Profil Petani Aren :
Pak Limin ex Petani Aren dari Malino Enrekang Sulawesi Selatan
Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Pagi hari tadi saya dipertemukan dengan Bapak Limin (44
tahun) petani dari Desa Sekapal Kecamatan Seimenggaris Kabupaten Nunukan. Pak Limin dulunya berasal dari Kampung
Pakriwang Desa Batumila Kawasan Malino Kabupaten Enrekang Sulawesi
Selatan. Di sebelah Kampung Pakriwang 17
tahun yang lalu, terdapat kawasan lindung yang masih berupa hutan banyak
ditumbuhi pohon Aren. Para penduduk kampung
sehari-harinya banyak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kawasan hutan
itu, salah satunya adalah mengelola pohon Aren yang tumbuh liar dan mengolah
niranya untuk dibuat gula Aren.
Saya sengaja menggali kisah lamanya saat dia masih di kampungnya
dulu dan membandingkan dengan apa yang dia lakukan sekarang ini yaitu dengan
membuka lahan kebun Kelapa Sawit seluas 10 hektar. Sebenarnya kebun Kelapa Sawitnya sudah mulai
berproduksi, tetapi karena kendala akses jalan yang belum ada atau masih sangat
sulit, maka Pak Limin terpaksa masih gigit jari alias masih belum mendapatkan
hasil. Dia bersama petani yang lain yang
senasib masih menunggu uluran tangan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk bisa
mengatasi masalahnya. Sepertinya harapan
itu ada untuk beberapa tahun lagi, semoga.
Pada waktu masih lajang dengan umur yang masih muda (17
tahun) Pak Limin bersama keluarga dan
para penduduk kampung sehari-hari
mengelola nira dari pohon Aren dan diolah menjadi gula Aren. Karena infrastruktur desa waktu itu masih apa
adanya, setiap hari Pak Limin dan para penduduk berjalan kaki sejauh sekitar 2
kilometer menuju pondoknya di dalam hutan.
Di pondok itu sudah tersedia
segala peralatan untuk menampung dan mengolah nira menjadi gula Aren yang
dicetak dengan tempurung kelapa. Tungku
untuk memasak Nira dibuat dari tanah dengan kuali atau wajan besar yang terbuat
dari besi atau logam.
Biasanya mereka memilih pohon Aren yang subur
pertumbuhannya, yang ditandai dengan daunnya yang rimbun dan batang yang gemuk
atau besar. Pohon yang terlihat subur
biasanya akan mengeluarkan nira Aren lebih banyak dibandingkan dengan pohon
yang kurang subur. Karena pohon-pohon
Aren ini tumbuh liar makanya tanaman yang mereka kelola juga tersebar kadang
ada yang berdekatan ada pula yang berjauhan.
Inilah yang menyebabkan tenaga mereka terkuras agak banyak sehingga
kapasitas pengelolaan pohon Aren setiap orang paling banyak mencapai sekitar 10
pohon per orang. Sebab selain
petani menyadap niranya, mereka
masing-masing juga harus mencari kayu dan memasak niranya hingga menjadi
gula.
Pemasakan Gula Aren dilakukan di dalam hutan, karena di
sekitarnya banyak terdapat kayu untuk memasak niranya. Di sela-sela waktu luangnya mereka
mengumpulkan kayu untuk cadangan bahan bakar memasak. Nira Aren biasanya dikumpulkan dua kali
sehari, yaitu setiap pagi dan sore.
Hasil penyadapan sore hari biasanya langsung dipanaskan dengan api biasa
dengan tujuan agar tidak terjadi pemasaman atau fermentasi hingga besuk
paginya. Hasil Nira yang diambil pada
pagi hari kemudian dituang atau disatukan dengan nira sore kemarin yang sudah
dipanaskan. Campuran Nira kemarin sore
dan pagi harinya itu kemudian langsung dimasak selama antara 3-5 jam hingga
menjadi gula Aren.
Dari 10 pohon yang disadap rata-rata akan menghasilkan
sekitar 50 biji. Kalau akan menjualnya
ke pedagang di pasar biasanya dari 10
biji diikat atau dibungkus menjadi 1 ikat
yang beratnya sekitar 3 kilogram.
Jadi kalau mereka masing-masing dapat menghasilkan 50 biji akan menjadi 5 ikat gula Aren yang
beratnya mencapai sekitar 15
kilogram. Dengan demikian rata-rata
produksi setiap pohonnya adalah sekitar 1,5 kg per pohon per hari. Pada tahun 2008 yang lalu harga setiap ikat
gula di tingkat petani sudah mencapai Rp 24.000 per ikat, atau dengan hitungan kilogram harganya
sekitar Rp 8.000/kg gula Aren. Sekarang
harganya sudah lebih bagus yaitu antara
Rp 25.000 sampai Rp 27.000 per ikat
atau sekitar antara Rp 8.350 sampai Rp 9.000 per kg.
Kalau dihitung-hitung maka pengasilan kotor masing-masing
petani dan sekaligus perajin gula
mencapai antara Rp 125.250 sampai Rp 135.000 per hari, kalau dihitung per bulan maka penghasilan
kotornya mencapai antara Rp
3.757.500 sampai Rp 4.050.000 per orang
per bulan. Hasil ini oleh perajin dirasa
masih kecil karena hampir tidak ada waktu bagi mereka untuk bersosialisasi atau
menikmati hasil jerih payahnya. Hampir tidak ada waktu untuk meninggalkan
kegiatan sehari saja, karena kalau dia meninggalkan tempat atau tidak
dipelihara sadapannya maka bisa mengering atau bahkan bisa berhenti
mengeluarkan nira. Jadi rutinitas
inilah yang membuat mereka merasa sangat berat dan sangat terbebani. Oleh karena itu Pak Limin merasa pekerjaan
ini sangatlah berat dan repot.
Kalau untuk mengolah nira menjadi gula dibantu oleh anggota keluarga yang lain dan petani berfokus hanya untuk mengambil nira, maka mereka bisa memaksimalkan kapasitas penyadapan menjadi dua kali lipatnya yaitu sekitar 20 pohon. Pak Limin juga pernah mengalami hal itu, yaitu waktu orang tuanya membantu dari mencari kayu hingga mengolah nira sampai menjadi gula maka waktu itu dia dapat memanjat sampai sekitar 20 pohon. Dengan demikian penghasilannya bisa lebih banyak lagi yaitu sekitar 2 kali lipatnya atau menjadi sekitar Rp 8 juta per bulan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda.