Antara Food Estate dan Pengembangan Aren
Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Program Food Estate dan Rice Estate sekarang menjadi salah
satu tumpuan harapan bagi mencukupi kebutuhan pangan masa depan. Ketahanan Pangan bahkan menjadi program
utama dan seharusnya diutamakan. Krisis
pangan dunia sebenarnya sudah lama
disadari pasti akan datang. Semua orang
juga sudah tahu kalau krisis pangan terjadi maka kemudian pasti krisis yang lain akan
bermunculan. Kekacauan itu bisa saja
bergulir ke krisis politik atau ekonomi lebih dulu. Atau bahkan bisa bergulir ke krisis keamanan
dan moneter dunia. Dan sejarah seperti sudah
pernah terjadi, krisis panganlah hulunya.
Pangan memang seharusnya menjadi program wajib yang pertama
dan utama. Oleh karena itulah Kaltim
merasa sangat berkepentingan dalam hal pemenuhan pangan bagi warganya. Keadaan yang sama secara nasional memang
tidak sama dirasakan oleh daerah-daerah lain,
yang merasa ketersediaan pangannya sudah mencukupi. Namun demikian secara nasional keadaan
pangan kita sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan.
Maka sangat tepat jika Program Nasional Food & Rice
Estate (FRE) dari Kementerian Pertanian kemudian ditarik ke Kaltim. Gubernur Awang Farouk Ishak demikian antusias
untuk menarik program yang semula dialokasikan
di Papua ini. Antusiasme Food & Rice
Estate ini menjadi lebih bergairah lagi setelah Kawasan Delta Kayan di
Kabupaten Bulungan menunjukkan titik-titik keberhasilannya dalam program awal
pengembangan pangan ini. Antusiasme pun
menular ke seluruh kabupaten/kota di Kaltim dengan menyediakan cadangan lahan
untuk kawasan pangan program ini.
Seperti magnet yang kuat, program FRE ini kemudian menarik minat
perusahan swasta nasional dan BUMN untuk ikut mengambil peluang. Menteri BUMN juga demikian antusias dan
sangat terpanggil untuk turut memperjuangkan kemandirian pangan nasional ini
dengan menugaskan beberapa BUMNnya mencari lokasi lahan di Kaltim. Seperti berlomba mereka seolah tidak mau
kehabisan stok lahan yang sudah dicadangkan yang konon tersedia hingga 200-an ribu hektar bahkan
lebih.
Entah karena belum pengalaman di bidang pembukaan lahan atau
karena ternyata tidak segampang yang dibayangkan, maka banyak pihak calon
investor FRE ini kemudian pada berguguran.
Pengurusan lahan yang terkesan berbelit-belit dan sulit itu kemudian
sampai sempat membuat hati Pak Dahlan
Iskan galau untuk tidak melanjutkan.
Maka mungkin saking emosinya, sempat Menteri Dahlan Iskan mengatakan
bahwa penyediaan lahan 200 ribu hektar di Kaltim itu omong kosong. Ternyata kegalauan Bapak Menteri itu cukup
mengejutkan Bapak Gubernur dan seluruh Bupati yang sudah berusaha dengan susah
payah mencadangkannya.
Pak Gubernur demikian gigihnya untuk tetap menjalankan
program ini walau bagaimanapun keadaannya.
Beberapa Bupati juga bertekad tidak kalah semangatnya untuk terus
mengawalnya. Sejak awal program ini juga
selalu menjadi pekerjaan utama bagi Tim Percepatan Food & Rice Estate
Kaltim yang dipimpin oleh Profesor Riyanto.
Bersama timnya Bapak Profesor terus bergerak untuk meyakinkan pihak investor
dan para Bupati untuk tetap konsisten dan terus maju. Potensi yang sedemikian besar meskipun masih
diselimuti banyak kendala tidak akan menyurutkan tekad karena kalau tidak maka
krisis pangan akan menjadi bayang-bayang yang sangat menakutkan.
Yang menjadi prioritas utama FRE tentu saja adalah pemenuhan
pangan pokok yaitu beras. Maka kemudian
pencetakan sawah dan lahan baru bagi tanaman padi menjadi yang paling banyak
dibicarakan. Karena beras merupakan
bahan pangan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia, maka beras harus benar-benar aman
ketersediaan maupun distribusinya.
Komoditi pangan yang lain juga harus diperjuangkan seperti Jagung,
Kedelai, Ubikayu, dan lain-lain. Tentu saja kita juga harus berpikir tentang
pemenuhan sumber protein hewani berupa daging sapi yang selama ini masih
impor. Demikian juga gula, kita juga
masih selalu impor. Pabrik-pabrik dan
perkebunan tebu kita masih belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam
negeri.
Aren berpeluang masuk Food Estate
Nah… dari hal yang penulis sebutkan terakhir itulah Aren
bisa masuk menjadi salah satu komoditi di dalam program Food Estate. Food yang artinya adalah pangan untuk
manusia, di dalamnya juga ada gula yang menjadi kebutuhan cukup mendasar bagi
kehidupan manusia modern sekarang ini. Selama ini kta sangat mengandalkan tebu
sebagai bahan utama gula kita. Namun
tidak bisa kita pungkiri bahwa Aren ternyata sangat potensial dan sangat masuk akal
untuk menjadi alternatif lain bahan baku gula.
Ternyata kesulitan Pak Gubernur dan para Bupati untuk
menyediakan lahan itu terkendala sebagian besar karena status kawasan dan
tentang perijinannya. Betapa tidak,
lahan-lahan yang sangat potensial untuk kawasan FRE itu sebagian besar sudah
memiliki ijin penggunaan lahan oleh investor sebelumnya. Para investor itu memang mengelola
bidang-bidang yang menggiurkan untuk berinvestasi seperti untuk Pertambangan
Batu Bara, Perkebunan Kelapa Sawit, HPH, IPK dan lain-lain. Pada akhirnya mencari lahan untuk keperluan membuka
persawahan dan lahan pangan sangat sulit. Persaingan kepentingan sungguh sangat
ketat.
Status Kawasan yang bisa dikelola untuk membuka persawahan
dan lahan pangan praktis adalah lahan KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan) dan
Kawasan Hutan Peruntukan Lain (HPL). Kawasan
Lindung, KBK (kawasan Budadaya Kehutanan) praktis tidak bisa digunakan untuk
pengembangan persawahan dan lahan pangan.
Namun kalau yang dipilih itu adalah Aren, maka bisa dikatakan Aren itu tanaman
yang sangat fleksibel. Tanaman Aren bisa
masuk sebagai tanaman perkebunan, juga bisa masuk sebagai kategori pohon hutan
non kayu bahkan sebagai tanaman yang berfungsi konservasi. Oleh karena itu Aren bisa masuk di semua
status kawasan apakah KBNK, KBK ataupun Kawasan Lindung.
Jika Aren dikelola untuk diambil manfaatnya menghasilkan salah satu bahan makanan utama
(Sembako) yaitu Gula, maka pengembangan
Aren secara perusahaan oleh investor, seyogjanya bisa termasuk dalam program
Food Estate. Kita sudah paham kalau selama ini kebutuhan
Gula kita masih terpaksa mendatangkan
atau impor dari luar negeri. Ternyata
perkebunan Tebu dan industry Gula kita sudah lama terseok-seok dan semakin lama
malah semakin menurun vitalitasnya.
Program revitalisasi gula melalui bahan baku tebu pun sampai sekarang
belum mampu mendongkrak kebutuhan gula nasional kita.
Produktifitas tebu yang semakin lama semakin menurun,
terakhir hasil gulanya dari se hektar lahan tebu hanya sebesar antara 5 – 7 ton
gula. Sangat jauh dengan produktifitas
kebun Aren yang mampu menghasilkan
paling sedikit 50 ton Gula Aren dalam waktu setahun dari sehektar
lahan. Kalau kebun Aren dikelola secara
intensif dan modern maka hasil Gulanya bisa mencapai 100 ton bahkan lebih. Itu artinya bahwa Aren mempunyai kemampuan
10-20 kali lipat dari Tebu. Jika
sekarang ada sekitar 400.000 hektar lahan perkebunan Tebu di Indonesia ini,
maka peran itu bisa diganti oleh hanya 20.000 sampai 40.000 hektar perkebunan Aren.
Dan kebun Aren itu bisa ditanam di lahan-lahan yang selama
ini kurang produktif, di lahan-lahan kering yang berbukit-bukit. Lain halnya dengan tebu yang selalu bersaing
dengan lahan-lahan sawah produktif, lahan-lahan kering untuk pangan
lainnya. Maka jika Aren dikembangkan
untuk Food Estate sebagai penghasil Gula, maka Aren akan dapat membantu,
mendukung bahkan menggantikan tebu. Bisa
dibayangkan jika kemudian program Food & Rice Estate ini kemudian mendapat
tambahan luasan 400.000 hektar dari bekas lahan Tebu, berapa banyak kontribusi pangan yang bisa
diberikan. Soalnya peran tebu untuk
menghasilkan gula sudah diganti oleh Perkebunan dan Industri Gula berbasis
Aren.
Maka sekarang kita bisa menggunakan akal yang sehat untuk
memperhitungkan Aren dalam program Food Estate dalam rangka kemandirian pangan
nasional kita. Mengapa kok kita sangat terlambat memikirkan
hal itu ?
Bagaimana menurut Anda ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda.