Sabtu, 27 Desember 2014

Perkebunan dan Industri Aren Akan Menjadi Daya Tarik Bagi Perbankan

Perkebunan Sangat Menarik Bagi Bank










Posisi Indonesia sebagai raja kelapa sawit saat ini tidak lepas dari adanya Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah pada masa lalu. Perbankan mempunyai jasa yang tidak sedikit dalam pengembangan sektor perkebunan Indonesia. Tetapi akhir-akhir ini banyak keluhan soal perbankan dari stakeholder perkebunan, seperti perbankan yang mau enaknya saja, perbankan yang tidak berpihak pada petani dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya kiprah perbankan dalam perkebunan saat ini dan bagaimana pandangan perbankan soal perkebunan, Media Perkebunan mengadakan wawancara khusus dengan Sunarso, Direktur Commercial & Business Banking, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Bagaimana pandangan Bank Mandiri soal perkebunan ?
Sebelum membahas bagaimana pandangan kami soal perkebunan, kita lihat dulu sejarah Bank Mandiri. Bank ini merupakan hasil merger dari 4 bank pemerintah. Empat-empatnya termasuk dalam 6 bank pelaksana program pengembangan perkebunan pada masa lalu seperti PBSN, PIR Trans, KKPA PIR Trans, PIR Bun, PIR NES dan PIR SUS. Dengan sejarah seperti itu, kami punya pengalaman, kompetensi dan  resources  yang memadai untuk melakukan assessment terhadap sektor perkebunan. 

Bank memandang perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian dalam arti luas, yakni semua usaha memanen energi matahari, baik melalui tumbuhan maupun hewan. Jadi kesimpulannya, pertanian itu meliputi kehutanan, tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan.
Menurut kacamata bank, dari semua subsektor pertanian, perkebunan adalah subsektor yang paling berpotensi untuk tumbuh pesat. Perkebunan sudah membuktikan diri menjadi growth generator. Potensi terbesar ada di perkebunan karena alam menyediakan sumbernya, kebutuhan teknologinya tersedia dan kualifikasi manusia untuk mengelolanyapun ada. Sekarang tinggal bagaimana cara mengeksploitasinya?
Bisa diceritakan pengalaman Bank Mandiri dalam perkebunan ?
Tahap-tahap awal dulu, pembangunan perkebunan di Indonesia sangat didorong dan difasilitasi oleh kebijakan pemerintah. Kenapa demikian? Waktu itu, jika sektor ini dilepas langsung ke market, belumlah menarik. Investasi masih mahal, dan tidak semua investor punya pengalaman sehingga berisiko bagi bank. Dan pula, harga komodoti perkebunan belumlah sebagus sekarang.

Kebijakan pemerintah pada saat itu, intinya adalah memberikan tiga area kemudahan. Pertama, kemudahan untuk memperoleh konsesi lahan, ini merupakan syarat utama. Kedua, kemudahan untuk memperoleh perijinan, dan yang ketiga, kemudahan untuk memperoleh permodalan. Di akhir tahun 1980-an sampai periode 1990-an, hampir semua perkebunan besar di Indonesia dibangun menggunakan skim kredit program. Di dalamnya ada unsur KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) dan disalurkan melalui  6 bank pemerintah, yang empat di antaranya bergabung menjadi Bank Mandiri.
Perjalanan selanjutnya ?
Dalam perjalanannya, meskipun sudah dibantu oleh pemerintah dan mendapat dukungan permodalan dari perbankan, sektor ini kemudian tidak bebas dari permasalahan. Puncaknya di sekitar pertengahan 1990-an, tepatnya di tahun 1994 dan 1995. Saat itu, banyak perusahaan perkebunan yang membutuhkan restrukturisasi kredit. Hasilnya, banyak bank yang harus fokus kepada restrukturisasi ataupun penyehatan aset kredit perkebunan.
Kita rangkum biaya restrukturisasi itu sebagai biaya “sekolah”. Bahwa sektor perkebunan bisa bagus seperti hari ini, itu karena biaya “sekolah”-nya dulu mahal. 
Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan perkebunan yang direstrukturisasi di tahun 1994-1995 mulai bangkit dan berjalan dengan bagus.  Sampai akhirnya, pada tahun 1997 – 1999 terjadi krisis moneter. Krisis ini malah mengangkat harkat dan harga komoditi perkebunan. Bagi perusahaan perkebunan yang direstrukturisasi tadi, tahun 1997-1999 adalah masa-masa panen. Baik panen dari segi fisik komoditi, panen dari segi harga, maupun panen dari segi nilai tukar dollarnya. Maka, kebanyakan dari mereka mampu melunasi kreditnya di tahun-tahun itu.

Di lain pihak, terdapat perusahaan perkebunan yang baru masuk investasi pada tahun 1994-1995 dengan pola KKPA PIR Trans. Di tahun 1997-1998, investasi baru oleh pemain-pemain baru tadi belumlah panen, malah lagi butuh-butuhnya duit. Adanya krisis moneter menyebabkan mereka bermasalah, dan terpaksa harus direstrukturisasi, atau sebagian harus masuk ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan biaya “sekolah” yang tidak murah. Keluar dari BPPN di sekitar tahun 2000-2002 kembali ada restrukturisasi dan lain-lain. Selesai dari situ, aset-aset tadi sudah ganti kepemilikan dan mulai panen ditahun 2005-2006. Pada tahun 2007, harga komoditi perkebunan di pasar internasional naik. Maka, mereka yang lulus ”sekolah” di BBPN pada 2000-2002 tadi mengalami panen, baik fisik maupun harga. Memang siklus di perkebunan ini luar biasa.

Mengulang pola sebelumnya, terdapat juga perusahaan yang mulai menanam di tahun 2000-2002. Pada periode ini, di antaranya banyak yang menggunakan kredit komersial dari bank, atau kalau tidak, menanam dengan duit sendiri. Pada tahun 2005-2006, mereka mulai terengah-engah, sudah tidak kuat. Cash terbatas namun kebun masih membutuhkan biaya. Di lain pihak, tanaman masih belum atau sedikit yang sudah bisa dipanen. Saat-saat itu, sebenarnya juga terjadi restrukturisasi. Bukan dengan bank, melainkan secara alami di pasar melalui merger dan akuisi. 
Akuisisi dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang sudah ”lulus” duluan, yang sedang menikmati panen tingginya harga komoditi, atau diakuisisi oleh pemodal-pemodal besar yang sebelumnya belum sempat masuk ke sektor ini.
Sekarang perkebunan sedang puncak-puncaknya berjaya. Itulah yang dilihat orang, bahwa perbankan ikut panen raya. Bagi kita Bank Mandiri, tidak tepat kalau dibilang tinggal enaknya saja. Karena saat ”sekolah” tiga kali itu, kita ikut ”sekolah” di dalamnya. Tidak hanya cost -nya saja yang mahal, mentalnya juga harus siap. Kalau hari ini kita syukuri sebagai masa kejayaan komoditi perkebunan, itu tidak terlepas dari beratnya masa ”sekolah” yang dijalani, termasuk juga banknya. Tiga periode ”sekolah” itu adalah proses yang  panjang. 

Melihat kondisi sekarang, seharusnya kita bisa bersyukur dan terus jauh melihat visi ke depan. Menjaga dan mengamankan sektor ini, agar tetap punya ketahanan terhadap market risk dan commodity risk, artinya produk-produk perkebunan kita jangan sampai jadi bulan-bulanan berbagai pihak yang merasa tidak nyaman dengan pertumbuhan di sektor ini.
Sumber :  http://www.mediaperkebunan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=277%3Aperkebunan-sangat-menarik-bagi-bank&catid=9%3Aopini&Itemid=5



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda.