Rabu, 28 Oktober 2009
Kisah Petani Aren dari Ciamis Jawa Barat
Orang Kuta Bersanding Adat, Merangkul Alam
(Liputan6.com, Ciamis)
Keseimbangan antara manusia dan alam kerap tercermin dalam adat istiadat Bangsa Timur. Sayangnya, saat ini, tak banyak masyarakat di Tanah Air yang menjaga nilai-nilai harmonisasi kehidupan tadi. Banyak hutan belantara yang diterjang keserakahan manusia dengan alasan klasik: demi kelangsungan ekonomi. Ironis memang. Nah, kehidupan warga Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat, dapat menjadi sebuah contoh kecil. Betapa tidak, mereka umumnya masih mempertahankan "adat karuhun" untuk melestarikan alam sekitar. Makanya tak heran, wilayah yang berlokasi di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, atau sekitar 45 kilometer dari Ciamis ini mendapat anugerah Kalpataru dari pemerintah, awal Juni silam. Anugerah itu diberikan atas jasa warga Kuta yang memelihara hutan lindung seluas 40 hektare.
Bila mengunjungi wilayah tersebut, sepintas tak ada yang istimewa dari Kampung Kuta. Dan seperti halnya kampung lainnya, suasana pagi di Kampung Kuta juga semarak dengan berbagai aktivitas penduduk. Sebagian warga ada yang hendak menuju Pasar Rancah, sebuah pasar kecil dekat wilayah mereka. Untuk itulah, mereka menumpang sebuah truk kecil yang merupakan satu-satunya sarana transportasi ke dunia luar. Setelah menempuh jarak sekitar 15 kilometer, mereka sampai di Pasar Rancah. Pusat perdagangan ini memang bagaikan urat nadi kehidupan sejumlah desa di Ciamis. Di sinilah, setiap Rabu dan Sabtu, mereka menyalurkan berbagai hasil bumi. Sejumlah hasil industri rumah tangga pun diperjualbelikan. Dari hasil jual beli itulah mereka berharap memperoleh sejumlah uang demi kebutuhan keluarga masing-masing.
Tak terkecuali bagi orang Kuta. Para pedagang asal Kampung Kuta memang terkenal dengan produksi gula aren. Komoditi inilah yang menjadi andalan perekonomian mereka sejak bertahun-tahun silam. Bagi orang Kuta, menyadap aren telah menjadi satu di antara pekerjaan turun-temurun yang masih dipertahankan hingga kini. Bahkan, untuk menjaga kelangsungan profesi ini, mereka memberlakukan larangan menebang pohon aren yang tumbuh di atas tanah kampungnya. Alhasil, jumlah pohon aren terus berlipat ganda. Bukan sulap bukanlah sihir, seribu pohon yang tumbuh beberapa tahun silam, kini bertambah tiga kali lipat. Bisa dikatakan, ini bukan pekerjaan yang mudah di zaman sekarang.
Kendati demikian, penduduk kampung tetap mengatur penyadapan pohon aren dengan tertib. Buktinya, seribu pohon yang kini telah berproduksi atau menghasilkan cairan nira pun dibagi merata kepada sekitar 400 orang. Rincinya, masing-masing kepala keluarga memperoleh bagian rata-rata sebanyak tujuh tangkal pohon aren. Sementara sebagian tajuk aren, dibiarkan di tempatnya untuk kelak dijadikan kolang-kaling. Sedangkan tajuk yang ditebang untuk menghasilkan cairan nira dipasangi tabung-tabung bambu. Bersamaan saat penyadap mengambil nira, tabung-tabung itu pun sekaligus diganti selang dua kali sehari.
Setiap kepala keluarga di Kampung Kuta, minimal memperoleh 2,5 kilogram gula aren per hari. Kemudian sang istri memasak aren tersebut. Setelah itu, suami dan istri biasanya bahu-membahu membungkusnya dengan daun aren kering menjadi bonjor-bonjor yang dilepas seharga Rp 6.000 per satuan. Bonjor-bonjor ini juga kerap dijual kepada sesama warga. Ini dilakukan bila si pembuat gula aren tak mampu menyalurkannya sendiri ke pasar. Tapi, dengan cara inilah mereka menunjukkan ikatan yang kuat satu sama lain dalam upaya mempertahankan hidup dan menjaga tradisi.
Selain produksi gula aren, Kampung Kuta juga terkenal dengan keteguhan penduduknya dalam mempertahankan nilai-nilai yang mereka warisi dari para leluhur. Berdasarkan kisah yang hidup di masyarakat setempat, di Kuta dulu sempat akan didirikan pusat Kerajaan Galuh. Buktinya, terdapat deposit sejumlah material yang memungkinkan untuk kegiatan pembangunan. Antara lain, adanya semen merah dari tanah di Gunung Semen. Serta hamparan kapur seluas 0,25 hektare dan batu soko di Gunung Gede atau Leuweung Ageung.
Konon, Raja Galuh yang mempunyai gagasan membangun pusat kerajaan di Kuta diyakini warga adalah Prabu Ajar Sukaresi. Setelah sang raja berkeliling Kuta, ternyata ia membatalkan rencana tersebut. Alasannya, daerah itu ternyata dikelilingi tebing-tebing. Raja pun berpendapat, pusat pemerintahan tak mungkin akan berkembang bila dikelilingi tebing. Itulah sebabnya, daerah berlembah yang dikelilingi bukit ini sekarang dinamakan Kuta--sesuai bahasa keseharian di Tatar Sunda. Akhirnya, Prabu Ajar Sukaresi memutuskan Karangkamulyan sebagai gantinya. Buktinya, di sana ditemukan situs yang kini menjadi objek wisata sekaligus daerah singgah.
Setelah rencana pembangunan Kuta batal, datang utusan Kerajaan Cirebon, bernama Raksabumi. Versi lain menyebutkan, kehadiran Raksabumi di sana diutus Raja Galuh untuk memelihara atau menjaga barang peninggalan Sang Raja. Tak lama kemudian, datang lagi utusan bernama Batasela, yang kabarnya keturunan dari Solo, Jawa Tengah.
Sedangkan Raksabumi atau Aki Bumi setiba di daerah Kuta, membangun permukiman di sekitar rawa. Lantaran jiwa kepemimpinannya yang tinggi, Aki Bumi akhirnya ditetapkan sebagai pemimpin atau penjaga Kuta hingga akhir hayatnya. Warga menyebutnya sebagai kuncen Kuta pertama. Kuncen berikutnya, Aki Danu, Aki Maena, Aki Surabangsa, Aki Rasipan dan Aki Maryno--kuncen saat ini. Sebelum meninggal dan dimakamkan di Cibodas, Aki Bumi telah membangun Kuta. Makanya, hingga kini, warga Kuta sebagai keturunan Aki Bumi yang meninggal tak ada yang dimakamkan di Kuta. Kesemuanya dimakamkan di Cibodas.
Seperti telah diceritakan, tugas Aki Bumi ke Kuta untuk menjaga bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Peninggalan itu, kabarnya berupa sejumlah punduk domas atau tempat pandai besi membuat senjata dan peralatan pembangunan. Juga tempat menyepuh peralatan perang agar memiliki kesaktian. Tempat-tempat itu bernama Gunung Apu, Gunung Semen, dan Gunung Barang. Sejumlah lokasi tersebut diyakini sebagai persiapan pembangunan kerajaan. Dan semua peninggalan tadi, hingga saat ini, juga diyakini warga Kuta berada di dalam hutan tersebut. Karena itu, mereka hingga sekarang tetap mempertahankan hutan. Tak ada yang berani menebang pohon, bahkan mengambil ranting sekalipun.
Kisah tersebut dibenarkan Ketua Adat Warga Kuta Karman. Menurut Karman, leluhurnya memberi sebuah wasiat. Bunyinya, jika hutan itu dirusak, warga akan mengalami kesulitan air. Selain itu, bencana alam berupa tanah longsor akan menimpa perkampungan Kuta. Karman menuturkan, Aki Bumi juga menciptakan aturan-aturan yang kini diwarisi penduduk Kampung Kuta. Satu di antaranya adalah aturan bentuk rumah tinggal yang dihuni para warga. Wasiat itu mengharuskan orang Kuta harus tinggal dalam sebuah rumah panggung persegi yang terbuat dari kayu dan beratapkan sirap.
Selain itu, Karman menambahkan, orang Kuta juga diwajibkan memasak dengan menggunakan tungku. Sedangkan rumah warga Kuta umumnya hanya memiliki dua kamar. Sebab, mereka biasanya adalah sebuah keluarga batih atau kecil. Namun, kekeluargaan yang erat di antara sesama penduduk kampung menyebabkan warga cenderung membuat ukuran ruang tamu agak besar. Ini untuk menampung para tetangga yang acapkali datang berkunjung.
Meski pesan-pesan leluhur berusaha dijaga teguh, penduduk Kampung Kuta tetap terbuka pada perubahan dunia. Buktinya, bentuk pintu geser pada rumah asli kini telah berganti. Demikian pula dengan jendela rumah yang diganti kaca. Bahkan, peralatan elektronik bukan lagi sesuatu yang tabu. Bagi orang Kuta, perubahan adalah hal biasa, asalkan aturan utama tak dilanggar. Seperti mengubah pola dasar rumah atau cara memasak dengan tungku. Soalnya, mereka percaya bila aturan utama dilanggar, Aki Bumi tak segan-segan langsung menegur. Caranya, dengan membidikkan bala bagi si pendosa.
Sedangkan pantangan utama dari Aki Bumi adalah mengusik kawasan Leuweung Gede, hutan keramat tempat ia bersemedi. Makanya tak heran, jika sejak dahulu kawasan seluas 40 hektare ini tak pernah berubah. Di hutan larangan inilah, Karman sebagai Ketua Adat Kampung Kuta yang dipilih warga datang berziarah. Seperti halnya warga lain, Karman selalu datang memohon restu dari sang leluhur bilamana bermaksud melangsungkan sesuatu. Dan ziarah ini hanya bisa dilakukan setiap Senin dan Jumat. Tentunya dengan diawasi Sang Kuncen, keturunan langsung dari Aki Bumi yang hingga kini tetap menjaga kawasan Leuweung Gede.
Sang Kuncen-lah yang menjadi perantara dialog antara peziarah dan arwah leluhur. Biasanya, dia membakar dupa berupa kemenyan bercampur minyak wangi. Di tengah kepulan dupa tersebut, Sang Kuncen akan turut memintakan restu bagi Karman. Sebab, Ketua Adat Kampung Kuta ini bermaksud membongkar rumah lama dan membangun kembali sebuah rumah baru dengan pola dasar yang sama.
Sebagai syarat memperoleh restu, Karman harus pula membasuh wajahnya di kawah. Ini adalah sebuah mata air di tengah hutan yang dipercaya mampu membuat awet muda. Dia pun harus mencampur air kawah dengan air Sungai Ciasih yang dahulu tempat Aki Bumi mandi saat bersemedi. Kelak, campuran ini harus diberikan kepada seluruh anggota keluarganya. Karman sendiri sangat bersyukur atas aturan-aturan yang diwariskan Sang Leluhur yang dirasakan sangat mempermudah hidupnya. Contohnya, aturan untuk menjaga kekeluargaan antarpenduduk dan gotong royong. Berkat aturan inilah, Karman tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membangun rumah barunya.
Semangat kekeluargaan orang Kuta memang menjadi modal utama mereka. Terutama saling menutupi kesenjangan antarwarga. Bahkan, mereka secara teratur menyumbangkan sebagian padi hasil panen. Dan dibagikan secara bergiliran setiap bulan. Dengan semangat ini pula, pasangan pengantin baru, Yoyoh dan Rustomo, merasakan berkah yang sama dengan Karman. Buktinya, para penduduk dengan sukarela membantu membangun blandongan atau panggung kayu tempat acara tabuhan yang memeriahkan hajat mereka. Tabuhan adalah acara musik dari tumbukan lesung dan alu yang diselenggarakan sebagai tanda syukur atas pernikahan mereka.
Dan saat fajar belum menyinari bumi, penduduk Kampung Kuta telah memenuhi rumah pasangan Yoyoh dan Rustomo dengan semangat untuk membantu. Ini adalah sesuatu hal yang kini sudah semakin jarang ditemui di tempat lain. Para pemain tabuhan pun begitu bersemangat menghentakkan alunya di dalam lesung meski kantuk masih dirasakan. Sesuatu semangat kemanusiaan yang begitu murni layaknya sinar mentari yang mulai menghangati bumi. Sehangat semangat orang Kuta memegang teguh adat warisan leluhur untuk melestarikan alam.(ANS/TIm Potret)
Sumber : http://berita.liputan6.com/progsus/200207/38263/class='vidico'
Subhanalloh, saya sangat tergetar baca naskah ini. tadinya hanya ingin tahu tentang pohon aren, ternyata....pengetahuan yang tinggi tentang kearifan lokal ada di sini. saya pun jadi teringat pernah mengunjungi kampung Kuta ini(sekitar tahun 2003). waktu itu terkesan sangat senyap dan ....mistik (maklum sore-sore) jadi karena terbiasa di kota agak nggak kerasan. sayangnya tak sempat menyaksikan kearifan lokal dengan aturan dan nilai lokal yang begitu bernilai guna bagi memperkokoh ketahanan sosial warga. Luar biasa bagi penulis ! terima kasih !
BalasHapus