotoran ditentukan oleh ukuran pori dari membran yang digunakan, mulai dari 0,45 µm hingga 0,2 µm (mikrofiltrasi). 

Reverse Osmosis (RO) untuk Pemekatan Nira 

Pemekatan nira ditujukan untuk meningkatkan konsentrasi nira dari 13-16 Bx menjadi 55-65 Bx agar gula dapat dikristalkan yang biasa dilakukan dengan menguapkan sebagian besar air yang ada pada nira pada tekanan hampa dan temperatur rendah. 

RO merupakan proses berbasis membran dengan gaya dorong tekanan, biasa digunakan untuk pemisahan zat terlarut dari pelarutnya dengan memberikan tekanan di atas tekanan osmotiknya. 

Dari kajian yang telah dilakukan, aplikasi teknologi RO untuk peningkatan konsentrasi 20 Bx dapat mengurangi beban evaporasi sekitas 50% sehingga konsumsi energi dapat ditekan. Selain itu beberapa keuntungan lain penggunaan RO adalah : 

1. Kebutuhan energi rendah karena tidak terjadi perubahan fase.

2. Temperatur operasi rendah sehingga dapat mengurangi kerusakan gula.

3. Perancangan sistem sederhana.


Sumber : http://ikagisumatera.com/artikel/artikel2.htm

Selasa, 19 Oktober 2010

Persemaian Aren di Kusuri Tobelo Maluku Utara

Persemaian Aren di Kusuri Tobelo Maluku Utara


Persemaian Aren di Kusuri Tobelo Maluku Utara dari kecambah yang ditanam pada Bulan April 2010, bibit ini sudah berumur sekitar 6 bulan di persemaian.   Kalau toh akan ditanam di lapangan atau lahan kebun sebenarnya sudah bisa.   Karena sebenarnya penanaman lebih awal akan lebih baik, karena akar belum terlalu berkembang memanjang.  Kalau bibit lebih lama lagi di polibag akar sudah berkembang lebih jauh lagi keluar dari polibag.  Bila akan dipindah maka ada resiko menarik akar sehingga akar menjadi terputus.  Hal inilah yang sebenarnya harus dihindari.

Senin, 18 Oktober 2010

Sketsa di Kebun Aren

By dr. Senoaji Wijanarko


Sketsa Pohon Aren dengan bunga dan tandannya yang disadap menghasilkan Nira yang ditampung dalam bumbung bambu.


Sketsa Pohon Aren yang batangnya berijuk dari dr. Senoaji Wijanarko

Sketsa wajah Sang Juragan Bibit Aren

Sabtu, 28 Agustus 2010

Kementrian Koperasi kembangkan UKM Aren di Jawa Barat


Pengembangan daerah aliran sungai untuk bantu usaha kecil

Oleh :  Mulia Ginting Munthe (Bisnis Indonesia) 

JAKARTA Kementerian Koperasi dan UKM bersinergi dengan Institut Ilmu Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) dan BUMN Hijau Lestari untuk mengembangkan kawasan daerah aliransungai (DAS) serta mengoptimalkan potensi tanaman aren.


Muhammad Taufiq, Staf Ahli Pengembangan Iklim Usaha dan Kemitraan Kementerian Koperasi dan UKM, mengemukakan kerja sama dengan dua lembaga tersebut untuk meningkatkan produktivitas masyarakat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).  BUMN Hijau Lestari merupakan konsorsium lima BUMN meliputi Perum Perhutani, PT Pupuk Kujang, PT Sang Hyang Seri, PTPN VIII, serta Jasa Tirta.

"Kerja sama dengan BUMN Hijau Lestari, untuk pengembangan kawasan daerah aliran sungai, khususnya di Jawa Barat.  Kawasan itu akan dijadikan lebih produktif dengan menanam tanaman tahunan maupun pangan," ujarnya kepada Bisnis kemarin.  DAS yang akan dijadikan lahan produktif bagi UMKM mencapai 250.000 ha.  Selain berdampak positif untuk menahan bencana longsor, pelaku usaha mikro dan kecil bisa memanfaatkan lahan itu untuk meningkatkan pendapatannya.

Tanaman produktif yang akan dikembangkan di seluruh DAS Jawa Barat meliputi pohon aren, pohon jati, sengon, buah-buahan, jagung serta tanaman sorgum. Hasil dari berbagai tanaman tersebut diharapkan bisa meningkatkan produktivitas UMKM di sekitar lokasi.  Di antara beberapa komoditas tersebut, ada yang diproyeksikan untuk pengembangan industri gula semut dari aren dan tepung yang dihasilkan dari biji sorgum.  Pengembangan usaha ini memang spesifik, tetapi diyakini berdampak positif.

Untuk pengembangan industri gula semut, Kementerian Koperasi dan UKM merangkul Ikopin untuk mengembangkan bibit tanaman aren yang berasal dari Sibolangit, Sumatra Utara.  Pohon aren dari kawasan tersebut memiliki keunggulan hasil air nira-nya."Pohon aren di daerah lain umumnya hanya memproduksi sekitar 10 liter per hari, sedangkan pohon aren dari Sibolangit bisa mencapai 60 liter per hari.  Oleh karena itu, Ikopin akan melakukan pembibitan tanaman aren dari Sumatra Utara untuk disebar ke DAS seluruh Jawa Barat," ujar Taufiq.  Pembiayaan untuk program pembibitan dilakukan oleh lima perusahaan BUMN Hijau Lestari.

Lahan pembibitan

Sedangkan DAS yang akan dimanfaatkan untuk program tersebut masing-masing di Sungai Citarum, Ciliwung, serta sungai Cimanuk.  Lahan pembibitan yang akan dimanfaatkan di area Kampus Ikopin seluas 5 ha dari total 20 ha.



Menurut Taufiq, dari 60 liter produksi air nira dari satu pohon aren, bisa menghasilkan sekitar 30 kg gula semut per hari. "Po-tensinya sangat besar untuk memenuhi permintaan nasional maupun ekspor, karena Jepang sangat menggandmngi gula semut," papar Taufiq.  Kemenkop mulai tahun ini juga mulai mengangkat potensi komoditas gula aren di lima kabupaten Jawa Tengah, yakni Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen (Barling-mascakeb).

Potensi gula aren atau juga dikenal sebagai gula jawa atau gula semut di kawasan Barlingmasca-keb sangat besar, akan tetapi belum digarap serius. Untuk meningkatkan kapasitas produknya, pemerintah akan melakukan fasilitasi serta pendampingan teknis.  Pendampingan tersebut mencakup peningkatan kemampuanpetani aren dalam memproduksi secara tepat guna melalui penerapan teknologi.

Dalam peningkatan kapasitas itu, masyarakat produsen tidak lagi diposisikan sebagai objek, tetapi sebagai subjek.  Dengan sistem ini Kementerian Koperasi dan UKM optimistis gula aren akan dikenal luas sebagai bahan pemanis selain gula pasir.  Potensi gula aren untuk pasar ekspor bahkan sangat terbuka, karena negara-negara maju di Asia seperti Jepang, lebih cenderung mengonsumsi gula aren.

Saat ini pemasok gula aren ke  Jepang adalah Kabupaten Kediri, Jawa Timur.  Ekspor oleh petani dari daerah itu telah berlangsung sejak 1988.  "Barlingmascakeb juga memiliki peluang itu karena Jepang masih kekurangan produk tersebut," tukas Wayan.Kapasitas produksi gula aren dari Jawa lengah saat ini sekitar 5,64 ton per tahun.   Jumlah itu belum termasuk dengan produksi dari Barlingmascakeb. Kementerian Koperasi dan UKM belum memiliki catatan pasti kapasitas produksi gula aren di lima kabupaten itu. (ginting.mimthe8)bis-nis.co.id)

Sumber : http://bataviase.co.id/node/283883

Potensi gula aren lima kabupaten di Jawa Tengah dikembangkan








JAKARTA Kementerian Negara Koperasi dan UKM mulai 2010 mengangkat potensi komoditas gula aren di lima kabupaten Jawa Tengah, yakni Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen (Barlingmascakeb).


I Wayan Dipta, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM Kementerian Negara Koperasi dan UKM, menjelaskan potensi gula aren atau juga dikenal sebagai gula jawa atau gula semut di kawasan Barlingmascakeb sangat besar, akan tetapi belum digarap serius.

"Sudah banyak sentra-sentra produk gula aren berdiri di lima kabupaten tersebut. Untuk meningkatkan kapasitas produknya, kami akan melakukan fasilitasi serta pendampingan teknis," ujar Wayan Dipta, kemarin.

Pendampingan tersebut mencakup peningkatan kemampuan petani aren dalam memproduksi secara tepat guna melalui penerapan teknologi. Selama ini, kata Wayan, perhatian berbagai pihak masih kurang untuk mengangkat potensi gula aren di kawasan tersebut.

Karena itu, Kementerian Koperasi dan UKM berupaya mengembangkan potensi komoditas ini. Metodologinya dengan cara pendampingan teknis serta peningkatan kemampuan SDM-nya.Dalam peningkatan kapasitas itu; masyarakat produsen tidak lagi diposisikan sebagai objek, tetapi sebagai subjek.

Dengan sistem ini Kementerian Koperasi dan UKM optimistis gula aren akan dikenal luas sebagai bahan pemanis selain gula pasir.

Ekspor prospektif

Potensi gula aren untuk pasar ekspor bahkan sangat terbuka, karena negara-negara maju di Asia seperti Jepang, lebih cenderung mengonsumsi gula aren.

Saat ini pemasok gula aren, ke Jepang adalah Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ekspor oleh petani dari daerah itu telah berlangsung sejak 1988. "Barlingmascakeb juga memiliki peluang itu karena Jepang masih kekurangan produk tersebut," tukas Wayan.

Kapasitas produksi gula aren dari Jawa Tengah saat ini sekitar 5.64 ton per tahun. Jumlah itu belum termasuk dengan produksi dari Barlingmascakeb. Kementerian Koperasi dan UKM belum memiliki catatan pasti kapasitas produksi gula aren di lima kabupaten itu.

Adapun rencana fasilitasi dan pendampingan sudah dimatangkan dengan lima pimpinan Barlingmascakeb melalui dinas koperasi setiap wilayah. "Realisasinya akan dilakukan pada 2010," ungkapnya.

Potensi komoditas lain yang didorong Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah batik. Komoditas ini masih kalah bersaing dengan penghasil batik dari daerah lain karena produksinya belum disentuh teknologi serta desain modern.


Sumber : Bisnis Indonesia

Diambil dari : http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=272:potensi-gula-aren-di-lima-kabupaten-dikembangkan-&catid=54:bind-berita-kementerian&Itemid=98


Jumat, 06 Agustus 2010

Desa Balikterus Bawean Hidup dari Gula Aren


Desa Balikterus Bawean Hidup dari Gula Aren

OLEH ASEPTA YOGA P

Desa Balikterus Kec. Sangkapura Kab. Gresik diekanl sebagai penghasil gula aren. Hampir semua penduduknya bekerja membuat gula aren. Pekerjaan itu sudah turun temurun dari keluarga.

Warga desa laki-laki maupun perempuan, setiap pagi dan sore masuk hutan untuk mengambil bambu berisi nira dan memasangnya lagi di tangkai buah aren yang telah dipotong. Hutan desa banyak tumbuhan aren kemudian disadap niranya yang oleh warga setempat disebut la’ang.


Adenan (52) warga setempat hari itu amat trampil memanjat pohon aren untuk mengambil bumbung yang berisi nira. “Setiap pagi dan sore kami selalu memasang dan mengambil bumbung di pohon aren. Untuk satu buah tangkai buah aren ini bisa diambil la’ang-nya hingga dua bulan, sedangkan sekali ambil, satu tangkai buah aren ini bisa menghasilkan lima liter,” kata pria yang sudah penuh keriput di raut mukanya itu.

Menurut Adenan, nira yang diambil dari tangkai buah aren yang baru dipotong sangat bagus kualitasnya dijadikan gula aren. ”Warnanya merah bersih, tapi jika nira diambil dari tangkai buah aren yang sudah lama dipotong, hasil gulanya agak gelap,” kata Adenan. Selain itu, dia menambahkan, nira aren di dari pegunungan di Desa Balikterus ini sangat segar untuk diminum langsug, apalagi bila dicampur dengan es.

”Rasanya sangat segar, biasanya pada saat bulan puasa, orang Bawean banyak yang membeli nira untuk dinikmati ketika makan buka, dipercaya la’ang juga bisa meningkatkan stamina dan kejantanan lelaki,” jelasnya.

Sepulang dari mengambil nira aren di hutan, Adenan langsung menuju rumah sore itu. Dan sesampainya di rumah sederhananya, Masriyah (40), istrinya, membawa bumbung berisi nira ke dapur untuk dimasak.


”La’ang dipanaskan di wajan selama beberapa jam hingga kental berwarna kemerahan. Setelah itu, la’ang dicetak di potongan bambu berdiameter empat centimeter,” papar Masriyah.

Kemudian dibiarkan hingga mengeras. Setelah mengeras, gula aren dilepas dari cetakannya dan dibungkus daun pisang. Per bungkus isinya sepuluh biji. Harga satu bungkus gula aren saat ini Rp 13 ribu hingga Rp 15 ribu. Satu bungkus gula aren berisi sepuluh biji itu dibutuhkan nira dua liter. Dia menjelaskan, gula aren ini mampu bertahan lama, bisa berbulan-bulan asalkan disimpan di tempat yang hangat biar tidak meleleh.


Hampir semua penduduk yang tinggal di Balikterus, berjumlah hingga ratusan kepala keluarga memanfaatkan gula aren sebagai penghasil pendapatan utama. Mereka menjual gula aren ke pasar-pasar. Tapi seringkali, turis asing atau perantau yang bekerja di Malaysia dan Singapura pulang membawa gula aren untuk dijual di negeri jiran itu.

”Di Malaysia biasanya gula aren Bawean ini dicampur dengan kelapa muda. Jadi pesanan akan meningkat pada saat musim libur atau hari-hari Lebaran, bahkan saking banyaknya pesanan, kita kekurangan barang,” imbuh Masriyah.

Tak ayal jika pada saat pesanan ramai, warga Balikterus kehabisan stok. Meskipun jumlah keluarga yang memproduksi gula aren ini ratusan, cara mereka mengolah masih tradisional, jadi tidak mumpuni untuk memproduksi gula aren dalam jumlah massal.

Sebenarnya, penghasil gula aren di Bawean tidak hanya di Desa Balikterus di beberapa daerah lainnya juga terkenal dengan produksi gula arennya, tapi penghasil gula aren dengan kualitas terbaik di Bawean adalah di Balikterus.

Desa yang berjarak lima kilometer dari kecamatan Sangkapura itu berada di daerah datarang tinggi. Pegunungan Balikterus sangat lebat dengan tanaman aren. Jadi, bahan baku gula aren di Balikterus sangat berlimpah, karena itu kualitas gula aren Balikterus terbaik.

Sumber : http://www.bawean.net/2010/05/desa-balikterus-bawean-hidup-dari-gula.html

Kamis, 29 Juli 2010

M. Azlan Petani Aren dari Ambalat











M. Azlan Petani Aren dari Ambalat



M. Azlan adalah seorang pembuat gula aren di Dusun Maspul Desa Aji Kuning Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Kawasan Desa Aji Kuning ini merupakan kawasan yang dekat sekali dengan garis perbatasan Negara antara RI dan Malaysia, dekat sekali dengan Kawasan Ambalat. Pulau Sebatik sendiri sebagian ikut Malaysia dan sebagian masuk wilayah Indonesia.

Pacci Dalle begitulah biasanya di panggil. Pacci Dalle adalah generasi kedua di keluarganya yang membuat gula setelah Bapaknya yaitu Almarhum Baco.
Kebiasaan membuat Gula dari penyadapan nira pohon Aren ini telah terbawa dari tanah kelahirannya di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Kebiasaan ini ternyata terbawa hingga Bapak Aco merantau ke Pulau Sebatik yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Nunukan ini. Namun demikian memanjat pohon Aren dan membuat gula aren merupakan pekerjaan sampingan setelah penghasilan utama yaitu berkebun Kakao atau tanaman Cokelat. Meski sebagai pekerjaan sampingan membuat gula aren ini ternyata cukup membantu perekonomian keluarga.

Pacci Dalle memiliki pohon Aren kurang lebih 20 pohon. Setiap pohon Aren yang terdapat di dalam kebunnya akan mengeluarkan cairan nira aren dapat dihasilkan hampir setiap hari, namun hasil sadapan nira biasanya bervariasi tergantung dari kualitas pohon arennya. Cairan nira aren bisa didapat dari setiap pohon antara 5 sampai 40 liter/ pohon, tetapi bisa juga tidak ada sama sekali. Namun kebanyakan pohon Aren menghasilkan nira aren antara 5-10 liter/ pohon sekali sadap, sedangkan dalam satu hari dilakukan sebanyak 2 (dua) kali sadap, yaitu pagi dan sore atau petang.

Maka dalam sehari Pacci Dalle ini dapat menyadap antara 10 sampai 20 liter nira Aren per pohon. Nira Aren yang sudah dikumpulkan semuanya dimasak untuk dijadikan Gula Aren. Dari setiap 10 liter cairan nira aren jika dimasak dan diolah menjadi Gula Aren bisa didapatkan 5 biji gula aren, dan dalam penjualannya setiap 2 biji gula dikemas menjadi satu bungkus. Jadi kalau 5 biji maka akan dikemas menjadi 2,5 bungkus. Adapun berat sebungkus Gula Aren ini bervariasi, namun rata-rata berisi sekitar 8 ons atau 0,8 kg.

Untuk harga satu bungkusnya (yang terdiri dari 2 biji) di kebun sudah dihargai yaitu 2.00 RM (Ringgit Malaysia). Jadi untuk penghasilan per hari per pohon aren akan menghasilkan gula Aren senilai antara 5.00 – 10.00 RM atau kalau dirupiahkan menjadi sekitar Rp 14.000 – Rp 28.000 per pohon per hari. Jadi seandainya 20 pohon ini dikelola semua dan menghasilkan nira setiap hari, maka potensi pendapatan Bapak M. Azlan ini bisa mencapai antara Rp 280.000 sampai Rp 560.000 per hari.

Menurut Pacci Dalle kalau gula aren ini betul-betul dikembangkan hasilnya akan sangat memuaskan. Jika lahan se hektar dijadikan kebun Aren dengan populasi 200 pohon, potensi pendapatan yang akan diperoleh itu sekitar Rp 2,8 sampai Rp 5,6 juta per hari.
Kalau demikian maka sebenarnya Aren dapat menjadi harapan baru yang jauh lebih menguntungkan dari pada Kelapa Sawit, Kakao dan lain-lain.

Sekian...........................................
Hasil wawancara Syamsul Daris (PPL Desa Ajikuning) dengan Pacci Dalle pada tanggal 5 oktober 2009 di Maspul, Desa Ajikuning, Kecamatan Sebatik Barat Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur.

Rabu, 28 Juli 2010

Potensi AREN untuk kesejahteraan rakyat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan


Potensi AREN untuk kesejahteraan rakyat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST)  Kalimantan Selatan

(Antara/Ekonomi)

Seluas 667,5 hektare lahan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan sangat potensial untuk pengembangan tanaman aren.  Menurut Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan (Dipertabun) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), H Sofyan di Barabai, Senin luasan lahan itu tersebar diseluruh kecamatan yang ada di kabupaten tersebut.

"Dari 11 kecamatan yang ada di HST, seluruhnya memiliki lahan yang potensial sebagai pengembangan pohon aren dengan luasan yang berbeda," ujarnya di ibu kota HST itu.
Dari 11 kecamatan yang ada tercatat lahan terluas yang potensial untuk pengembangan pohon aren terletak di Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), yaitu seluas 130 ha.


Sedang lahan yang terkecil di Kecamatan Batang Alai Utara, yaitu hanya seluas tiga hektare.
Sembilan kecamatan lain seperti Pandawan, Labuan Amas Utara (LAU) Limpasu, Haruyan, Labuan Amas Selatan (LAS), Barabai, Hantakan dan Batu Benawa masing-masing memiliki lahan potensial seluas 24 ha, 20 ha, 25 ha, 100 ha, 20 ha, 8 ha, 120 ha, 55 ha dan 50 ha.

Pohon aren merupakan tanaman yang mengandung banyak manfaat bagi masyarakat di HST, karena semua bagian dari tanaman itu dapat digunakan.  Mayoritas penduduk HST menggunakan pohon aren sebagai bahan baku pengolahan gula merah yang didapat dari hasil penyulingan nira dari pohon tersebut.

Selain itu, daun pohon aren dapat diolah menjadi atap, yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah atap Rumbia, untuk kemudian dijual dengan harga antara Rp250 hingga Rp350 per satuannya.   Bukan hanya nira dan daunnya yang dapat diolah menjadi produk menghasilkan, para peternak itik di HST juga menggunakan parutan batang pohon aren sebagai campuran pakan ternak mereka.

Di HST, tepatnya di Desa Panggung, Kecamatan Haruyan merupakan sentra kerajinan sapu yang bahan bakunya berasal dan didapat dari serabut pohon aren.
Karena itulah, tahun 2008 lalu tercatat masyarakat dari Desa Panggung pernah mengajukan permohonan permintaan bibit unggul pohon aren kepada Dipertabun HST.

"Saat itu permintaan masyarakat telah kita penuhi dan bibit yang diberikan ditanam mereka untuk pemenuhan kebutuhan akan serabut pohon aren sebagai bahan baku pembuatan sapu," tambahnya.

Selain berdasarkan permintaan dari masyarakat, pihak Dipertabun juga melakukan penanaman pohon aren di beberapa wilayah yang rawan terjadi abrasi.   Manfaat pohon aren yang sangat banyak dan menghasilkan bagi masyarakat, membuat harganya sangat tinggi.  Namun sayangnya, tipikal pohon aren yang hanya dapat tumbuh pada kondisi lahan tertentu membuat tanaman tersebut sulit untuk dikembangkan.

Sumber : http://kalsel.antaranews.com/berita/192/potensi-pohon-aren


Minggu, 25 Juli 2010

Warga Jateng Diimbau Tanam Pohon Aren

Warga Jateng Diimbau Tanam Pohon Aren

(30 Maret 2010,  Ferdinand,  ANTARA/Saiful Bahri/SOLO/MI)

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengimbau warganya untuk menanam pohon aren. Selain bermanfaat menyerap air, pohon itu juga dapat memberikan manfaat ekonomi.  Imbauan itu disampaikannya kepada bupati dan wali kota serta para camat se-Solo Raya yang hadir dalam acara Forum Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan di Balai Kota Solo, Selasa (30/3). 

 "Tanaman aren itu banyak manfaatnya. Arennya untuk bahan gula, buahnya untuk bahan minuman, daunya untuk sapu lidi, serabutnya untuk sikat, akarnya sebagai penahan tanah," kata Bibit.  Bila setiap orang bisa menanam satu pohon aren saja, ujarnya, hasilnya akan sangat luar biasa. Apalagi saat ini pasar buah aren yang dikenal dengan nama kolang-kaling sedang terbuka lebar, salah satunya di Cina.

Negara tirai bambu itu membutuhkan ratusan ribu ton kolang-kaling setiap bulan. Namun yang bisa dipenuhi oleh petani Jawa Tengah saat ini baru sekitar 20%. Hal tersebut, menurut Bibit, merupakan sebuah peluang yang sangat sayang untuk dilewatkan. Karena itulah ia mengimbau agar bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.   Disamping manfaat ekonomi, gerakan satu pohon satu orang juga akan berdampak positif bagi pelestarian lingkungan. Apalagi di tengah ancaman perubahan iklim yang sudah didepan mata saat ini. 













"Sekarang kita sedang menghadapi cuaca ekstrim, banjir, longsor, terjadi di mana-mana. Alam akan semakin ganas kalau kita tidak cinta alam. Saya meminta bupati dan wali kota menggerakan itu," tegasnya. (FR/OL-01)

 Sumber  :  http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/03/132833/124/101/Warga-Jateng-Diimbau-Tanam-Pohon-Aren

Kamis, 15 Juli 2010

MENGHEMAT BIAYA PROSESING GULA DENGAN TEKNOLOGI MEMBRAN









MENGHEMAT BIAYA PROSESING GULA DENGAN TEKNOLOGI MEMBRAN

Oleh : Dian Kusumanto

Minggu malam tanggal 4 Juli yang lalu saya berhasil kontak dengan Dr. Ir. I Gede Wenten, seorang ahli membrane kelas dunia yang dimiliki Indonesia. Kontak lewat telepon itu saya manfaatkan untuk berkonsultasi tentang kemungkinan penerapan teknologi membrane untuk pengolahan Nira Aren menjadi Gula Aren. Beliau sangat respon dengan antusiasme penulis akan teknologi yang diyakini akan membangkitkan optimisme baru dalam industry Gula Aren di negeri ini.

Saya menanyakan kepada Beliau kira-kira kemampuan Alat RO dapat mengurangi kandungan air murni dari Nira Aren, maka beliau menjawab hingga kadar Gula dari Nira mencapai 30 %. Lalu saya juga menanyakan tentang harga Alat RO dengan kapasitas 1000 sampai 2000 liter per hari yang sudah bisa dirakit di Indonesia sendiri, yaitu tepatnya di Bandung dengan harga sekitar Rp 40 juta. Alat ini umur ekonomisnya bisa mencapai 5 tahun atau lebih. Adapun tentang Cartridge Membrane beliau mengatakan perlu diganti sekitar setahun sekali dengan biaya sekitar Rp 2,5 sampai Rp 3 juta per unit.

Nira asal dengan kadar gula 10-12 % akan diolah dengan alat RO yang dijalankan dengan tenaga listrik, karena dalam alat RO ini ada pompa bertekanan tertentu yang menekan masa larutan nira ini melewati atau menembus membrane. Namun karena nira terdiri dari gula dan air murni, maka yang bisa melewati (flush) membrane adalah hanya sebagian air saja, sedangkan gula tidak bisa menerobos membrane atau tertolak (rejection). Dengan demikian nira menjadi kental , menurut Dr. Ir. I Gede Wenten, yaitu sampai nira berkadar gula sekitar 30 %. Artinya ada sekitar 60% dari volume awal nira yang berasal dari masa air murni yang dipisahkan dari Nira, maka Nira menjadi lebih kental.

Kita patut berterima kasih dengan para Peneliti seperti Dr. Ir. I Gede Wenten ini, yang telah menghasilkan penemuan yang sangat berarti bagi Industri Gula pada umumnya, dan para perajin Gula Aren khususnya, karena teknologi ini akan dapat secara revolusioner merubah paradigma Industri Gula yang lebih hemat, efisien, berkualitas dan berdaya saing di masa datang.

Para Ahli dan Peneliti teknologi membrane yang lain juga sudah banyak yang memperhatikan pengolahan Nira. Para ahli telah melakukan penelitian tentang penggunaan membran untuk pemisahan nira dengan hasil sebagai berikut : 

1. Pengotor-pengotor non gula dengan berat molekul rendah dan air dapat terpisahkan dari gula (Zanto, dkk).
2. Menghasilakan juice dengan kemurnian yang tinggi, intensitas warna yang rendah serta bebas pati dan partikel-partikel yang tidak mudah terlarut (Kishihara, dkk).
3. Mampu mereduksi 67% zat warna dan 47% partikel non gula, penurunan viskositas 20% (Day).
4. Campuran nira dan larutan kapur dingin hasil defekasi sangat efisien dipisahkan dengan ultrafikasi pada pH 7,2 (Madsen).

Secara hitungan ekonomis bisa kita bandingkan begitu sangat efisiennya teknologi membrane ini untuk mengolah Nira Aren menjadi Gula Aren yang berkualitas. Penulis mencoba menghitung dengan asumsi-asumsi yang sudah pernah disampaikan sebelumnya, yaitu sebagai berikut.
Biaya pengolahan Nira secara tradisional yang menggunakan tungku ala kadarnya dengan bahan bakar kayu limbah untuk mengolah 1000 liter Nira, kurang lebih sebagai berikut :
1. Kayu Bakar sebanyak 1 truk (4 ton) Rp 375.000,- - Rp 400.000,-
2. Tenaga kerja 5 HOK @ Rp 40.000 = Rp 200.000,-
3. Biaya penyusutan tungku, wajan, alat-alat masak, dll. (Sengaja tidak dihitung).
4. Jumlah biaya sekitar Rp 600.000 per 1000 liter Nira, atau Rp 600 per liter.
5. Jika 5 liter Nira bisa diolah menjadi 1 kg Gula, maka biaya pemasakan dengan cara tradisional mencapai : Rp 600/liter x 5 liter/kg = Rp 3.000 /kg gula.

Pemekatan nira ditujukan untuk meningkatkan konsentrasi nira dari 13-16 Bx menjadi 55-65 Bx agar gula dapat dikristalkan yang biasa dilakukan dengan menguapkan sebagian besar air yang ada pada nira pada tekanan hampa dan temperatur rendah. RO merupakan proses berbasis membran dengan gaya dorong tekanan, biasa digunakan untuk pemisahan zat terlarut dari pelarutnya dengan memberikan tekanan di atas tekanan osmotiknya. 


Dari kajian yang telah dilakukan, aplikasi teknologi RO untuk peningkatan konsentrasi 20 Bx dapat mengurangi beban evaporasi sekitas 50% sehingga konsumsi energi dapat ditekan. Selain itu beberapa keuntungan lain penggunaan RO adalah :

1. Kebutuhan energi rendah karena tidak terjadi perubahan fase. 

2. Temperatur operasi rendah sehingga dapat mengurangi kerusakan gula.

3. Perancangan sistem sederhana.

Sedangkan perkiraan biaya pengolahan Nira dengan menggunakan membrane filtrasi dan Pan Evaporator untuk pengolahan lebih lanjut terhadap 1000 liter nira, adalah sebagai berikut :

1. Biaya penyusutan alat RO dan membrane Rp 45 juta selama 5 tahun dan Cartride Membrane Rp 3 juta pertahun untuk kapasitas 300 hari x 1.000 liter nira/hari. Jadi unit cost alat RO = Rp 45 juta : 5 tahun : 300 hari/tahun = Rp 30.000 per hari, sedangkan untuk cartride membrane = Rp 3 juta : 1 tahun : 300 hari/tahun = Rp 10.000, jadi jumlah penyusutan sekitar Rp 40.000 per hari/ 1000 liter atau Rp 40/ liter nira. Biaya untuk Alat RO ini bisa mengurangi air murni dari nira hingga nira lebih kental dan berkadar gula 30 % atau berkadar air 70%.
2. Biaya pemasakan menggunakan Pan Evaporator yang hemat bahan bakar hingga menjadi Gula Kental yang siap dicetak atau diserbukkan sekitar 20% dari 4 ton kayu, atau sekitar 0,8 ton kayu dengan nilai sekitar Rp 80.000/hari/1000 liter nira, atau dengan unit cost sekitar Rp 80 per liter Nira. Sedangkan penyusutan untuk Pan Evaporatornya sendiri dihitung dengan harga sekitar Rp 30 juta selama umur ekonomis sekitar 5 tahun, yaitu Rp 6 juta per tahun atau sekitar Rp 20.000 per hari, atau dengan unit cost Rp 20 per liter nira. Jumlah unit cost bahan bakar dan alat Pan Evaporatornya menjadi Rp 100 per liter nira.
3. Tenaga kerja untuk alat RO dan Pan Evaporator 1 HOK @ Rp 75.000 = Rp 75.000 per hari/1000 liter nira, atau dengan unit cost Rp 75 per liter nira.
4. Tenaga listrik untuk pengoperasian alat RO dan yang lainnya sekitar Rp 450.000 per bulan atau Rp 15.000 per hari atau dengan unit cost Rp 15 per liter nira.
5. Jumlah biaya pemasakan menjadi sekitar Rp 230 per liter Nira.
6. Jika 5 liter Nira bisa diolah menjadi 1 kg Gula, maka biaya pemasakan dengan cara teknologi membrane dan Pan Evaporator Rp 230/liter x 5 liter/kg = Rp 1.150 /kg gula.

Sedangkan secara kualitas maka hasil produksi dengan alat RO ini akan lebih bersih, lebih cerah warnanya, lebih menarik, lebih hiegenis, dst. Maka akan dapat dengan mudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) bahkan standard dunia alias berkualitas ekspor. Dengan demikian nila harga juga akan mampu menembus harga yang lebih tinggi seperti produk serupa yang sudah beredar di pasaran dunia. Beberapa jenis palm sugar (Gula Palem) seperti Gula Kelapa Organik dari Big Tree Farm, atau Sweet Tree atau Gula Siwalan Organik dari Kamboja dibandrol dengan harga sekitar 9 US$ untuk 240 gram atau sekitar 36 US$ untuk 1 kilogram, jika dirupiahkan menjadi sekitar Rp 360.000 per kilogram.

Bagaimana pendapat Anda?