Rabu, 29 Januari 2014

Peluang Industri Gula Aren dalam pengembangan industri gula non tebu



Upaya pengembangan industri gula non tebu

Beberapa jenis tanaman selain tebu yang dapat menghasilkan gula terutama gula merah dan gula cair yaitu kelapa, aren, lontar, nipah, ketela pohon dan beberapa jenis tanaman buah-buahan. Masalahnya, pemanfaatan tanaman alternative penghasil gula selain tebu belum dilakukan secara maksimal dan konseptual. Produk akhir dari pengolahan gula dari tanaman selain tebu bukanlah gula Kristal (gula pasir) tetapi gula merah, gula semut dan gula cair. Sementara itu penggunaan gula merah, gula semut dan gula cair untuk keperluan konsumsi masyarakat sangat terbatas dibanding gula pasir. Di lain pihak, prospek penerapan teknologi pengolahan nira kelapa, aren dan lontar menjadi gula pasir belum tersosialisasi dengan baik  (Rumokoi, MMM. 2004).
Upaya-upaya untuk menggali potensi dan memanfaatkan pemanis alami non tebu telah dilakukan sejak lama terutama oleh masyarakat. Pengolahan gula merah dan gula cair dari aren, kelapa, lontar, nipah dan tanaman lainnya telah berlangsung puluhan tahun dan mungkin berabad lamanya. Pengolahan gula merah di Jawa telah berlangsung lama, pengolahan gula aren di Papua, Maluku dan Sulawesi Utara diperkirakan telah dilakukan berabad-abad, demikian pula dengan pengolahan gula lontar di Nusa Tenggara Timur (Rumokoi, MMM. 2004).
Timbulnya masalah pemenuhan gula dalam negeri secara berulang-ulang menimbulkan pemikiran baru tentang pemanfaatan potensi pemanis alami non tebu sebagai sumber gula dalam negeri di masa depan. Kelapa, aren dan lontar adalah tanaman-tanaman yang sangat potensial penghasil gula merah dan gula cair dari segi areal tanaman, pengolah yang terlibat, dan teknologi pengolahan yang tersedia. Oleh karena itu, potensi tanaman-tanaman ini sebagai alternative penghasil gula pasir, teknologi pengolahan gula pasir dari nira yang dihasilkan tanaman-tanaman ini serta kelayakan sebagai sumber gula alternative perlu diungkapkan untuk memaksimalkan pemanfaatannya  (Rumokoi, MMM. 2004).
Topik tentang peluang perkebunan dan industri gula berbasis non Tebu  dalam mendukung swasembada gula nasional, karena Pemerintah sudah terlalu lama mengusahakannya namun hasil dari revitalisasi ini masih belum mencapai tujuannya.  Disinilah pentingnya kita menginventarisir kembali alternative kebijakan public yang mungkin lebih efektif dalam mengatasi masalah Swasembada gula nasional.   Dengan mempertimbangkan alternative kebijakan yang lainnya menjadikan Pemerintah bisa tidak ‘mati akal’  tidak jumud dan lebih efisien waktu dan anggaran dalam rangka pemenuhan konsumsi gula nasional (Dian Kusumanto, 2010). 

Upaya pengembangan industri gula non tebu dari tanaman bit gula
Potensi bit sebagai bahan baku gula alternatif sangat besar. Bit sebagai bahan baku gula memiliki keunggulan dibandingkan dengan tebu, antara lain kebutuhan air yang lebih rendah yakni sepertiga dari tebu, mudah tumbuh di tempat marjinal, dan nilai rendemen (kandungan gula)  yang lebih tinggi dibandingkan tebu.     Pada tahun 2010 Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) bekerjasama dengan PT. Gula Bit Nusantara (GBN) dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mulai mengembangkan budidaya gula bit tropika (Anonimous, 2010).
Namun masalahnya, setelah dilakukan pengujian banyak masyarakat yang kurang menyukai pemanis ini karena ada rasa getirnya. Namun sekarang, telah berhasil ditemukan sebuah tanaman pengganti yang cukup prospektif dan berpeluang sebagai alternatif pengganti tebu. Tanaman bit gula (Beta vulgaris L) yang memiliki potensi produktivitas cukup tinggi yakni mencapai 80 ton per hektar dengan masa tanam hanya 6-8 bulan serta rendemen minimal 10 persen.  Saat ini telah ditemukan varietas gula bit untuk daerah tropik yang berasal dari India (Anonimous, 2010).
Tanaman ini merupakan spesies yang berasal dari Afrika. Karakteristik yang khas dari tanaman Afrika adalah ketahanannya terhadap kekeringan. Menurut penelitian, kebutuhan air bit gula hanya sepertiga dari kebutuhan air pada perkebunan tebu.  Sugar bit ini kadar gula yang dimiliki dua kali lebih tinggi dari tebu,  Bit gula memiliki produktivitas 60-80 ton/ha bahan baku gula engan rendemen 12.  Produktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan tebu yang memiliki produktivitas 100 ton/ha.
Diperlukan peralatan berbeda pada pabrik gula bit dan pabrik gula tebu, khususnya pada peralatan sebelum tahap penguapan.  Untuk rencana pengembangan tanaman Gula Bit  dapat dilakukan di Indonesia dengan persyaratan agroklimat seperti yang sudah disebutkan diatas.    Pengolahan gula bit dapat dilakukan dengan memanfaatkan pabrik gula yang sudah ada dengan menggunakan proses sulfitasi, dimana nira bit diolah bersamaan dengan nira tebu.   Apabila akan dibangun pabrik gula baru berbahan baku bit, disarankan berbasis karbonatasi.  Sehingga Pabrik Gula Rafinasi  yang ada dengan sedikit modifikasi dapat dimungkinkan untuk mengolah gula bit. Dengan demikian tidak perlu mengimpor bahan baku Raw Sugar atau melakukan penanaman tebu untuk diolah menjadi Raw Sugar.   Kedepan Indonesia dapat mengurangi impor raw sugar dengan dapat dikembangkannya gula bit sebagai alternatif komoditi untuk menghasilkan gula.
Upaya pengembangan industri gula non tebu dari tanaman Sorgum

Salah satu alternatif yang diharapkan bisa membantu produksi gula Tanah Air yang sekarang ini mulai dikembangkan adalah tanaman Sorgum. Tanaman serealia ini bukan hanya bisa diolah sebagai bahan penghasil gula, tetapi juga bisa menghasilkan biomas dan jadi pakan ternak.   Pada akhir tahun 2012, P3GI juga melakukan penelitian terhadap 13 varietas gula bit. Dari penanaman dan pengolahan sorgum, setidaknya bisa didapat 4 hingga 5 ton bulir per hektare. Selain itu, didapat 30 ton biomas dan 4.000 liter nira  (Anonimous,  2012).
Pengembangan varietas baru yang dinilai cocok dengan iklim Indonesia itu merupakan hasil kerjasama P3GI dengan Badan Atom Nasional (Batan) dan lembaga di Jepang.   Dari teknik radiasi Batan, P3GI mendapatkan bibit Sorgum yang cukup baik.  Sorgum varietas ini bisa mengeluarkan bulir lebih cepat, berarti biomassa bisa banyak untuk pakan ternak dan bulir bisa untuk tepung.   Kerjasama P3GI  dengan Jepang ini mulai dikembangkan dalam penelitian. Khusus varietas ini nantinya bisa menghasilkan tinggi tanaman sampai 5 meter dan kadar gula tinggi. Varietas ini juga bisa menghasilkan biomassa lebih banyak. Untuk satu ton Sorgum bisa menghasilkan 40 ton biomassa. 
Keunggulan Sorgum lainnya jika dibandingkan dengan tebu antara lain dari sisi umur tanaman saat dipanen yang lebih pendek. Biaya budidaya sorgum juga lebih murah dari tebu dan sorgum cocok untuk ditanam di daerah kering.    Sorgum sudah bisa dipanen dalam 100 hari sampai 120 hari, biaya budidayanya sekitar 1/3 biaya budidaya tebu.

Upaya pengembangan industri gula non tebu dari tanaman stevia

Dewasa ini, sudah dikembangkan pemanis alami non tebu untuk memenuhi kebutuhan pemanis alami, yang baru gencar dikembangkan saat ini adalah pemanis alami yang diperoleh dari tanaman Stevia yang mempunyai tingkat kemanisan 200 – 300 kali gula tebu.  Sebenarnya tanaman yang banyak tumbuh di Paraguay, Kanada, Amerika Serikat, China, Jepang dan Korea ini sudah dikenal selama berabad-abad karena ciri khas pemanisnya yang ringan. Di lndonesia sendiri Stevia banyak dijumpai di daerah Ngargoyoso, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Akan tetapi pengembangannya masih belum terlalu luas  (Anonimous, 2005).
Daun Stevia mengandung senyawa gtikosida diterpendengan tingkat kemanisan antara 200 – 300 kali gula tebu, akan tetapi berkalori rendah.   Kenyataan ini memungkinkan untuk produk-produk olahan makanan maupun minuman kesehatan menggunakan tanaman yang tergolong famili Asteraceaeini. Bahkan di negara Jepang kurang lebih 40% bahan pemanis di pasaran menggunakan bahan dasar dari Stevia ini  (Anonimous, 2005).
Ekstrak Stevia telah terbukti bermanfaat membantu program diet, digunakan juga untuk mereka yang mempunyai penyakit diabetes disamping itu juga dapat membantu keindahan kulit serta berperanan dalam mengatur tekanan darah. Sari dari daun Stevia yang berperanan sebagai pengganti gula ini, sangat cocok untuk dicampur dengan teh atau kopi serta dapat juga dicampurkan ke dalam masakan yang kita makan setiap hari (Anonimous, 2005).

Upaya pengembangan industri gula non tebu dari tanaman nipah  (Nypa fruticans Wurmb)

Secara alami, di Indonesia telah terdapat hutan nipah seluas lebih dari 700.000 ha dengan potensi produksi gula 2,1 juta ton per tahunnya3. Selama ini, pemanfaatan nipah sebagai sumber gula masih dilakukan secara lokal. Baru-baru ini dilakukan perencanaan produksi di Kalimantan Barat direncanakan untuk memanfaatkan 10.000 ha nipah, sehingga prospek pengembangan nipah sebagai sumber gula masih sangat luas. Tantangan untuk pemberdayaan nipah adalah kebutuhan tenaga kerja yang tinggi jika dibandingkan dengan perkebunan tebu, sementara penggunaan mesin yang berat cukup sulit liar karena tanahnya yang lunak dan ketinggian air yang fluktuatif.  Namun getah nipah diperoleh dalam bentuk cair, sehingga tidak memiliki residu berupa bagas seperti halnya tebu  (Anonimus, 2013).

Upaya pengembangan industri gula non tebu dari tanaman Aren
Gula aren salah satu pemanis yang telah diproduksi oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala.  Gula aren sebagai pemanis atau sebagai bahan untuk pemanis makanan merupakan alternatif pemanis yang khasiatnya tidak diragukan lagi.  Ribovflavin merupakan salah satu zat yang terkandung dalam gula aren yang berfungsi untuk melancarkan metabolisme dan memperbaiki sel sehingga membuat tubuh kita tetap prima saat mengkonsumsi gula aren. Disamping itu gula aren mempunyai proses yang lama untuk larut dalam tubuh kita.  Bagi penderita mag sangat baik untuk mengkonsumsi gula aren.  Menurut Jeff Gunnent Dalam bukunya Perma Culture Plants (2004 dalam Anonimous 2012), salah satu unsur pada Gula Aren berfungsi mengontrol dan membersihkan saluran pencernaan, mulai dari lambung dan tenggorokan.
Kandungan Rebopflovin, yang terdapat dalam gula aren melancarkan metabolisme, dan mengoftimaikan fungsi sel. Meski demikian berolahraga dan mengurangi rokok juga perlu dilakukan.  Kalori yang terkandung dalam gula aren juga lebih kecil dari gula putih, dan gula aren memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah yaitu sebesar 35 sedangkan pada gula pasir indeks glikemiknya sebesar 58.  Sehingga lebih aman bagi penderita diabetes dan atau tidak akan menyebabkan diabetes  (Livestrong, 2011 dalam Anonimous,  2012).
Skala 0–100 digunakan untuk mengukur seberapa besar makanan tersebut meningkatkan kadar gula dalam darah. Indeks glimetik (IG) yang mempunyai skala dibawah 50 disebut rendah, 50 – 70 sedang, sedangkan jika angkanya diatas 70 dianggap skala glimetiknya tinggi. Rendahnya IG ini bermanfaat bagi pengidap diabetes, atau untuk yang ingin menurunkan berat badan (Anonimous, 2012).
Pembuatannya yang alami sehingga gula aren tidak mengalami pengrusakan pada kandungan zat-zat yang terkandung di dalamnya, proses penyulingannya pun tidak berkali-kali. Sehingga kandungan yang bermanfaat seperti thiamine, riboflavin, asam askorbat, protein dan juga vitamin C tidak akan hilang atau rusak.  Selain itu dalam proses pembuatannya, gula aren umumya lebih alami sehingga zat-zat tertentu yang terkandung di dalamnya tidak mengalami kerusakan dan tetap utuh.  Serta tidak membutuhkan proses penyulingan yang berkali-kali atau menggunakan tambahan bahan untuk memurnikannya  (Anonimous, 2012).
Sejauh yang penulis ketahui penelitian tentang Aren memang sudah ada tapi belum sampai pada penawaran alternatif  menggantikan tebu sebagai bahan baku pokok industri gula.  Yang ada barulah sebatas penelitian-penelitian yang bersifat parsial untuk mempelajari potensi Aren itu sendiri.  Oleh karena itu dengan tulisan ini penulis berharap akan ada kajian yang lebih mendalam tentang bentuk pilihan kebijakan yang lebih operasional.
Penelitian ini baru mengkaji peluang dari komoditi Aren ini sebagai alternatif kebijakan baru menggantikan tebu sebagian atau seluruhnya secara bertahap.   Kajian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan bagi yang berwenang sebagai solusi program revitalisasi industri Gula Nasional di masa mendatang.   Tentu saja sebagai suatu kebijakan alternatif, diharapkan bahwa kebijakan ini mempunyai nilai lebih sehingga menjamin  revitalisasi gula nasional itu bisa menjawab kesenjangan antara kebutuhan konsumsi gula dengan kemampuan produksi gula nasional selama ini.

(Ini cuplikan dari hasil Penelitian Ir. H. Dian Kusumanto dengan judul  Analisis Peluang Pengembangan Industri Gula Aren mendukung Swasembada Gula Nasional)

Kamis, 23 Januari 2014

Anda Serius Tidak Mau Kaya?

Anda Serius Tidak Mau Kaya?

Oleh : Muhammad Isnaini (Bang Pilot)

1373987751401291218
Kecambah Aren (dokumen pribadi)

Anda mau kaya? Mau jadi jutawan bahkan jadi miliarder
Caranya gampang. Melaksanakannya juga tidak sulit. Cuma ada syaratnya.
Bagaimana caranya? Apa syaratnya? Apa ini mau pakai jurus piara tuyul? Atau ikut MLM uang beranak? Atau merampok toko emas? Main valas?

Maaf, anda keliru jika menduga begitu.

Syaratnya adalah, anda harus punya lahan pertanian tanah kering.
Untuk mendapatkan penghasilan setara gaji seorang camat, maka anda cukup punya lahan seluas 1.000 m2 saja.

Untuk menjadi seorang jutawan, anda cukup bermodalkan tanah pertanian sekira setengah hektar saja. Sedangkan untuk menjadi seorang miliarder, maka minimal anda harus memiliki tanah pertanian satu hektar.

Mau ditanami apa? Sawit? Karet? Atau nilam?
Ketiga tanaman di atas memang sudah lama menjadi primadona dunia pertanian. Tetapi bagaimana jika ada satu jenis tanaman lain yang mampu memberikan penghasilan hingga sepuluh kali lipatnya? Tanaman itu namanya AREN alias ENAU.

1373987939623016139
Bibit Aren Umur 6 Bulan (dokumen pribadi)

Bagaimana mungkin?
Berdasarkan wawancara eksklusif kami dengan tiga orang penyadap aren, Pak Bahtiar, Pak Ramli dan Pak Salim Sinaga beberapa waktu yang lalu, didapat kesimpulan sebagai berikut : empat pohon aren yang disadap pagi dan sore menghasilkan 24 liter air nira, jika dimasak maka akan menghasilkan gula aren seberat 6 kg. (saat ini musim kemarau sehingga air nira sedikit tetapi rendemennya tinggi). Gula aren asli ini dipasaran dijual dengan harga Rp.25.000/kg. (gula aren palsu/campuran harganya 20.000 rupiah/kg).

Jadi penghasilan kotor penyadap aren ini adalah Rp.150.000/hari. Satu bulan berarti berjumlah 4,5 juta rupiah. Dipotong biaya membeli kayu bakar/ elpiji dan biaya transportasi jarak dekat sebesar 500.000 rupiah, maka penghasilan bersih dari menyadap empat pohon aren adalah sebesar empat juta rupiah. Padahal empat pohon aren ini hanya mengambil luas lahan 4×5x10m= 200m2 alias setengah rante.

Jika tersedia tanah seluas 1000m2, maka dapat ditanam pohon aren 1.000:50=20 pohon. Dianggap yang bisa disadap dalam satu waktu hanya 50%nya saja, maka =10 pohon.

10 pohon aren dalam satu hari (disadap pagi dan sore) menghasilkan gula aren sebanyak 15kg. Maka 15×25.000=375.000 rupiah/hari. Anggap saja anda tidak mau bersusah payah bekerja, maka anda bisa menggaji 1 orang penyadap Rp.90.000/hari, dan menggaji satu orang tukang masak nira rp.68.000/hari ditambah biaya beli gas 3 kg Rp.17.000/hari, maka anda masih punya sisa hasil Rp.200.000/hari = Rp.6 juta/bulan = GAJI SEORANG CAMAT !

Selain itu, aren masih menghasilkan produk lain berupa ijuk dan kolang-kaling alias bargat. Tapi kalau anda memang pemurah, maka berikan saja ijuk dan kolang-kaling itu untuk diolah oleh penyadap aren anda. Hitung-hitung amal. 

13739881261067890463
Buah Aren Matang (dokumen pribadi)

Patut dicatat juga, dengan jarak tanam 5×10m seperti di atas, maka masih bisa didapat penghasilan tambahan dari tanaman tumpang sari. Tidak seperti sawit, aren adalah jenis tanaman yang familiar dengan tanaman tumpang sari dibawahnya. Berbagai jenis palawija hingga kopi masih dapat tumbuh dengan baik di sela tanaman aren, bahkan hingga aren berproduksi. Sebenarnya, aren akan makin baik produksi niranya, bila tanah tempatnya tumbuh digemburkan secara berkala, yaitu saat anda akan menanam palawija.
 
Adapun jenis palawija yang direkomendasikan adalah ubi kayu jenis ubi racun alias ubi begog.
Namun jika mau intensif memanfaatkan tanah pertanian di sela pohon aren, maka anda bisa membuat pembibitan tanaman lain, kelapa sawit misalnya. Mau lebih mantap lagi? Tanam nilam.
Seterusnya, bagaimana hitungan hasil aren ini hingga penanamnya bisa menjadi miliarder seperti yang disebutkan di awal pembuka kata?

Hitungannya begini : 1ha = 10.000m2.
10.000:50=200 pohon aren.
200:50%=100 pohon disadap dalam satu waktu.
100×6 liter nira = 600 liter = 150kg gula aren x Rp.25.000 = Rp.3.750.000/hari.

Biaya keluar = gaji 15 orang penyadap x rp.90.000 = Rp.1.350.000 + (gaji 3 orang tukang masak x Rp.75.000 = Rp.225.000) = Rp.1.575.000.
Ditambah biaya beli kayu bakar atau gas 3 kg sebanyak 3 tabung = Rp.51.000.
Jadi 1.575.000 + 51.000 = total pengeluaran harian 1.626.000.

Maka penghasilan bersih perhari : 3.750.000-1.626.000 = 2.124.000 rupiah.
Rp.2.124.000 x 365 hari ( penyadapan tidak bisa terhenti meski hanya satu hari saja, bisa merusak tandan yang tengah dalam sadapan ) = Rp.775.260.000/ tahun. Nah, dalam dua tahun panen saja, anda sudah bisa jadi MILIARDER !

Hitung-hitungan di atas bukan khayalan atau dimark up gaya pejabat korup, tetapi aktual berdasarkan pengalaman para penyadap di daerah kami.

Coba perhatikan hal krusial ini : di daerah kami, Kab. Batu Bara, Sumut, 10 m dpl, satu pohon aren hanya menghasilkan 6 liter nira perpohon perhari. 4 liter dari sadapan sore, 2 liter dari sadapan pagi. Tapi memang rendemennya sangat tinggi, 25%. (memang ada kiat khusus dari penyadap, yang ‘belum’ bisa kami paparkan di sini). Di daerah lain, umumnya satu pohon aren menghasilkan 15-20 liter nira perhari dengan rendemen 15%.

Jika mengikut hasil dari daerah lain itu, maka akan didapat hasil gula yang lebih banyak, namun pengeluaran untuk membeli gas dan upah memasak juga akan membengkak. Jadi, hasil akhirnya akan lebih kurang sama : jadi miliarder dalam waktu 2 tahun panen.

Terakhir, kita sampai pada pertanyaan terpenting : Apa sebab tiga 0rang penyadap aren tadi, sudah puluhan tahun menyadap aren, koq tidak juga jadi jutawan apalagi miliarder?
Jawabannya : karena mereka hanya memiliki 4 sampai delapan batang pohon aren, yang berarti hanya menyadap 2-4 pohon setiap satuan waktu.

Apa mereka punya tanah pertanian? Ya, punya.
Koq tidak ditanami aren?
Entah, mungkin mereka serius tidak mau kaya raya.

Anda bagaimana?
Mengenai bagaimana membudidayakan tanaman aren, Insya Allah akan kami tulis di Kompasiana ini secara terpisah.

 (Artikel ini diturunkan untuk menghormati Bapak Ir.H.Dian Kusumanto).
Sumber :  http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/07/16/anda-serius-tidak-mau-kaya-574220.html