Tuesday, 11 November 2008
Oleh : Himpunan Alumni IPB
Hamparan pohon lontar (Borassus flabellifer) yang ter- dapat di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan beberapa daerah lainnya di Tanah Air, ternyata nilai ekonominya cukup tinggi. Tidak hanya daunnya yang bisa dimanfaatkan untuk atap rumbia atau batangnya untuk bahan bangunan, nira yang dihasilkan lontar, juga sangat besar manfaatnya. Pohon lontar ternyata bisa dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol untuk alkohol medik.
Di beberapa daerah nira hanya dimanfaatkan untuk mem- buat gula merah atau sekadar diminum sebagai tuak. Namun, nira bisa lebih bernilai ekonomi tinggi, jika diolah dengan baik.
Itulah yang ingin ditunjukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan bekerja sama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao, dan Badan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Belu.
Upaya kerja sama yang dilakukan adalah pengembangan usaha di bidang produksi bioetanol untuk alkohol medik yang diperoleh dari nira lontar. Kegiatan pengembangan unit usaha produksi bioetanol untuk alkohol medik dari nira lontar bertujuan untuk memproduksi bahan bio medika untuk penyediaan kebutuhan rumah sakit, klinik pengobatan, puskesmas, apotek, laboratorium penelitian, penyedia bahan kimia, dan bioenergi bahan bakar.
Dipilihnya Provinsi NTT sebagai lokasi kerja sama proyek bioetanol dari lontar, karena daerah timur Indonesia itu, selama ini dikenal sebagai daerah yang kaya akan tanaman lontar. Secara tradisional, tanaman ini oleh penduduk setempat dipergunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman beralkohol.
Pengetahuan tradisional tersebut merupakan dasar untuk melangkah menuju proses pembuatan bioetanol. "Kami memang memiliki proyek pengembangan bioetanol dari bahan bakar lontar di NTT," ujar Murti Martoyo, Kepala Hubungan Masyarakat LIPI kepada SP, Jumat (31/10).
Pasok untuk Dunia
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Prabowo Subianto, menyatakan, cadangan minyak di perut bumi semakin menipis. Sementara, kebutuhan energi dunia terus meningkat. Sejumlah negara maju yang haus pasokan energi telah mulai menyadari untuk beralih ke bahan bakar nonfosil. Bahan bakar nabati, yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan, menjadi pilihan.
Namun, seperti halnya minyak bumi, bahan bakar nabati tidak mudah diperoleh. Negara-negara yang tinggi kebutuhan energinya, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, belum tentu mampu memproduksi bahan bakar yang ramah lingkungan ini.
Dari sisi investasi, tak diragukan, tak ada masalah bagi negara-negara maju untuk mengembangkan bahan bakar nabati. Masalah, justru ada pada ketersediaan bahan baku.
Tanaman sebagai bahan baku bahan bakar nabati, seperti kelapa sawit, jarak, jagung, ubi kayu, aren, dan sagu, justru mudah dijumpai di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menyadari potensi tersebut, secara gencar, sejak beberapa tahun lalu HKTI telah mengampanyekan perlunya pengembangan bahan bakar nabati. Organisasi nirlaba ini memilih pohon aren sebagai bahan baku bioetanol.
Sejak tahun 2002, HKTI mengembangkan "perkebunan" aren di beberapa wilayah di Sulawesi. Saat ini, yang telah diuji coba untuk menghasilkan bioetanol baru di Minahasa, Sulawesi Utara.
Menurut Prabowo, dibanding tanaman sumber energi lainnya, pohon aren memiliki lebih banyak keunggulan. "Pohon aren mudah ditemukan, menyebar luas di semua wilayah Indonesia. Pengembangan aren untuk bahan bakar tidak berbenturan dengan kepentingan pangan. Selain itu, produksi bahan bakar dari aren tidak mengganggu aspek lingkungan, karena pohon aren bisa tumbuh berdampingan dengan tanaman lain," kata Prabowo di sela- sela dialog dengan sekitar 1.000 petani di Salatiga, Jawa Tengah, belum lama ini.
Semua bagian dari tanaman aren dapat dimanfaatkan. Bioetanol dihasilkan dari nira atau getah aren. Di Indonesia bioetanol dari aren, sebenarnya telah puluhan tahun dikembangkan. Namun, sejauh ini belum ada yang memproduksinya secara komersial, karena bahan baku yang digunakan juga hanya mengandalkan dari pohon aren yang tumbuh liar.
Pasar Menunggu
Pohon aren mudah tumbuh dan menyebar luas di wilayah perbukitan, pegunungan dan lembah. Tidak harus ditanam pada tanah yang khusus dan tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Di Indonesia diperkirakan terdapat sejumlah titik sebaran pohon aren dengan perkiraan areal sekitar 65.000 hektare.
Minahasa merupakan salah satu penghasil nira aren yang tersohor. Apalagi, secara turun temurun masyarakat di Minahasa memiliki keahlian mengolah nira aren menjadi etanol, dengan peralatan sangat sederhana. Etanol yang dihasilkan dari nira aren ini diolah menjadi minuman keras khas Minahasa yang dikenal dengan sebutan "cap tikus".
Hasil uji coba HKTI di Minahasa, dari satu pohon aren (Arenga pi�ata) dapat diperoleh sekitar 15-20 liter nira per hari. Satu hektare lahan dapat ditanami sekitar 671 pohon aren, dan setidaknya sebanyak 70 pohon akan berproduksi sepanjang tahun. Sedangkan sisanya, jika dalam satu tahun, satu pohon disadap selama 200 hari, maka total nira yang dihasilkan mencapai 3.000-4.000 liter per pohon. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira, sehingga setiap pohon aren akan menghasilkan, sekitar 200 liter etanol per tahun. Bila seluruh sebaran pohon aren di Minahasa saja diolah menjadi bioetanol, dalam satu tahun akan dihasilkan setidaknya 400 juta liter bahan bakar yang ramah lingkungan tersebut.
Menurut Prabowo, HKTI akan segera mengembangkan bioetanol dalam skala industri. Mengenai investasi, sejumlah lembaga keuangan internasional telah menyatakan siap membiayai. Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. "Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita.
Di pasar Eropa, beberapa waktu lalu harga bioetanol sekitar 600 Euro per ton. Ini potensi devisa yang luar biasa, karena kita memiliki potensi memproduksi bioetanol dalam skala besar," kata Prabowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda.