Sabtu, 19 April 2008

Pabrik Gula berbasis Aren, mengapa tidak?


Selama ini Pabrik Gula (PG) masih mengandalkan tebu sebagai bahan bakunya. Sejak awal berdirinya, pemerintah kolonial Belanda pada saat itu menggalakkan tebu, bahan dengan sistem tanam paksa. Apalagi sejak ditemukannya tebu ajaib, yaitu varietas POJ 2878 yang tahan terhadap penyakit sereh pada tahun 1921 mampu mencapai produktivitas Gula Hablur (GH) 10,5 ton/ha. Kemudian meningkat lagi menjadi 15,1 ton GH per ha.

Pemerintah Kolonial Belanda semakin bersemangat lagi karena dengan gula dari daerah jajahannya inilah modal untuk membangun Negeri Kincir Angin itu. Sehingga ditemukan lagi POJ 3016 pada tahun 1940 yang mencapai produktivitas GH tertinggi, yaitu 17,63 ton/ha. Pada saat itu Indonesia yang terjajah mencapai produksi gula hablur 1,6 juta ton, dan mengekspornya sebanyak 1,1 juta ton.

Dua belas tahun setelah kemerdekaan RI, yaitu tahun 1957, Pemerintah RI mengambil alih seluruh PG yang dulunya dikuasai Belanda. Perubahan situasi, dimana tidak berlaku lagi tanam paksa menyebabkan menurunnya areal tanam tebu yaitu tingal 70-80 ribu hektar dengan produksi hanya 0,7 juta ton.

Semenjak masa Orde Baru dengan Pelita I, Pemerintah berusaha kembali menghidupkan industri gula. Maka ditemukan kemudian Varietas PS 41 pada tahun 1965 yang dapat mendongkrak produksi mencapai 1,024 juta ton, dan menaikkan produktivitas gula hablur menjadi 10,0 ton/ha. Program TRI (tebu rakyat intensifikasi) menjadi andalan baru dalam upaya menggairahkan industri gula, hingga tahun 1970 arealnya mencapai 26.714 ha.

Program TRI bisa jadi merupakan program yang memihak kepada petani, namun di pihak lain kurang menguntungkan bagi perusahaan gula yang dikelola kebanyakan oleh PTP-PTP serta perusahaan gula swasta. Terbukti pada tahun 1975 produktivitas gula hablur menurun menjadi 9,76 ton/ha, dan turun lagi menjadi hanya 6,55 ton/ha pada tahun 1980.

Meskipun sudah didirikan Dewan Gula Indonesia pada tahun 1972, keadaan pergulaan Indonesia masih belum pulih seperti pada masa kolonial Belanda dulu. Oleh karena itu PG-PG baru dibangun di luar jawa hingga tahun 1981 sampai dengan tahun 1986. Keadaan demikian membuat pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 28 tahun 1982 untuk menggairahkan indusri gula nasional, yaitu dengan menggalakkan Program TRI, Rehabilitasi PG, membangun PG di luar jawa dan perbaikan kebijakan harga gula.

Semenjak ditemukannya varietas unggul baru pada tahun 1982, yaitu F 154, PS 6, M 442-51 produksi gula nasional berangsur naik kembali. Hingga pada tahun 1987 produksi gula hablur mencapai 2,11 juta ton, dengan areal lahan tebu seluas 333.975 hektar. Keadaan ini hampir menyamai produksi nasional pada tahun 1932, namun dengan areal tanam hampir dua kali lipat, separuh diantaranya adalah di lahan kering. Karena penanaman tebu banyak di lahan kering mengakibatkan produktivitas rata-rata gula hablurnya semakin menurun yaitu hanya 6,34 ton/ha, pada angka rendemen rata-rata hanya 8,21 %.

Disisi lain ketersediaan lahan semakin bersaing dengan komoditi tanaman pangan seperti Padi, Jagung, Kedelai yang harganya semakin baik. Kebijakan ketahanan pangan membuat arah kebijakan penggunaan lahan untuk areal tebu menjadi terancam. Maka kemudian pengembangan tebu mengarah ke lahan-lahan kering.

Namun hal ini belum menyelesaikan masalah, sebab produktifitas lahan yang kurang menyebabkan keuntungan PG juga belum menggairahkan. Investasi yang sangat besar untuk membangun PG-PG baru, akan begitu lama dapat mengembalikan modalnya. Pembangunan Pabrik Gula berbasis tebu diperlukan investasi yang sangat mahal, bisa mencapai Rp 1,2 Trilyun untuk kapasitas 5000 TCD.

Data produksi tebu pada tahun 2002 menunjukkan bahwa Jawa Timur mendominasi hampir 50 % produksi tebu nasional, 33 % di luar jawa sedang sisanya di Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Barat. Karena memang PG-PG dan areal lahan tebu banyak terdapat di Jawa Timur. Lahan-lahan tebu di Jawa kebanyakan bersaing dengan komoditi tanaman pangan, karena sebagian besar ditanam diareal sawah yang beririgasi. Beda dengan lahan tebu yang di luar jawa yang kebanyakan di lahan kering.

Keadaan pergulaan yang berbasis tebu ini kelihatannya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Upaya demi upaya telah dibuat, namun kenyataannya kesuburan lahan semakin menurun, sehingga menyebabkan produktivitas lahan juga semakin menurun. Ditambah lagi semakin tuanya peralatan PG, sehingga membuat industri semakin tidak efisien.

Pabrik gula berbasis Aren, kenapa tidak ?
Kenapa harus Aren ?

Aren (Arenga pinnata, Merr.) adalah tanaman asli Indonesia, hampir di seluruh kepulauan Indonesia terdapat tanaman aren. Artinya aren memang kodratnya berada di Indonesia dan dapat mengatasi masalah-masalah yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.

Padahal prospek emas si pohon aren ini sudah sejak jaman Kerajaan Mojopahit sudah dikenal. Gula aren menjadi komoditi penting perdagangan jaman kerajaan dulu. Hingga sampai jamannya para Wali Songo sudah diisyaratkan oleh Kanjeng Sunan Bonang ketika beliau dirampok oleh Berandal Lokajaya. Konon ketika dimintai harta Kanjeng Sunan Bonang kemudian menunjuk pohon Aren yang ada di dekat Berandal Loka Jaya, dimana pohon Aren itu laksana emas yang berkilau-kilau. Buahnya berupa emas, pohonnya juga jadi emas, seluruh pohon aren tersebut berubah menjadi emas.
(Lihat selengkapnya di http://kebunaren.blogspot.com/ atau di http://www.diankusumanto.com/ ).

Aren biasanya disadap niranya. Nira aren yang manis menjadi minuman yang menyegarkan. Bisa juga diolah menjadi gula. Secara tradisional nira aren diolah menjadi gula aren, gula merah atau gula semut. Sekarang dengan kemajan teknologi nira aren bisa diolah menjadi gula hablur atau gua putih, seperti gula pasir dari tebu.

Lalu dimana keunggulan aren?

Selama ini memang aren belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan keunggulannya belum banyak yang mengetahuinya. Namun banyak petani yang sudah memanfaatkan aren yang tumbuh liar di kebun-kebun atau di sekitar hutan untuk diambl nira, ijuk, lidi, kolang-kaling dan sebagainya. Mereka belum mengeunkan secara intensif, sehingga manfaatnya pun belum maksimal diperoleh.

Aren bisa disadap niranya setiap hari dua kali. Sehari bisa terkumpul 5, 10 sampai 40 liter nira setiap pohon. Namun ada kalanya pohon aren berhenti mengeluarkan nira, karena tandan bunga yang mengeluarkan nira sudah habis teriris sadapan dan tandan yang baru belum siap disadap, maka ada masa menunggu.

Kalau dikebunkan secara intensif seperti Kelapa Sawit tentu akan memberikan hasil yang lebih tinggi lagi. Dari populasi 250 pohon per hektar, setidaknya setelah masa produktif, bisa disadap sekitar 100 pohon setiap hari. Kalau rata-rata per pohon 10 liter saja, berarti akan diperoleh nira sekitar 1.000 liter/ha/hari. Kalau dihitung setahun produksi nira menjadi 360.000 liter/ha.

Nira aren inilah yang akan diolah menjadi gula. Jika diolah menjadi gula hablur atau gula putih rendemnnya sekitar 12 %, artinya dari sehektar lahan aren akan menghasilkan 12% x 360.000 liter = 42.200 kg gula hablur per tahun. Coba bandingkan dengan tebu yang sehektarnya hanya menghasilkan gula hablur dibawah 10 ton/ha/musim. Apalagi umur tebu yang mencapai 16 bulan, maka kalau ditung dalam setahun produksinya menjadi tinggal tiga perempatnya.

Sebenarnya angka 42,2 ton/ha/tahun itu angka yang relatif rendah, karena mengambil rata-rata dari tanaman yang memang tumbuh secara alami, belum dikelola secara intensif. Oleh karena itu angka tersebut sangat aman. Inilah keunggulannya. Sehingga untuk mencapai 4,22 juta ton gula, kita hanya cukup membuka 100.000 hektar saja. Bandingkan dengan lahan tebu yang diperlukan sekitar enam kali lipatnya.

Apa ada lagi keunggulannya bila aren menjadi basis komoditi PG?

Ya, aren tidak memerlukan lahan yang datar, apalagi lahan persawahan irigasi. Tidak! Aren cukup ditanam di lahan-lahan yang miring, lahan kering, lahan di dekat alur sungai, di tebing-tebing. Artinya jika aren jadi basis komoditi PG tidak akan bersaing dengan areal tanaman pangan.

Selain itu investasi PG yang berbasis nira aren tidak semahal bila PG berbahan baku tebu. Artinya PG berbasis aren nantinya akan berupa PG-PG yang lebih mungil dan fleksibel dengan investasi yang sangat murah. Dengan demikian unit cost gula di tingkat pabrik menjadi sangat bersaing, PG menjadi sangat menguntungkan. Pekebun juga sangat diuntungkan karena produktifitas gula hablur per hektar pertahunnya sangat tinggi, jauh di atas pekebun tebu.

Petani sawah irigasi yang selama ini tertekan dengan kebijakan wajib tanam tebu, menjadi leluasa memilih tanaman yang paling menguntungkan bagi dirinya. Bisa kembali ke padi dengan 2 sampai 3 kali tanam dalam setahun. Kalau areal sawah yang digunaka tebu misalnya 200.000 hektar, berarti kalau hasil sawah 6 ton/ha dengan 3 kali tanam, akan ada tambahan produksi 3,6 juta ton GKP atau setara dengan beras sekitar 2 juta ton.

2 juta ton beras ?

Angka yang sangat fantastik pada saat kebutuhan akan pangan semakin krusial. Sebab urusan pangan menjadi sangat pelik, karena terkait dengan urusan ekonomi, moneter, sosial dan politik. Ya.. krisis yang terjadi pada tahun 1997 awalnya juga karena adanya krisis pangan, kemudian merembet-rembet ke moneter, ekonomi, politik akhirnya sampai keamanan yang menjadi tidak terjamin. Maka dengan bergesernya industri gula dari tebu ke aren, maka akan mengembalikan pamor Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.

Selain itu dengan dibukanya kebun Aren di daerah yang semula kosong akan menghidupkan perekonomian riil yang berdampak sangat luas di daerah tersebut. Belum lagi berdirinya PG-PG baru berbasis Aren, tentu akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Dalam sehektarnya kebun Aren diperlukan tenaga kerja sekitar 4-7 orang. Jadi seandainya akan dibuka 100.000 ha, maka tenaga yang akan terserap adalah antara 400.000 sampai 700.000 tenaga kerja. Belum lagi kebutuhan tenaga kerja pada PG-PG yang baru dibangun tersebut.

Dosa apa yang kita lakukan selama ini?
Sehingga kita baru menyadari ?

Memang seharusnya kita nggak terbelenggu oleh sisa-sisa Kolonial Belanda. Yang memperkosa petani dengan tanam paksa, yang memaksa sawah untuk padi dan tanaman lainnya ditanami tanaman imigran, yaitu tebu yang memang tidak ditakdirkan untuk memakmurkan rakyat, kaum petani Indonesia. Buktinya, mestinya dengan tebu petani semakin sejahtera. Itu tidak terjadi, yang justru semakin banyak industri gula berbasis tebu ini menciptakan buruh-buruh tani, buruh-buruh pabrik, lahan-lahan semakin berkurang kesuburannya, dsb.

Kenapa kita tidak kembali mengingat isyarat Kanjeng Sunan Bonang yang telah menunjuk si pohon Aren yang berprospek emas. Kenapa ? Kenapa ?
Ya.. seperti sebuah syair laguKang Ebiet G Ade, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang !!

Kamis, 10 April 2008

Prospek Emas si Pohon Aren

Prospek emas si pohon Aren sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Bonang, seorang waliyulloh penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Konon beliau waktu itu dirampok/ dibegal oleh berandal Lokajaya yang menginginkan harta dari Kanjeng Sunan Bonang.

Singkatnya menurut alkisah, beliau menunjuk pada pohon Aren dan mengatakan bahwa kalau ingin harta banyak lihatlah pohon Aren itu. Maka berandal Lokajaya itu melihat emas di pohon Aren tersebut. Buahnya laksana emas yang bergelantungan.Emas adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan, bahkan lambang kemewahan.

Ternyata baru awal tahun 2000-an ini para ahli bangsa Indonesia baru menyadari isyarat tersembunyi ataurahasia emas si pohon Aren. Kanjeng Sunan memang tidak menjelaskan secara jelas, namun kiranya Tuhan Yang Maha Latif mengajarkannya melalui ilmunya seorang Wali yaitu Kanjeng Sunan Bonang kepada berandal Loka Jaya.

Ternyata emas itu berasal dari Nira Aren yang keluar dari hasil sadapan tangkai bunga, baik dari tangkai bunga betina maupun tangkai bunga jantan. Pohon yang sudah maksimal pertumbuhan vegetatifnya (sekitar umur 6 tahun kalau tumbuh liar atau alami) akan mengeluarkan bunga betina sampai dengan 6,8 atau 12 tandan bnga betina. Ada juga pohon Aren yang tidak pernah mengeluarkan tandan bunga betina, namun langsung dari awal masa generatifnya hanya tandan bunga jantan saja sampai akhir.

Tandan bunga pertama muncul dari bagian paling atas pohon kemudian tandan berikutnya muncul dari ketiak pelepah daun yang berada di bawahnya. Tandan bunga selanjutnya muncul terus menerus bergantian dari atas menuju ke bawah sampai pada bekas ketiak pelepah daun terbawah.Dari seorang petani Aren yaitu Bapak Sarman di Mambunut Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur diketahui bahwa ternyata tandan bunga betina yang biasanya mengeluarkan buah kolang-kaling, bisa disadap air niranya.

Bahkan hasil nira dari tandan bunga betina ini hasil sadapannya mencapai 40 liter Nira setiap hari per pohon. Setiap hari dilakukan dua kali sadap, yaitu pagi sekitar jam 7.00 dan sore sekitar jam 17.00. Hasil sadapan pagi biasanya lebih banyak dari pada yang sore hari. Keluarnya nira yang paling deras terjadi pada waktu sekitar jam 03.00 s/d jam 04.00 dini hari. Dia mengilustrasikannya, bahwa seperti manusia kalau dia kedinginan keringatnya kurang tapi kencingnya yang banyak.

Kalau seandainya pohon Aren ini dikebunkan seperti sang pendatang dari Brazil, yaitu Kelapa Sawit, dengan bibit yang unggul, pemeliharaan yang intensif, pemupukan yang cukup, pengelolaan menejemen kebun yang memadai. Tentu hasilnya akan lebih baik dari pada yang sekarang ini dihasilkan dari pohon yang alami bahkan yang tumbuh liar dengan jarak yang tidak beraturan.

Dengan memakai asumsi produksi yang alami saja misalkan 10 liter nira/hari/pohon; jika 100 pohon yang disadap setiap harinya (dari populasi 250 pohon setiap hektar), maka akan diperoleh nira 1.000 liter/hari/ha. Rendemen gula merah dari nira sekitar 20-26,5 %, artinya dari 1.000 liter maka akan diperoleh sekitar 200-265 kg gula merah setiap hari. Kalau harga di tingkat petani Rp 5.000/kg, maka setiap hari pendapatan kotor petani aren dengan areal 1 hektar akan memperoleh sekitar Rp 1.000.000/hari/ha sampai dengan Rp 1.325.000/hari/ha.

Tentu pendapatan itu masih dikurangi dengan biaya tenaga sadap sebanyak 3-5 orang, tenaga pengolah gula 1-2 orang. Berarti setiap hektarnya kebun sudah menyerap tenaga kerja antara 4-7 orang, memberi pendapatan kepada petani pemilik yang demikian besar.Bukankah ini yang dimaksud dengan kemakmuran, yaitu petani dengan pendapatan tinggi, tidak ada lagi pengangguran, roda ekonomi di pedesaan akan berjalan lagi ……. yaaaa… prospek emas dari pohon Aren itu akan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk negeri, seperti isyarat sang Waliulloh Kanjeng Sunan Bonang.

Kalau berminat kembangkan Aren skala luas bisa hubungi kami dihttp://kebunAren.blogspot.com/atau menghubungi saya dengan e-mail : diankusumanto@yahoo.co.id

Prospek Emas si Pohon Aren

Prospek emas si pohon Aren sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Bonang, seorang waliyulloh penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Konon beliau waktu itu dirampok/ dibegal oleh berandal Lokajaya yang menginginkan harta dari Kanjeng Sunan Bonang.

Singkatnya menurut alkisah, beliau menunjuk pada pohon Aren dan mengatakan bahwa kalau ingin harta banyak lihatlah pohon Aren itu. Maka berandal Lokajaya itu melihat emas di pohon Aren tersebut. Buahnya laksana emas yang bergelantungan.Emas adalah lambang kemakmuran dan kesejahteraan, bahkan lambang kemewahan.

Ternyata baru awal tahun 2000-an ini para ahli bangsa Indonesia baru menyadari isyarat tersembunyi ataurahasia emas si pohon Aren. Kanjeng Sunan memang tidak menjelaskan secara jelas, namun kiranya Tuhan Yang Maha Latif mengajarkannya melalui ilmunya seorang Wali yaitu Kanjeng Sunan Bonang kepada berandal Loka Jaya.

Ternyata emas itu berasal dari Nira Aren yang keluar dari hasil sadapan tangkai bunga, baik dari tangkai bunga betina maupun tangkai bunga jantan. Pohon yang sudah maksimal pertumbuhan vegetatifnya (sekitar umur 6 tahun kalau tumbuh liar atau alami) akan mengeluarkan bunga betina sampai dengan 6,8 atau 12 tandan bnga betina. Ada juga pohon Aren yang tidak pernah mengeluarkan tandan bunga betina, namun langsung dari awal masa generatifnya hanya tandan bunga jantan saja sampai akhir.

Tandan bunga pertama muncul dari bagian paling atas pohon kemudian tandan berikutnya muncul dari ketiak pelepah daun yang berada di bawahnya. Tandan bunga selanjutnya muncul terus menerus bergantian dari atas menuju ke bawah sampai pada bekas ketiak pelepah daun terbawah.

Dari seorang petani Aren yaitu Bapak Sarman di Mambunut Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur diketahui bahwa ternyata tandan bunga betina yang biasanya mengeluarkan buah kolang-kaling, bisa disadap air niranya. Bahkan hasil nira dari tandan bunga betina ini hasil sadapannya mencapai 40 liter Nira setiap hari per pohon. Setiap hari dilakukan dua kali sadap, yaitu pagi sekitar jam 7.00 dan sore sekitar jam 17.00. Hasil sadapan pagi biasanya lebih banyak dari pada yang sore hari. Keluarnya nira yang paling deras terjadi pada waktu sekitar jam 03.00 s/d jam 04.00 dini hari. Dia mengilustrasikannya, bahwa seperti manusia kalau dia kedinginan keringatnya kurang tapi kencingnya yang banyak.

Kalau seandainya pohon Aren ini dikebunkan seperti sang pendatang dari Brazil, yaitu Kelapa Sawit, dengan bibit yang unggul, pemeliharaan yang intensif, pemupukan yang cukup, pengelolaan menejemen kebun yang memadai. Tentu hasilnya akan lebih baik dari pada yang sekarang ini dihasilkan dari pohon yang alami bahkan yang tumbuh liar dengan jarak yang tidak beraturan.Dengan memakai asumsi produksi yang alami saja misalkan 10 liter nira/hari/pohon; jika 100 pohon yang disadap setiap harinya (dari populasi 250 pohon setiap hektar), maka akan diperoleh nira 1.000 liter/hari/ha.

Rendemen gula merah dari nira sekitar 20-26,5 %, artinya dari 1.000 liter maka akan diperoleh sekitar 200-265 kg gula merah setiap hari. Kalau harga di tingkat petani Rp 5.000/kg, maka setiap hari pendapatan kotor petani aren dengan areal 1 hektar akan memperoleh sekitar Rp 1.000.000/hari/ha sampai dengan Rp 1.325.000/hari/ha.Tentu pendapatan itu masih dikurangi dengan biaya tenaga sadap sebanyak 3-5 orang, tenaga pengolah gula 1-2 orang. Berarti setiap hektarnya kebun sudah menyerap tenaga kerja antara 4-7 orang, memberi pendapatan kepada petani pemilik yang demikian besar.

Bukankah ini yang dimaksud dengan kemakmuran, yaitu petani dengan pendapatan tinggi, tidak ada lagi pengangguran, roda ekonomi di pedesaan akan berjalan lagi ……. yaaaa… prospek emas dari pohon Aren itu akan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk negeri, seperti isyarat sang Waliulloh Kanjeng Sunan Bonang.

Kalau berminat kembangkan Aren skala luas bisa hubungi kami dihttp://kebunAren.blogspot.com/atau menghubungi saya dengan e-mail : diankusumanto@yahoo.co.id

Jumat, 04 April 2008

Potensi Besar Agribisnis Aren

Selain gula dan etanol, apa saja kegunaan aren yang lain dan seberapa besar terdapat di Indonesia?
Aren dengan nama ilmiah Arenga pinnata sudah sejak lama dikenal para petani kita sebagai tanaman bernilai ekonomis. Namun hingga kini masukan ilmu dan teknologi pada aren masih sangat minimum. Berbeda dengan kelapa dan kelapa sawit, tanaman sefamili aren. Jumlahnya secara pasti belum diketahui tapi diyakini potensi aren di Indonesia luar biasa besar yang tersebar mulai dari daerah pantai sampai ke pegunungan.
Agribisnis berbasis aren menghasilkan produk utama gula merah atau gula kristal yang bisa menjadi sumber gula alternatif sehingga kita tidak pusing dengan impor gula lagi. Dan nira aren dapat diolah menjadi etanol, sumber energi yang bisa diperbarui. Selain menghasilkan gula dan etanol, pohon aren juga bisa memproduksi lidi, ijuk, daun untuk atap rumah, dan kayu dengan kualitas sangat baik. Dari aren juga bisa dihasilkan makanan enak, yaitu kolang kaling.

Bagaimana potensinya untuk dikembangkan?
Sekarang baru disadari aren mempunyai potensi yang luar biasa besarnya dari segi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penanggulangan kemiskinan, serta pelestarian lingkungan. Dari segi ekonomi, aren melalui suatu proses sangat sederhana menghasilkan nira sebagai produk utama yang bisa diproses jadi gula merah sebagai pengganti gula putih dan etanol yang sangat penting untuk energi.
Dari segi pemerataan pendapatan, aren diusahakan petani-petani kecil dan kebanyakan masih belum dibudidayakan dan tumbuh liar di hutan-hutan sekitar pemukiman. Karena itu produk-produk ekonomis tadi dimanfaatkan rakyat yang berpenghasilan rendah. Jadi aren ini dapat dijadikan program penanggulangan pengangguran dan kemiskinan di pedesaan.
Dari segi kelestarian lingkungan, aren tumbuh subur bersama-sama pohon lain. Oleh karena itu, aren mampu menciptakan ekologi yang baik sehingga tercipta keseimbangan biologi. Di samping itu, karena dia tumbuh bersama-sama pohon lain dapat menjadi penahan air yang baik dan aren relatif sulit untuk terbakar. Berbeda dengan kelapa sawit dan kelapa yang membutuhkan kondisi monokultur.


Apa kelebihan aren dibanding dengan tebu?
Aren jauh lebih produktif dari tanaman tebu dalam menghasilkan kristal gula dan biofuel per satuan luas. Produktivitasnya bisa 4—8 kali dibandingkan tebu. Dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7%. Gula aren dinilai baik dan dapat dijadikan gula kristal yang dapat diekspor. Harga ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg, bandingkan harga gula pasir sekitar Rp7.000/kg. Dari gula aren itu juga bisa didapatkan 30% berupa molase untuk membuat etanol bahan biofuel.
Yang menarik, tanaman aren tidak membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, tidak terserang hama dan penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan boleh dikatakan produknya organik. Aren dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan subur yang datar sehingga dalam penggunaan lahan bersaing dengan tanaman lain seperti padi dan jagung.

Apa yang menjadi masalah dalam pengembangannya?
Masalah pengembangannya adalah pengetahuan kita mengenai aren sangat minim dibandingkan kelapa sawit, kelapa, dan tebu. Kalau kita mau mengembangkan dalam skala regional dan nasional, pengetahuan tentang aren harus ditambah. Pengetahuan yang mendesak adalah mengenai seleksi tanaman yang mempunyai produktivitas tinggi dan cara perbanyakannya. Kedua, pengetahuan mengenai proses panen yang efisien dan efektif. Ketiga, transportasi nira dari pohon ke pabrik agar tidak rusak. Dan keempat, sistem pengolahan hasil yang modern.
Dan tak kalah pentingnya masalah organisasi dan manajemen. Mulai dari organisasi petani, organisasi pabrik, dan organisasi distribusi dari petani ke pabrik, serta manajemen yang mengelola sistem agribisnis berbasis aren tersebut.

Apakah sudah ada contoh pengolahan aren dalam skala besar?
Ada. Contoh dapat kita di Tomohon, Sulawesi Utara. Pabrik modern yang diusahakan Yayasan Masarang itu sekarang sudah mengolah nira menjadi gula semut berkualitas tinggi untuk ekspor. Pabrik Gula Aren Masarang ini mulai berproduksi sejak 2006. Saat ini produksi rata-rata 3,5 ton gula kristal atau gula semut per hari.
Mereka berhubungan dengan petani pemasok nira sebanyak 3.500 orang yang tersebar di 35 desa di Kota Tomohon. Petani menerima harga jual nira Rp2.000/liter. Dan ketika nira telah diolah menjadi gula semut, petani juga memperoleh bagian keuntungan sehingga pabrik dan petani sama-sama beroleh keuntungan.
Pabrik gula aren modern pertama di Indonesia bahkan di dunia ini pada Minggu (15/01), lalu baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden juga sekaligus melepas ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton ke Belanda. Selain Belanda, ekspor juga akan dilakukan ke Swiss dan Jerman.
Suatu hal yang menggembirakan, Menko Kesra Aburizal Bakrie akan mereplikasi pabrik gula aren modern ini di sepuluh provinsi pada 2007. Dan investasi untuk pabrik ini tidak terlalu mahal, sekitar US$ 1 juta untuk kapasitas 20 ton gula semut per hari. Harapan saya nanti bank akan melirik usaha ini khususnya membiayai pabrik dan perdagangannya. (Diambil dari tulisan Sdr.
Untung Jaya) oleh Dian Kusumanto

Prospek Produk Gula Aren di Jepang dan Belanda

Di Jepang
Peluang yang sangat besar saat ini bagi produk Gula Aren (Palm Sugar) di Jepang sudah tidak diragukan lagi. Kandungan kalorinya yang rendah dan dapat digunakan untuk membuat kue menjadikan Gula Aren sangat diminati. Mr. Ryuji Nishi mengungkapkannya dalam sebuah seminar mengenai potensi produk makanan dari Indonesia di pasar Jepang.
Dalam presentasinya, konsultan ini memberi masukan tentang produk Gula Aren yang diminati tidak mengandung bahan kimia dan ditanam di lahan yang alami tanpa pupuk organik. Diperlukan kesungguhan mencari mitra di Jepang dengan pengusaha yang memproduksi kue-kue khas Jepang, produsen gula pasta atau pemilik kedai kopi.
Barang contoh beserta harga jual di toko swalayan juga diperlihatkan dalam seminar tersebut. Dalam contoh yang diperlihatkan, harga Palm Sugar JPY 735/200 gram; Maple Sugar JPY 1000-2000/1 kg; Brown Sugar JPY 240/0,5 kg; Crystal Sugar JPY 160/0,5 kg; Gula Pasta JPY 500/0,5 kg.
Negara pesaing untuk produk ini adalah Thailand yang menguasai pasar 49%, Australia 39%, Afrika Selatan 12%, namun belum pernah mengimpor dari Indonesia. (dn)

di Belanda
Aren jauh lebih produktif dari tanaman tebu dalam menghasilkan kristal gula dan biofuel per satuan luas. Produktivitasnya bisa 4—8 kali dibandingkan tebu. Dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7%. Gula aren dinilai baik dan dapat dijadikan gula kristal yang dapat diekspor. Harga ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg, bandingkan harga gula pasir sekitar Rp7.000/kg.
Dari gula aren itu juga bisa didapatkan 30% berupa molase untuk membuat etanol bahan biofuel. Yang menarik, tanaman aren tidak membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, tidak terserang hama dan penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan boleh dikatakan produknya organik. Aren dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan subur yang datar sehingga dalam penggunaan lahan bersaing dengan tanaman lain seperti padi dan jagung.

Pohon Aren dan Kanjeng Sunan Bonang

Pohon Aren memang lagi ngetrend. Dulu Kanjeng Sunan Bonang sudah ngasih isyarat kepada 'begal' yang akhirnya menjadi Sunan Kalijogo, bahwa di pohon Aren itu ada emas!
EEee.. sekarang, pada saat gula semakin mahal, bensin semakin langka, lapangan kerja semakin sulit, lahan semakin kritis karena dieksploitasi...dst., Aren datang sebagai alternatif. Prospek emas itu ternyata dari sang pohon Aren.
Para peneliti telah lama mengabaikan, para petani pekebun mengacuhkannya, dianggap pohon Aren sepele dan remeh!! Kita semua bahkan lalai dan tak ambil peduli dengan isyarat Kanjeng Sunan Bonang itu.
Malaysia ternyata sedang mengambil peluang ini dengan menyiapkan secara besar-besaran kebun Aren untuk Gula dan Bioethanol. Kelapa Sawit yang sudah banyak yang tua tidak diremajakan lagi, namun diganti dengan Kebun Aren. Konon Datuk Azis bekas pejabat Negara Bagian Sabah sudah mengembangkan sekitar 3.000 ha bekerja sama dengan investor Jepang, sekaligus tempat pemasarannya. Di Negara Bagian Serawak Malaysia juga tidak kalah getolnya mengembangkan Kebun Aren ini.
Menurut para ahli potensi produksi nira 360.000 s/d 720.000 liter/tahun/ha. Bila niranya diolah menjadi 72 s/d 144 ton/tahun/ha gula merah. Kalau dijadikan Bioethanol FGE 99,5% menjadi 20.000 s/d 40.000 liter/tahun/ha.Bagaimana?? betul-betul bernilai laksana emas. Memang betul Kanjeng Sunan Bonang!! Anak cucumu ini memang amat bodoh dan telah melalaikan isyarat Kanjeng Sunan!!