Rabu, 24 Desember 2014

Energi Terbarukan : Bioethanol dari Aren Potensi yang Sangat Luar Biasa

Pertamax cap Tikus.....

Potensi bioethanol Indonesia sangat luar biasa, misalnya di Minahasa Utara masyarakat di wilayah ini sudah biasa memproduksi bioethanol dari nira aren.
Bahkan diantaranya digunakan langsung untuk bahan bakar kendaraan roda empat, namun sayangnya belum tersentuh tangan pemerintah.
Misalnya saja Johan Arnold Mononutu warga Minahasa Utara ini menggunakan bioetanol sejak tahun 2007. Ia berhasil memproduksi bahan bakar nabati dari nira aren berkadar99,9%. Johan menggunakan 10-15% bahan bakar bioetanol dari nira aren bisa digunakan untuk menggeber mobil dengan kecepatan rata-rata 50-100 km per jam.
“Tidak ada keluhan apa-apa, malahan suara mesin lebih halus dan tarikan lebih kencang karena setara Pertamax Plusplus,” ujar Johan seperti dikutip dari situr kementerian ESDM, Senin (23/5/2011).
Ia menambahkan, bioethanol dari nila aren selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan johan memanfaatkannya untuk kompor.
“Cuma, untuk kompor cukup memakai bioetanol berkadar 60%,”ungkapnya.
Menurut Johan bioethanol yang ia hasilkan memiliki api berwarna biru, tanpa jelaga dan lebih irit karena konversi minyak tanah dan bioetanol 2:1 yang artinya, 1 liter bioetanol mampu menggantikan 2 liter minyak tanah.
“Kesuksesan ini telah mendorong kelompok nelayan di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahas mengganti minyak tanah dengan bioetanol untuk lampu-lampu petromaknya,” tutur Johan.
Untuk memproduksikan bioetanol dari nira aren menurut Johan tidaklah sulit, dengan menggunakan seperangkat alat destilasi rakitan sendiri yang terbuat dari besi nirkarat (stainless steel) yang terdiri dari pipa kondensator serta selang-selang plastik.
“Sekarang dengan volume tangki lebih besar dan pengaturan suhu otomatis, dalam sehari atau 10 jam kerja kami mampu menghasilkan 500 liter bioetanol,” tambah Johan.
Bioetanol bagi masyarakat Minahasa Utara bukanlah barang baru, mereka sudah mengenal sejak zaman Belanda bahkan mungkin jauh sebelumnya. Dihampir beberapa kecamatan seperti Kauditan dan Telawaan memproduksikan energi hijau tersebut sebagai mata pencaharian.
Misalnya saja di Desa Tamaluntung Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 200 kepala keluarga yang mengolah nira aren menjadi bioetanol berkadar alcohol 40-50% yang mereka sebut ‘Cap Tikus’. Cap Tikus merupakan minuman keras tradisional masyarakat Minahasa.
Potensi bioetanol dari pohon aren di Tamaluntung sangat besar. Penggerak Ekonomi Pedesaan di kabupaten Minahasa Utara.
Renald Tuhwidan seorang warga Minahasa lainnya menuturkan jumlah produktif pohon aren berumur 7 sampai 30 tahun tidak kurang dari 50.000 batang tumbuh liar yang ada di Tamaluntung.
Menurutnya dari pohon aren yang produktif itu hanya 60-70% yang telah dimanfaatkan, selebihnya pohon tidak disadap. Dengan masa produksi 4-6 bulan setiap pohon akan menghasilkan 20 liter nira.
(hen/dnl)
Johan Arnold : Kembangkan Bahan Bakar Bioetanol Dari Nira Aren
Monday, 23 May 2011 10:12
Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan, pohon aren juga dimanfaatkan untuk bahan bakar kompor.
MINAHASA – Innova hitam keluaran tahun 2006 melaju kencang dari Minahasa Utara menuju Manado. Kecepatan rata-rata mobil tersebut 50-100 km per jam setiap hari. Johan Arnold Mononutu menggunakan 10-15% bahan bakar bioetanol dari nira aren.
“Tidak ada keluhan apa-apa, malahan suara mesin lebih halus dan tarikan lebih kencang karena setara Pertamax Plusplus,”ujar Johan, Seperti dilansir laman ESDM
Johan Arnold Mononutu menggunakan bioetanol sejak tahun 2007 ketika berhasil memproduksi bahan bakar nabati dari nira aren berkadar 99,9%. Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan johan memanfaatkannya untuk kompor.
”Cuma, untuk kompor cukup memakai bioetanol berkadar 60%,” ungkapnya.
Dengan menggunakan biotenal lanjut Johan, menghasilkan api berwarna biru, tanpa jelaga dan lebih irit karena konversi minyak tanah dan bioetanol 2:1 yang artinya, 1liter bioetanol mampu menggantikan 2 liter minyak tanah.
“kesuksesan ini telah mendorong kelompok nelayan di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahas mengganti minyak tanah dengan bioetanol untuk lampu-lampu petromaknya,”tutur Johan.
Untuk memproduksikan bioetanol dari nira aren menurut Johan tidaklah sulit, dengan menggunakan seperangkat alat destilasi rakitan sendiri yang terbuat dari besi nirkarat (stainless steel) yang terdiri dari pipa kondensator serta selang-selang plastic.
“sekarang dengan volume tangki lebih besar dan pengaturan suhu otomatis, dalam sehari atau 10 jam kerja kami mampu menghasilkan 500 liter bioetanol,” tambah Johan.
Bioetanol bagi masyarakat Minahasa Utara bukanlah barang baru, mereka sudan\h mengenal sejak zaman Belanda bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Dihampir beberapa kecamatan seperti Kauditan dan Telawaan memproduksikan energy hijau tersebut sebagai mata pencaharian. Di Desa Tamaluntung Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 200 KK yang mengolah nira aren menjadi bioetanol berkadar alcohol 40-50% yang mereka sebut “Cap Tikus”. Cap Tikus merupakan minuman keras tradisional masyarakat Minahasa.
Potensi bioetanol dari pohon aren di Tamaluntung sangat besar. Penggerak Ekonomi Pedesaan di kabupaten Minahasa Utara, Renald Tuhwidan menuturkan, jumlah produktif berumur 7 sampai 30 tahun tidak kurang dari 50.000 batang, yang belum produktif tidak terhitung.
Semuanya tumbuh dengan liar. Dari pohon aren yang produktif itu hanya 60-70% yang telah dimanfaatkan, selebihnya pohon tidak disadap. Dengan masa produksi 4-6 bulan setiap pohon akan menghasilkan 20 liter nira. Terbayangkan jika seluruh pohon aren dimanfaatkan sebagai bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.(c8/lik)
Nira Aren Bahan Baku Agroindustri Bioetanol Yang Menjanjikan
Sumber: Trubus, Nov 23, 2007;http://www.pusatagroindustri.com/
Pada akhir 2006 Eka Bukit juga menggeluti bisnis bioetanol. Baik biodiesel (sumber energi mobil bermesin diesel) maupun bioetanol alias biopremium termasuk bahan bakar nabati yang bersumber dari tumbuhan. Sarjana Teknik Industri alumnus Universitas Sumatera Utara itu memang tak mengolah dari bahan mentah. Ia bekerja sama dengan puluhan produsen bioetanol skala rumahan di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Masyarakat setempat secara turun-temurun piawai mengolah nira aren menjadi etanol dengan peralatan sederhana. Karena terbiasa mengolah etanol, teknologi produksi sangat mereka kuasai. Dengan demikian, Eka tak harus menyuluh atau mengajari cara menyuling, misalnya. Bagi mereka, etanol nira aren itu sebagai bahan minuman keras yang sohor dengan sebutan Cap Tikus. Malahan minuman itu juga dikapalkan ke Papua.
Bioetanol produksi mereka berkadar etanol 35%. Untuk menghasilkan satu liter perlu 9 liter nira. Padahal, bermacam industri seperti farmasi dan kosmetik memerlukan etanol berkadar 99,6%. Eka kemudian memurnikan hasil sulingan masyarakat Minahasa Selatan hingga diperoleh kadar etanol 99,6%. Menurut perhitungan Eka, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% menghabiskan 15 liter nira aren.
Di Minahasa Selatan yang menjadi sentra aren, harga seliter nira Rp200. Untuk menghasilkan bioetanol Eka menghabiskan Rp3.000. Itu baru untuk bahan baku. Dengan menghitung biaya proses, transpor Manado-Jakarta, dan pajak, total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% mencapai Rp4.700. Ongkos transpor Manado-Jakarta Rp700 per liter.
Pasar terbentang
Rata-rata produksi Kreatif Energi Indonesia 1-2 ton per hari atau 20.000 ton per bulan. Kepada reporter Trubus Andretha Helmina, Eka Bukit mengatakan bahwa volume penjualan bioetanol mencapai 1-2 ton per hari dengan harga Rp6.500 per liter. Artinya, setiap hari ia mengutip laba bersih Rp1.800.000-Rp3.600.000 atau Rp36-juta per bulan dari penjualan bioetanol skala rumahan.
Memang produksinya belum dikonsumsi oleh kendaraan bermotor, walau sudah memenuhi standar kualitas bahan bakar nabati. Namun, lantaran konsumen bioetanol sangat luas, Eka baru sanggup memasok industri farmasi. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar direktur operasional PT Kreatif Energi Indonesia itu. Sebagai gambaran, hingga saat ini Eka belum sanggup melayani tingginya permintaan bioetanol.
Setidaknya 255 ton permintaan rutin per bulan yang gagal terpasok. Jika itu terlayani, tentu saja Eka bakal meraup laba bersih jauh lebih besar. Oleh karena itu lajang kelahiran Medan 16 Juni 1972 itu kini membuka pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Daerah itu dipilih lantaran terdapat 14 kecamatan sentra aren dari total 22 kecamatan. Lokasinya gampang dijangkau dari Jakarta dan relatif dekat.
Jarak yang dekat berarti memangkas biaya produksi, terutama biaya pengangkutan. Di Lebak, Banten, bungsu 5 bersaudara itu juga menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Ia akan menampung seluruh produksi mereka sepanjang memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan. Saat ini 14 kecamatan itu menghasilkan 120 ton nira per pekan. Eka juga mengembangkan 7 ha sorgum sebagai bahan baku. Anggota famili Gramineae itu memang potensial sebagai penghasil biotenaol (baca: Tanaman Penyumbang Bahan Bakar halaman 22).
Itulah strategi Eka membangun kilang hijau. Kilang adalah instalasi industri tempat pemurnian minyak bumi. Namun, kilang juga berarti fermentasi air tebu atau nira. Proses itu harus dilalui ketika ia mengolah nira menjadi bioetanol yang terus ia kembangkan. Ia sama sekali tak khawatir soal pemasaran. Selama ada kehidupan, bioetanol tetap diperlukan: untuk minuman, makanan, kosmetik, rokok, juga bahan bakar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina). Sumber : Majalah Trubus
Produksi Biotheanol dari Nira Aren Skala Mikro-Kecil
Written by supermin, Senin, 10 Desember 2007
Ethanol (Ethyl Alkohol-C2H5-OH) sudah dikategorikan sebgai energi komersial atau energi teknis karena telah mencapai kematangan teknis dan kematangan komersial dengan Brasil sebagai produsen ethanol terbesar di dunia. Saat ini perusahaan-perusahaan otomotif sudah memproduksi mobil dengan bahan bakar ethanol seperti Volswagen AG. Bahkan di Brasil telah mengembangkankan pesawat terbang kecil EMB 202, yang merupakan pesawat terbang pertama di dunia menggunakan bahan bakar ethanol (alcohol) dan saat ini lebih dari 300 pesawat terbang kecil di Brasil telah memakai ethanol sebagai bahan bakar.
Bioethanol merupakan bahan bakar alternatif pengganti premium dan pertamax, sehingga pemakaiannya akan menghemat devisa. Bioethanol dapat dihasilkan dari tetes tebu, singkong, jagung, sorghum maupun aren, sehingga merupakan energi yang dapat diperbaharui. Selain itu gas buang dari mesin yang menggunakan bioethanol mempunyai emisi yang lebih rendah disbanding dengan minyak premium maupunpertamax.Pada umumnya mesin yang bisa memproses bahan bakar ethanol disebut Flex-Fuel dan mesin yang menggunakan bahan bakar minimal nilai octan 90 dapat juga dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80%-90% (perkiraan nilai octan 88) ditambah ethanol 10%-20% (dengan nilai octan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai octan 91-93.
Saat ini di Indonesia telah dibangun beberapa pabrik bioethanol plant dengan kapasitas mulai dari 300 liter/hari dengan system batch sampai dengan 600 ton/hari dengan system kontinyu sebagai langkah awal untuk pengembangan selanjutnya ke skala komersial. Keputusan kebijakan untuk menentukan kelayakan penggunaan bioethanol secara umum perlu dilandasi suatu kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan penguasaan teknologi, nilai ekonomis, kontinyuitas suplai dan manfaat lain dari penggunaan bioethanol tersebut.
Ethanol saat ini berasal dari beberapa sumber, Brasil dari tebu, Amerika Serikat dari jagung, sedangkan di Indonesia umumnya berasal dari tebu, sorghum, singkong termasuk oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan PT Blue Indonesia mengembangkan dari aren (airnira) dan nipah. Dengan pengembangan teknologi dari PT Blue Indonesia telah berhasil menciptakan alat distilasi berukuran kecil dan mobile dengan kapasitas 500liter/hari-1500liter/hari (dengan ukuran 2.5m x 0.8 m x 0.5m : kadar output ethanol, 85 %, 95 % dan 98 %) dengan bahan baku dari hasil sadap pohon aren. Alat yang diciptakan PT Blue Indonesia sangat praktis dan cocok dioperasikan oleh masyarakat untuk skala home industri dengan kapasitas 100 l/hari – 1000 l/hari) dengan memakai bahan yang murah dan praktis.
Potensi tanaman aren di Sulawesi Utara.
Menurut Johan Susilo,ST. Direktur Utama PT Blue Indonesia yang telah mengembangkan industri bio-etanol Sulawesi Utara, pada Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren untuk Bahan Pangan dan Energi, Kamis, 6 Desember 2007 di gedung BPPT II.Tanaman aren merupakan salah satu tanaman hutan/perkebunan yang memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan dan tanaman konservasi tanah dan air. Tanaman aren di Sulawesi Utara pada umumnya masih tumbuh liar dan hanya sebagian kecil yang telah ditanam pada daerah aliran sungai atau jurang. Luas areal pertanaman aren di Sulawesi Utara hingga tahun 2004 mencapai 2.942 ha yang tersebar di 7 kabupaten dan 44 kecamatan. Peluang pengembangan dan perluasana areal penanaman baru di Sulawesi Utara masih dapat dilaksanakan. Disampig itu dilaksankan intensifikasi untuk beberapa areal pertanaman yang masih belum teratur pola tanamnya. Peluang pengembangan produk tanaman aren dilakukan dengan cara-cara seperti optimalisasi produk, penggunaan teknologgi dan pengembangan pasar. Jenis produk yang potensial dan mempunyai peluang export adalah alkohol teknis, gula semut, gula merah, alkohol untuk bahan bakar dan minuman beralkohol. Kondisi iklim dan tanah Sulawesi Utara sebagian besar sangat besar sangat sesuai dengan syarat tumbuh aren.
Berdasarkan data lapangan yang ada, diperkirakan terdapat 300-400 pohon per ha, dimana jumlah tanaman yang produktif antara 100-150 pohon per ha dengan perkeiraan jumlah nira rata-rata 25 liter/pohon/hari atau 11/032.500 liter perhari apabila dikonversi ke ethanol setara dengan 735.500 liter perhari atau 264.780.000 liter ethanol pertahun.
Aren Sulut Bisa Atasi Krisis BBM, Produksi Etanol Lima Kali Lipat Konsumsi Bensin
Sumber: Manado Post, http://www.blue.co.id/berita.htm
MANADO— Jika masyarakat Sulut serius memanfaatkan Cap Tikus untuk mengganti BBM, konsumsi premium (bensin) malah bisa akan digantikan bio etanol. Betapa tidak, jika dimaksimalkan potensi 2 juta pohon aren Sulut maka 876 ribu kiloliter (Kl) bio etanol bisa dihasilkan dalam setahun. Sementara konsumsi bensin untuk kendaraan di Sulut, hanya sekitar 180-an Kl dalam setahun. Artinya, produksi bio etanol hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi bensin.
Perhitungan yang diberikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), konsumsi bio etanol sebagai substitusi bensin pun tidak seluruhnya, tapi hanya sepersepuluh bagian. Atau 9 bagian bensin dicampur dengan bio etanol dengan kadar 99,5 persen. “Campuran ini sudah bisa menghasilkan bahan bakar sekelas Pertamax yang beroktan 92,” kata Dr Unggul Priyanto, Direktur Pengembangan Sumberdaya Energi Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Hitung-hitungan kasar juga diberikan. Jika diasumsikan konsumsi premium Sulut sekitar 200 ribu Kl, berarti hanya cukup saja 180 ribu Kl yang dipasok karena 20 ribu Kl sudah bisa digantikan dengan bio etanol dari cap tikus Sulut. “Ini artinya memaksimalkan potensi lokal. Aren sangat berpotensi asalkan masyarakat dan pemerintah punya komitmen. Toh, tidak seluruh produksi untuk substitusi BBM,” tambah Unggul.
Sementara Sekretaris I Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) Dr Ing Evita H Legowo menyatakan, hasil penelitian dari Tim Nasional BBN memang sudah cukup banyak, tapi tinggal menunggu respon pemerintah untuk membuat regulasinya. “Bahan bakar nabati dari bio etanol terutama aren sudah cukup lama diuji coba, kami tinggal menunggu respon dari Pertamina dan pemerintah soal tata niaganya,” kata Dr Evita.
Asisten II Setprov Sulut Marieta Kuntag MBA menyambut baik terobosan ini. Katanya, Pemprov, dalam hal ini Disperindag dan Dinas Perkebunan sementara menyusun program untuk pemanfaatan aren sebagai substitusi BBM. “Kemungkinan akan diperbanyak industri pengolahan air nira menjadi etanol teknis yang fisibel untuk mencampur premium,” katanya. “Kami sudah mengusahakan perbaikan tanaman aren. Sebab, selain untuk produksi gula semut juga untuk etanol,” timpal Kadis Perkebunan Ir Rene Hosang.
Baik Unggul dan Dr Evita menyarankan agar masyarakat Sulut menjaga pohon aren yang sudah ada, bahkan tambah menanam, karena potensi aren sangat besar sebagai pengganti BBM maupun konsumsi lain. “Ini potensi lokal yang harus dikembangkan. Kalau Sulut kelebihan, bisa dilempar ke daerah lain yang kekurangan etanol,” ujar mereka. Saat ini yang memproduksi alkohol dari nabati baru di Jawa dan sebagian Sumatera dari tetes tebu. (sumber: Menado Post)
AREN DAN BIOETHANOL
Written by Dirattanhun
Friday, 25 July 2008
Aren menyebar luas di banyak daerah dengan wilayah penyebaran antara garis lintang 200 LU – 110 LS antara lain Indonesia. Di Indonesia aren banyak tumbuh di wilayah perbukitan, pegunungan dan lembah dengan perkiraan areal seluas 60.482 ha. Semuan bagian dari tanaman aren dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia bahkan nira aren berpotensi untuk memproduksi bioetanol, namun sampai saat ini masih mengandalhan tanaman aren yang tumbuh liar.
Tanaman aren tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, dapat tumbuh pada tanah liat, berlumpur dan berpasir, pada ketinggian antara 9 – 2000 m dpl dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun. Upaya pengembangannya sangat memungkinkan, disamping masih luasnya lahan tidak produktif yang cocok. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, antara lain nira selain diolah menjadi gula juga bioethanol. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melaporkan bahwa produktivitas bioethanol dari aren dapat mencapai 40.000 liter per hektar per tahun. Mengingat pohon aren telah banyak ditemukan disejumlah wilayah, maka produksi bioethanol dari aren bisa dilakukan sekaligus bersamaan dengan perluasan tanaman. Produk utama dari aren adalah gula semut yang antara lain telah dikembangkan oleh Yayasan Massarang di Tomohon, Sulawesi Utara. Hasil produksinya di ekspor, sedang untuk nira yang tidak lolos kualifikasi untuk produk gula, diolah menjadi bioethanol.
AREN MERUPAKAN SALAH SATU PENYUMBANG PENYEDIAAN BIO-ETHANOL
December 6, 2007, 5:45 pm| Berita Departemen | Klik: 57
Jakarta, 6/12/2007 (Kominfo-Newsroom) – Seorang pejabat Kementerian Negara Riset dan Teknologi mengatakan, Aren merupakan salah satu yang menjadi peyumbang bagi penyediaan bio-ethanol dalam rangka pengembangan bio-ethanol yang diprogramkan pada tahun 2011.
“Dalam pengembangan aren tentu kita perhatikan dari sisi hulu, proses sampai kepada penduduk,” kata Deputi Bidang Perkembangan Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemenneg Ristek Dr. Ir. Bambang Sapto Pratomosunu, M.Sc pada pembukaan workshop budidaya dan pemanfaatan Aren untuk bahan pangan dan energi di Jakarta, Kamis (6/12).
Dalam pengembangan tersebut, Akademisi, Business, dan Government (ABG) akan mengupayakan dari hulu sampai ke hilir. Dari hulu penyediaan bahan bakunya, prosesnya, dan kemudian di akhirnya akan menangkap untuk bisa disalurkan kepada pengguna.
Di beberapa daerah Aren telah dimanfaatkan, ada yang diambil tepungya, ada yang dimanfaatkan untuk menjadi minuman dengan kadar tertentu, dan sekarang teknologi telah memungkinkan untuk memprosesnya menjadi bahan baker.
Maka pada tingkat proses telah menjadi bahan pokok pembicaraan, tetapi juga pembinaan kepada para penyedia hingga untuk keanekaragam penggunaan tetapi diarahkan menjadi wadah ilmiah untuk mendukung bahan bakar.
“Jadi kondisi hulu, proses, sampai kepada hilir diharapkan akan menjadi pokok pembahasan yang sangat bermanfaat hingga memberikan konstribusi dari salah satu penyedia bahan bakar,” ungkapnya.
Sementara itu, Peneliti Aren Puslitbangbun Deptan Bogor, Dr. David Allorerung dalam acara yang sama mengatakan, Aren sejak jaman dahulu sudah menyebar di seluruh Indonesia, termasuk salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut.
Selama ini penyebarannya berlangsung secara alamiah saja, dan bahkan dianggap sebagai tanaman liar saja atau tanaman hutan. Budidaya Aren masih sangat langka karena kegiatan penelitian untuk tanaman tersebut sangat terbatas dan tidak kontinyu sebagai konsekuensi dari rendahnya perhatian terhadap pengembangan komoditas tersebut.
Aspek penemuan varietas unggul adalah salah satu aspek yang tidak disentuh oleh para peneliti, dan hingga saat ini belum ada suatu varietas unggul yang dilepas secara resmi oleh pemerintah.
Sementara Aren bisa dimanfaatkan kalau disadap, artinya memerlukan tenaga kerja terampil, dan beda misalnya kalau tebu. Buruh panen tebu tidak perlu ada keterampilan yang diperlukan ada teknologi di pabriknya, tetapi kalau Aren perlu tenaga terampil, untuk itu semua petani belum tentu mampu memanennya, sehingga perlu diberikan pelatihan.
Dari hasil-hasil penelitian selama ini, disebutkan satu pohon bisa menghasilkan rata-rata 15 liter perhari, kalau dari tanaman yang baik.
Aren selain disadap, juga menghasilkan kolang kaling dari bunga betina sebagai bahan makanan penyegar untuk campuran buah segar atau panganan seperti kolak.
Tanaman Aren tersebut juga lazim ditebang untuk diambil patinya yang banyak digemari karena aromanya lebih disukai dibandingkan pati dari sagu. Pati dari Aren tersebut terutama digunakan dalam industri makanan semacam mie yang disebut sohun (so’un) dan untuk membuat makanan ringan seperti cendol. (T. Gs/toeb/c )
RABU, 28 OKTOBER 2009
Kisah Petani Aren dari Ciamis Jawa Barat
(Liputan6.com, Ciamis)
Keseimbangan antara manusia dan alam kerap tercermin dalam adat istiadat Bangsa Timur. Sayangnya, saat ini, tak banyak masyarakat di Tanah Air yang menjaga nilai-nilai harmonisasi kehidupan tadi. Banyak hutan belantara yang diterjang keserakahan manusia dengan alasan klasik: demi kelangsungan ekonomi. Ironis memang. Nah, kehidupan warga Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat, dapat menjadi sebuah contoh kecil. Betapa tidak, mereka umumnya masih mempertahankan “adat karuhun” untuk melestarikan alam sekitar. Makanya tak heran, wilayah yang berlokasi di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, atau sekitar 45 kilometer dari Ciamis ini mendapat anugerah Kalpataru dari pemerintah, awal Juni silam. Anugerah itu diberikan atas jasa warga Kuta yang memelihara hutan lindung seluas 40 hektare.
Bila mengunjungi wilayah tersebut, sepintas tak ada yang istimewa dari Kampung Kuta. Dan seperti halnya kampung lainnya, suasana pagi di Kampung Kuta juga semarak dengan berbagai aktivitas penduduk. Sebagian warga ada yang hendak menuju Pasar Rancah, sebuah pasar kecil dekat wilayah mereka. Untuk itulah, mereka menumpang sebuah truk kecil yang merupakan satu-satunya sarana transportasi ke dunia luar. Setelah menempuh jarak sekitar 15 kilometer, mereka sampai di Pasar Rancah. Pusat perdagangan ini memang bagaikan urat nadi kehidupan sejumlah desa di Ciamis. Di sinilah, setiap Rabu dan Sabtu, mereka menyalurkan berbagai hasil bumi. Sejumlah hasil industri rumah tangga pun diperjualbelikan. Dari hasil jual beli itulah mereka berharap memperoleh sejumlah uang demi kebutuhan keluarga masing-masing.
Tak terkecuali bagi orang Kuta. Para pedagang asal Kampung Kuta memang terkenal dengan produksi gula aren. Komoditi inilah yang menjadi andalan perekonomian mereka sejak bertahun-tahun silam. Bagi orang Kuta, menyadap aren telah menjadi satu di antara pekerjaan turun-temurun yang masih dipertahankan hingga kini. Bahkan, untuk menjaga kelangsungan profesi ini, mereka memberlakukan larangan menebang pohon aren yang tumbuh di atas tanah kampungnya. Alhasil, jumlah pohon aren terus berlipat ganda. Bukan sulap bukanlah sihir, seribu pohon yang tumbuh beberapa tahun silam, kini bertambah tiga kali lipat. Bisa dikatakan, ini bukan pekerjaan yang mudah di zaman sekarang.
Kendati demikian, penduduk kampung tetap mengatur penyadapan pohon aren dengan tertib. Buktinya, seribu pohon yang kini telah berproduksi atau menghasilkan cairan nira pun dibagi merata kepada sekitar 400 orang. Rincinya, masing-masing kepala keluarga memperoleh bagian rata-rata sebanyak tujuh tangkal pohon aren. Sementara sebagian tajuk aren, dibiarkan di tempatnya untuk kelak dijadikan kolang-kaling. Sedangkan tajuk yang ditebang untuk menghasilkan cairan nira dipasangi tabung-tabung bambu. Bersamaan saat penyadap mengambil nira, tabung-tabung itu pun sekaligus diganti selang dua kali sehari.
Setiap kepala keluarga di Kampung Kuta, minimal memperoleh 2,5 kilogram gula aren per hari. Kemudian sang istri memasak aren tersebut. Setelah itu, suami dan istri biasanya bahu-membahu membungkusnya dengan daun aren kering menjadi bonjor-bonjor yang dilepas seharga Rp 6.000 per satuan. Bonjor-bonjor ini juga kerap dijual kepada sesama warga. Ini dilakukan bila si pembuat gula aren tak mampu menyalurkannya sendiri ke pasar. Tapi, dengan cara inilah mereka menunjukkan ikatan yang kuat satu sama lain dalam upaya mempertahankan hidup dan menjaga tradisi.
Selain produksi gula aren, Kampung Kuta juga terkenal dengan keteguhan penduduknya dalam mempertahankan nilai-nilai yang mereka warisi dari para leluhur. Berdasarkan kisah yang hidup di masyarakat setempat, di Kuta dulu sempat akan didirikan pusat Kerajaan Galuh. Buktinya, terdapat deposit sejumlah material yang memungkinkan untuk kegiatan pembangunan. Antara lain, adanya semen merah dari tanah di Gunung Semen. Serta hamparan kapur seluas 0,25 hektare dan batu soko di Gunung Gede atau Leuweung Ageung.
Konon, Raja Galuh yang mempunyai gagasan membangun pusat kerajaan di Kuta diyakini warga adalah Prabu Ajar Sukaresi. Setelah sang raja berkeliling Kuta, ternyata ia membatalkan rencana tersebut. Alasannya, daerah itu ternyata dikelilingi tebing-tebing. Raja pun berpendapat, pusat pemerintahan tak mungkin akan berkembang bila dikelilingi tebing. Itulah sebabnya, daerah berlembah yang dikelilingi bukit ini sekarang dinamakan Kuta–sesuai bahasa keseharian di Tatar Sunda. Akhirnya, Prabu Ajar Sukaresi memutuskan Karangkamulyan sebagai gantinya. Buktinya, di sana ditemukan situs yang kini menjadi objek wisata sekaligus daerah singgah.
Setelah rencana pembangunan Kuta batal, datang utusan Kerajaan Cirebon, bernama Raksabumi. Versi lain menyebutkan, kehadiran Raksabumi di sana diutus Raja Galuh untuk memelihara atau menjaga barang peninggalan Sang Raja. Tak lama kemudian, datang lagi utusan bernama Batasela, yang kabarnya keturunan dari Solo, Jawa Tengah.
Sedangkan Raksabumi atau Aki Bumi setiba di daerah Kuta, membangun permukiman di sekitar rawa. Lantaran jiwa kepemimpinannya yang tinggi, Aki Bumi akhirnya ditetapkan sebagai pemimpin atau penjaga Kuta hingga akhir hayatnya. Warga menyebutnya sebagai kuncen Kuta pertama. Kuncen berikutnya, Aki Danu, Aki Maena, Aki Surabangsa, Aki Rasipan dan Aki Maryno–kuncen saat ini. Sebelum meninggal dan dimakamkan di Cibodas, Aki Bumi telah membangun Kuta. Makanya, hingga kini, warga Kuta sebagai keturunan Aki Bumi yang meninggal tak ada yang dimakamkan di Kuta. Kesemuanya dimakamkan di Cibodas.
Seperti telah diceritakan, tugas Aki Bumi ke Kuta untuk menjaga bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Peninggalan itu, kabarnya berupa sejumlah punduk domas atau tempat pandai besi membuat senjata dan peralatan pembangunan. Juga tempat menyepuh peralatan perang agar memiliki kesaktian. Tempat-tempat itu bernama Gunung Apu, Gunung Semen, dan Gunung Barang. Sejumlah lokasi tersebut diyakini sebagai persiapan pembangunan kerajaan. Dan semua peninggalan tadi, hingga saat ini, juga diyakini warga Kuta berada di dalam hutan tersebut. Karena itu, mereka hingga sekarang tetap mempertahankan hutan. Tak ada yang berani menebang pohon, bahkan mengambil ranting sekalipun.
Kisah tersebut dibenarkan Ketua Adat Warga Kuta Karman. Menurut Karman, leluhurnya memberi sebuah wasiat. Bunyinya, jika hutan itu dirusak, warga akan mengalami kesulitan air. Selain itu, bencana alam berupa tanah longsor akan menimpa perkampungan Kuta. Karman menuturkan, Aki Bumi juga menciptakan aturan-aturan yang kini diwarisi penduduk Kampung Kuta. Satu di antaranya adalah aturan bentuk rumah tinggal yang dihuni para warga. Wasiat itu mengharuskan orang Kuta harus tinggal dalam sebuah rumah panggung persegi yang terbuat dari kayu dan beratapkan sirap.
Selain itu, Karman menambahkan, orang Kuta juga diwajibkan memasak dengan menggunakan tungku. Sedangkan rumah warga Kuta umumnya hanya memiliki dua kamar. Sebab, mereka biasanya adalah sebuah keluarga batih atau kecil. Namun, kekeluargaan yang erat di antara sesama penduduk kampung menyebabkan warga cenderung membuat ukuran ruang tamu agak besar. Ini untuk menampung para tetangga yang acapkali datang berkunjung.
Meski pesan-pesan leluhur berusaha dijaga teguh, penduduk Kampung Kuta tetap terbuka pada perubahan dunia. Buktinya, bentuk pintu geser pada rumah asli kini telah berganti. Demikian pula dengan jendela rumah yang diganti kaca. Bahkan, peralatan elektronik bukan lagi sesuatu yang tabu. Bagi orang Kuta, perubahan adalah hal biasa, asalkan aturan utama tak dilanggar. Seperti mengubah pola dasar rumah atau cara memasak dengan tungku. Soalnya, mereka percaya bila aturan utama dilanggar, Aki Bumi tak segan-segan langsung menegur. Caranya, dengan membidikkan bala bagi si pendosa.
Sedangkan pantangan utama dari Aki Bumi adalah mengusik kawasan Leuweung Gede, hutan keramat tempat ia bersemedi. Makanya tak heran, jika sejak dahulu kawasan seluas 40 hektare ini tak pernah berubah. Di hutan larangan inilah, Karman sebagai Ketua Adat Kampung Kuta yang dipilih warga datang berziarah. Seperti halnya warga lain, Karman selalu datang memohon restu dari sang leluhur bilamana bermaksud melangsungkan sesuatu. Dan ziarah ini hanya bisa dilakukan setiap Senin dan Jumat. Tentunya dengan diawasi Sang Kuncen, keturunan langsung dari Aki Bumi yang hingga kini tetap menjaga kawasan Leuweung Gede.
Sang Kuncen-lah yang menjadi perantara dialog antara peziarah dan arwah leluhur. Biasanya, dia membakar dupa berupa kemenyan bercampur minyak wangi. Di tengah kepulan dupa tersebut, Sang Kuncen akan turut memintakan restu bagi Karman. Sebab, Ketua Adat Kampung Kuta ini bermaksud membongkar rumah lama dan membangun kembali sebuah rumah baru dengan pola dasar yang sama.
Sebagai syarat memperoleh restu, Karman harus pula membasuh wajahnya di kawah. Ini adalah sebuah mata air di tengah hutan yang dipercaya mampu membuat awet muda. Dia pun harus mencampur air kawah dengan air Sungai Ciasih yang dahulu tempat Aki Bumi mandi saat bersemedi. Kelak, campuran ini harus diberikan kepada seluruh anggota keluarganya. Karman sendiri sangat bersyukur atas aturan-aturan yang diwariskan Sang Leluhur yang dirasakan sangat mempermudah hidupnya. Contohnya, aturan untuk menjaga kekeluargaan antarpenduduk dan gotong royong. Berkat aturan inilah, Karman tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membangun rumah barunya.
Semangat kekeluargaan orang Kuta memang menjadi modal utama mereka. Terutama saling menutupi kesenjangan antarwarga. Bahkan, mereka secara teratur menyumbangkan sebagian padi hasil panen. Dan dibagikan secara bergiliran setiap bulan. Dengan semangat ini pula, pasangan pengantin baru, Yoyoh dan Rustomo, merasakan berkah yang sama dengan Karman. Buktinya, para penduduk dengan sukarela membantu membangun blandongan atau panggung kayu tempat acara tabuhan yang memeriahkan hajat mereka. Tabuhan adalah acara musik dari tumbukan lesung dan alu yang diselenggarakan sebagai tanda syukur atas pernikahan mereka.
Dan saat fajar belum menyinari bumi, penduduk Kampung Kuta telah memenuhi rumah pasangan Yoyoh dan Rustomo dengan semangat untuk membantu. Ini adalah sesuatu hal yang kini sudah semakin jarang ditemui di tempat lain. Para pemain tabuhan pun begitu bersemangat menghentakkan alunya di dalam lesung meski kantuk masih dirasakan. Sesuatu semangat kemanusiaan yang begitu murni layaknya sinar mentari yang mulai menghangati bumi. Sehangat semangat orang Kuta memegang teguh adat warisan leluhur untuk melestarikan alam.(ANS/TIm Potret)

Sumber : http://sahamadaro.wordpress.com/2011/05/24/energi-terbaruken-pertamax-cap-tikus-240511/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda.