Kamis, 26 April 2012

Dengan Pola Tradisional Menjadi Petani Aren Sangat Berat


Profil Petani Aren :  Pak Limin ex Petani Aren dari Malino Enrekang Sulawesi Selatan

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Pagi hari tadi saya dipertemukan dengan Bapak Limin (44 tahun) petani dari Desa Sekapal Kecamatan Seimenggaris Kabupaten Nunukan.  Pak Limin dulunya berasal dari Kampung Pakriwang Desa Batumila Kawasan Malino Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.  Di sebelah Kampung Pakriwang 17 tahun yang lalu, terdapat kawasan lindung yang masih berupa hutan banyak ditumbuhi pohon Aren.   Para penduduk kampung sehari-harinya banyak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kawasan hutan itu, salah satunya adalah mengelola pohon Aren yang tumbuh liar dan mengolah niranya untuk dibuat gula Aren.

Saya sengaja menggali kisah lamanya saat dia masih di kampungnya dulu dan membandingkan dengan apa yang dia lakukan sekarang ini yaitu dengan membuka lahan kebun Kelapa Sawit seluas 10 hektar.  Sebenarnya kebun Kelapa Sawitnya sudah mulai berproduksi, tetapi karena kendala akses jalan yang belum ada atau masih sangat sulit, maka Pak Limin terpaksa masih gigit jari alias masih belum mendapatkan hasil.  Dia bersama petani yang lain yang senasib masih menunggu uluran tangan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk bisa mengatasi masalahnya.  Sepertinya harapan itu ada untuk beberapa tahun lagi, semoga.

Pada waktu masih lajang dengan umur yang masih muda (17 tahun) Pak Limin bersama  keluarga dan para penduduk kampung  sehari-hari mengelola nira dari pohon Aren dan diolah menjadi gula Aren.  Karena infrastruktur desa waktu itu masih apa adanya, setiap hari Pak Limin dan para penduduk berjalan kaki sejauh sekitar 2 kilometer menuju pondoknya di dalam hutan.  Di pondok  itu sudah tersedia segala peralatan untuk menampung dan mengolah nira menjadi gula Aren yang dicetak dengan tempurung kelapa.  Tungku untuk memasak Nira dibuat dari tanah dengan kuali atau wajan besar yang terbuat dari besi atau logam.

Biasanya mereka memilih pohon Aren yang subur pertumbuhannya, yang ditandai dengan daunnya yang rimbun dan batang yang gemuk atau besar.  Pohon yang terlihat subur biasanya akan mengeluarkan nira Aren lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang kurang subur.  Karena pohon-pohon Aren ini tumbuh liar makanya tanaman yang mereka kelola juga tersebar kadang ada yang berdekatan ada pula yang berjauhan.  Inilah yang menyebabkan tenaga mereka terkuras agak banyak sehingga kapasitas pengelolaan pohon Aren setiap orang paling banyak mencapai sekitar 10 pohon per orang.   Sebab selain petani  menyadap niranya, mereka masing-masing juga harus mencari kayu dan memasak niranya hingga menjadi gula.  

Pemasakan Gula Aren dilakukan di dalam hutan, karena di sekitarnya banyak terdapat kayu untuk memasak niranya.   Di sela-sela waktu luangnya mereka mengumpulkan kayu untuk cadangan bahan bakar memasak.   Nira Aren biasanya dikumpulkan dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore.   Hasil penyadapan sore hari biasanya langsung dipanaskan dengan api biasa dengan tujuan agar tidak terjadi pemasaman atau fermentasi hingga besuk paginya.   Hasil Nira yang diambil pada pagi hari kemudian dituang atau disatukan dengan nira sore kemarin yang sudah dipanaskan.  Campuran Nira kemarin sore dan pagi harinya itu kemudian langsung dimasak selama antara 3-5 jam hingga menjadi gula Aren.

Dari 10 pohon yang disadap rata-rata akan menghasilkan sekitar 50 biji.  Kalau akan menjualnya ke pedagang di pasar biasanya  dari 10 biji diikat atau dibungkus menjadi 1 ikat  yang beratnya sekitar 3 kilogram.   Jadi kalau mereka masing-masing dapat menghasilkan  50 biji akan menjadi 5 ikat gula Aren yang beratnya mencapai  sekitar 15 kilogram.   Dengan demikian rata-rata produksi setiap pohonnya adalah sekitar 1,5 kg per pohon per hari.   Pada tahun 2008 yang lalu harga setiap ikat gula di tingkat petani sudah mencapai Rp 24.000 per ikat,  atau dengan hitungan kilogram harganya sekitar Rp 8.000/kg gula Aren.   Sekarang harganya sudah lebih bagus yaitu antara  Rp 25.000 sampai Rp 27.000 per ikat  atau sekitar antara Rp 8.350 sampai Rp 9.000 per kg.

Kalau dihitung-hitung maka pengasilan kotor masing-masing petani dan sekaligus perajin gula  mencapai antara Rp 125.250 sampai Rp 135.000 per hari,  kalau dihitung per bulan maka penghasilan kotornya mencapai  antara Rp 3.757.500  sampai Rp 4.050.000 per orang per bulan.    Hasil ini oleh perajin dirasa masih kecil karena hampir tidak ada waktu bagi mereka untuk bersosialisasi atau menikmati hasil jerih payahnya.   Hampir tidak ada waktu untuk meninggalkan kegiatan sehari saja, karena kalau dia meninggalkan tempat atau tidak dipelihara sadapannya maka bisa mengering atau bahkan bisa berhenti mengeluarkan nira.   Jadi rutinitas inilah yang membuat mereka merasa sangat berat dan sangat terbebani.  Oleh karena itu Pak Limin merasa pekerjaan ini sangatlah berat dan repot.



Kalau untuk mengolah nira menjadi gula dibantu oleh anggota keluarga yang lain dan petani berfokus hanya untuk mengambil nira, maka mereka bisa memaksimalkan kapasitas penyadapan menjadi dua kali lipatnya yaitu sekitar 20 pohon.   Pak Limin juga pernah mengalami hal itu, yaitu waktu orang tuanya membantu dari mencari kayu hingga mengolah nira sampai menjadi gula maka waktu itu dia dapat memanjat sampai sekitar 20 pohon.   Dengan demikian penghasilannya bisa lebih banyak lagi yaitu sekitar 2 kali lipatnya atau menjadi sekitar Rp 8 juta per bulan. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda.