Upaya pengembangan
industri gula non tebu
Beberapa jenis tanaman selain tebu
yang dapat menghasilkan gula terutama gula merah dan gula cair yaitu kelapa,
aren, lontar, nipah, ketela pohon dan beberapa jenis tanaman buah-buahan.
Masalahnya, pemanfaatan tanaman alternative penghasil gula selain tebu belum
dilakukan secara maksimal dan konseptual. Produk akhir dari pengolahan gula
dari tanaman selain tebu bukanlah gula Kristal (gula pasir) tetapi gula merah,
gula semut dan gula cair. Sementara itu penggunaan gula merah, gula semut dan
gula cair untuk keperluan konsumsi masyarakat sangat terbatas dibanding gula
pasir. Di lain pihak, prospek penerapan teknologi pengolahan nira kelapa, aren
dan lontar menjadi gula pasir belum tersosialisasi dengan baik (Rumokoi, MMM. 2004).
Upaya-upaya untuk menggali potensi
dan memanfaatkan pemanis alami non tebu telah dilakukan sejak lama terutama
oleh masyarakat. Pengolahan gula merah dan gula cair dari aren, kelapa, lontar,
nipah dan tanaman lainnya telah berlangsung puluhan tahun dan mungkin berabad
lamanya. Pengolahan gula merah di Jawa telah berlangsung lama, pengolahan gula
aren di Papua, Maluku dan Sulawesi Utara diperkirakan telah dilakukan
berabad-abad, demikian pula dengan pengolahan gula lontar di Nusa Tenggara
Timur (Rumokoi, MMM. 2004).
Timbulnya masalah pemenuhan gula
dalam negeri secara berulang-ulang menimbulkan pemikiran baru tentang
pemanfaatan potensi pemanis alami non tebu sebagai sumber gula dalam negeri di
masa depan. Kelapa, aren dan lontar adalah tanaman-tanaman yang sangat
potensial penghasil gula merah dan gula cair dari segi areal tanaman, pengolah
yang terlibat, dan teknologi pengolahan yang tersedia. Oleh karena itu, potensi
tanaman-tanaman ini sebagai alternative penghasil gula pasir, teknologi
pengolahan gula pasir dari nira yang dihasilkan tanaman-tanaman ini serta
kelayakan sebagai sumber gula alternative perlu diungkapkan untuk memaksimalkan
pemanfaatannya (Rumokoi, MMM. 2004).
Topik tentang peluang perkebunan dan industri gula berbasis non Tebu dalam mendukung
swasembada gula nasional, karena
Pemerintah sudah terlalu lama mengusahakannya namun hasil dari revitalisasi ini
masih belum mencapai tujuannya. Disinilah
pentingnya kita menginventarisir kembali alternative kebijakan public yang
mungkin lebih efektif dalam mengatasi masalah Swasembada gula nasional. Dengan mempertimbangkan alternative
kebijakan yang lainnya menjadikan Pemerintah bisa tidak ‘mati akal’ tidak jumud dan lebih efisien waktu dan
anggaran dalam rangka pemenuhan konsumsi gula nasional (Dian Kusumanto, 2010).
Upaya
pengembangan industri gula non tebu dari tanaman bit gula
Potensi bit sebagai bahan baku gula alternatif
sangat besar. Bit sebagai bahan baku gula memiliki keunggulan dibandingkan
dengan tebu, antara lain kebutuhan air yang lebih rendah yakni sepertiga dari
tebu, mudah tumbuh di tempat marjinal, dan nilai rendemen (kandungan
gula) yang lebih tinggi dibandingkan tebu. Pada tahun 2010 Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) bekerjasama dengan PT. Gula Bit Nusantara (GBN) dan Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian mulai mengembangkan budidaya gula bit tropika (Anonimous,
2010).
Namun
masalahnya, setelah dilakukan pengujian banyak masyarakat yang kurang menyukai
pemanis ini karena ada rasa getirnya. Namun sekarang, telah berhasil ditemukan
sebuah tanaman pengganti yang cukup prospektif dan berpeluang sebagai
alternatif pengganti tebu. Tanaman bit gula (Beta vulgaris L) yang memiliki potensi produktivitas
cukup tinggi yakni mencapai 80 ton per hektar dengan masa tanam hanya 6-8 bulan
serta rendemen minimal 10 persen. Saat ini telah ditemukan varietas gula
bit untuk daerah tropik yang berasal dari India (Anonimous, 2010).
Tanaman ini merupakan spesies yang
berasal dari Afrika. Karakteristik yang khas dari tanaman Afrika adalah
ketahanannya terhadap kekeringan. Menurut penelitian, kebutuhan air bit gula
hanya sepertiga dari kebutuhan air pada perkebunan tebu. Sugar bit
ini kadar gula yang dimiliki dua kali lebih tinggi dari tebu,
Bit
gula memiliki produktivitas 60-80 ton/ha
bahan baku gula engan rendemen 12.
Produktivitasnya lebih kecil
dibandingkan dengan tebu yang memiliki produktivitas 100 ton/ha.
Diperlukan peralatan
berbeda pada pabrik gula bit dan pabrik gula tebu, khususnya pada peralatan
sebelum tahap penguapan. Untuk rencana pengembangan tanaman Gula Bit dapat dilakukan
di Indonesia dengan persyaratan agroklimat seperti yang sudah disebutkan
diatas. Pengolahan gula
bit dapat dilakukan dengan memanfaatkan pabrik gula yang sudah ada dengan
menggunakan proses sulfitasi, dimana nira bit diolah bersamaan dengan nira
tebu. Apabila akan dibangun
pabrik gula baru berbahan baku bit, disarankan berbasis karbonatasi. Sehingga
Pabrik Gula Rafinasi yang ada dengan sedikit modifikasi dapat
dimungkinkan untuk mengolah gula bit. Dengan demikian tidak perlu mengimpor
bahan baku Raw Sugar atau melakukan penanaman tebu untuk diolah menjadi Raw
Sugar. Kedepan
Indonesia dapat mengurangi impor raw sugar dengan dapat
dikembangkannya gula bit sebagai alternatif komoditi untuk menghasilkan gula.
Upaya
pengembangan industri gula non tebu dari tanaman Sorgum
Salah satu alternatif yang diharapkan bisa membantu
produksi gula Tanah Air yang sekarang ini mulai dikembangkan adalah tanaman
Sorgum. Tanaman serealia ini bukan hanya bisa diolah sebagai bahan penghasil
gula, tetapi juga bisa menghasilkan biomas dan jadi pakan ternak. Pada akhir tahun 2012, P3GI juga melakukan penelitian
terhadap 13 varietas gula bit. Dari penanaman dan pengolahan sorgum, setidaknya
bisa didapat 4 hingga 5 ton bulir per hektare. Selain itu, didapat 30 ton
biomas dan 4.000 liter nira (Anonimous, 2012).
Pengembangan varietas baru yang dinilai cocok
dengan iklim Indonesia itu merupakan hasil kerjasama P3GI dengan Badan Atom
Nasional (Batan) dan lembaga di
Jepang. Dari
teknik radiasi Batan, P3GI mendapatkan bibit Sorgum yang cukup baik. Sorgum
varietas ini bisa mengeluarkan bulir lebih cepat, berarti biomassa bisa banyak
untuk pakan ternak dan bulir bisa untuk tepung. Kerjasama P3GI dengan
Jepang ini mulai dikembangkan dalam penelitian. Khusus varietas ini nantinya
bisa menghasilkan tinggi tanaman sampai 5 meter dan kadar gula tinggi. Varietas
ini juga bisa menghasilkan biomassa lebih banyak. Untuk satu ton Sorgum bisa
menghasilkan 40 ton biomassa.
Keunggulan
Sorgum lainnya jika
dibandingkan dengan tebu antara lain dari sisi umur tanaman saat dipanen yang
lebih pendek. Biaya budidaya sorgum juga lebih murah dari tebu dan sorgum cocok
untuk ditanam di daerah kering. Sorgum sudah bisa dipanen dalam
100 hari sampai 120 hari, biaya budidayanya sekitar 1/3 biaya budidaya tebu.
Upaya
pengembangan industri gula non tebu dari tanaman stevia
Dewasa
ini, sudah dikembangkan pemanis alami non tebu untuk memenuhi kebutuhan pemanis
alami, yang baru gencar dikembangkan saat ini adalah pemanis alami yang diperoleh dari tanaman
Stevia yang mempunyai tingkat kemanisan 200 – 300 kali gula tebu. Sebenarnya tanaman yang banyak tumbuh di
Paraguay, Kanada, Amerika Serikat, China, Jepang dan Korea ini sudah dikenal
selama berabad-abad karena ciri khas pemanisnya yang ringan. Di lndonesia
sendiri Stevia banyak dijumpai di daerah Ngargoyoso, Tawangmangu, Karanganyar,
Jawa Tengah. Akan tetapi pengembangannya masih belum terlalu luas
(Anonimous, 2005).
Daun
Stevia mengandung senyawa gtikosida diterpendengan tingkat kemanisan antara 200
– 300 kali gula tebu, akan tetapi berkalori rendah. Kenyataan ini memungkinkan untuk
produk-produk olahan makanan maupun minuman kesehatan menggunakan tanaman yang
tergolong famili Asteraceaeini. Bahkan di negara Jepang kurang lebih 40% bahan
pemanis di pasaran menggunakan bahan dasar dari Stevia ini
(Anonimous, 2005).
Ekstrak Stevia telah terbukti bermanfaat membantu
program diet, digunakan juga untuk mereka yang mempunyai penyakit diabetes
disamping itu juga dapat membantu keindahan kulit serta berperanan dalam
mengatur tekanan darah. Sari dari daun Stevia yang berperanan sebagai pengganti
gula ini, sangat cocok untuk dicampur dengan teh atau kopi serta dapat juga
dicampurkan ke dalam masakan yang kita makan setiap hari (Anonimous, 2005).
Upaya
pengembangan industri gula non tebu dari tanaman nipah (Nypa fruticans Wurmb)
Secara alami, di Indonesia telah
terdapat hutan nipah seluas lebih dari 700.000 ha dengan potensi produksi gula
2,1 juta ton per tahunnya3. Selama ini, pemanfaatan nipah sebagai
sumber gula masih dilakukan secara lokal. Baru-baru ini dilakukan perencanaan
produksi di Kalimantan Barat direncanakan untuk memanfaatkan 10.000 ha nipah,
sehingga prospek pengembangan nipah sebagai sumber gula masih sangat luas.
Tantangan untuk pemberdayaan nipah adalah kebutuhan tenaga kerja yang tinggi
jika dibandingkan dengan perkebunan tebu, sementara penggunaan mesin yang berat
cukup sulit liar karena tanahnya yang lunak dan ketinggian air yang fluktuatif.
Namun getah nipah
diperoleh dalam bentuk cair, sehingga tidak memiliki residu berupa bagas
seperti halnya tebu (Anonimus, 2013).
Upaya
pengembangan industri gula non tebu dari tanaman Aren
Gula aren salah satu pemanis yang
telah diproduksi oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Gula
aren sebagai pemanis atau sebagai bahan untuk pemanis makanan merupakan
alternatif pemanis yang khasiatnya tidak diragukan lagi. Ribovflavin
merupakan salah satu zat
yang terkandung dalam gula aren yang berfungsi untuk melancarkan metabolisme
dan memperbaiki sel sehingga membuat tubuh kita tetap prima saat mengkonsumsi
gula aren. Disamping itu gula aren mempunyai proses yang lama untuk larut dalam
tubuh kita. Bagi penderita
mag sangat baik untuk mengkonsumsi gula aren. Menurut Jeff Gunnent Dalam bukunya Perma
Culture Plants (2004 dalam Anonimous
2012),
salah satu unsur pada Gula Aren berfungsi mengontrol
dan membersihkan saluran pencernaan, mulai dari lambung dan tenggorokan.
Kandungan
Rebopflovin, yang terdapat dalam
gula aren melancarkan metabolisme, dan
mengoftimaikan fungsi sel. Meski demikian berolahraga dan mengurangi rokok juga
perlu dilakukan. Kalori
yang terkandung dalam gula aren juga lebih kecil dari gula putih, dan gula aren
memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah yaitu sebesar 35 sedangkan
pada gula pasir indeks glikemiknya sebesar 58. Sehingga lebih aman bagi penderita diabetes
dan atau tidak akan menyebabkan diabetes (Livestrong, 2011 dalam Anonimous,
2012).
Skala 0–100 digunakan untuk
mengukur seberapa besar makanan tersebut meningkatkan kadar gula dalam darah.
Indeks glimetik (IG) yang mempunyai skala dibawah 50 disebut rendah, 50 – 70
sedang, sedangkan jika angkanya diatas 70 dianggap skala glimetiknya tinggi.
Rendahnya IG ini bermanfaat bagi pengidap diabetes, atau untuk yang ingin
menurunkan berat badan (Anonimous, 2012).
Pembuatannya yang alami sehingga
gula aren tidak mengalami pengrusakan pada kandungan zat-zat yang terkandung di dalamnya, proses
penyulingannya pun
tidak berkali-kali. Sehingga kandungan yang bermanfaat seperti thiamine,
riboflavin, asam askorbat, protein dan juga vitamin C tidak akan hilang atau rusak. Selain
itu dalam proses pembuatannya, gula aren umumya lebih alami sehingga zat-zat
tertentu yang terkandung di dalamnya tidak mengalami kerusakan dan tetap utuh. Serta
tidak membutuhkan proses penyulingan yang berkali-kali atau menggunakan
tambahan bahan untuk memurnikannya (Anonimous, 2012).
Sejauh yang penulis ketahui
penelitian tentang Aren memang sudah ada tapi belum sampai pada penawaran
alternatif menggantikan tebu sebagai bahan baku pokok industri gula. Yang ada barulah sebatas
penelitian-penelitian yang bersifat parsial untuk mempelajari potensi Aren itu
sendiri. Oleh
karena itu dengan tulisan ini penulis berharap akan ada kajian yang lebih
mendalam tentang bentuk pilihan kebijakan yang lebih operasional.
Penelitian ini baru
mengkaji peluang dari komoditi Aren ini sebagai alternatif kebijakan baru
menggantikan tebu sebagian atau seluruhnya secara bertahap. Kajian ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan untuk memutuskan bagi yang berwenang sebagai solusi program
revitalisasi industri Gula Nasional di masa mendatang. Tentu saja sebagai suatu kebijakan alternatif, diharapkan bahwa
kebijakan ini mempunyai nilai lebih sehingga menjamin revitalisasi gula nasional itu bisa menjawab
kesenjangan antara kebutuhan konsumsi gula dengan kemampuan produksi gula
nasional selama ini.(Ini cuplikan dari hasil Penelitian Ir. H. Dian Kusumanto dengan judul Analisis Peluang Pengembangan Industri Gula Aren mendukung Swasembada Gula Nasional)