Proses pembuatan Gula Semut
Ide
selalu saja muncul dalam diri Sugiyo (55). Pengusaha yang mengakomodir
kebutuhan petani ini, tak ingin statis dalam menjalani hari demi
harinya. Sebagai seorang pengusaha, ia sadar, sebuah inovasi selalu
mendatangkan dampak yang baik. Tak terkecuali dengan ide membuat gula
kristal, atau bisa disebut gula semut, selama 10 tahun terakhir.
Saat
anak-anak memulai rutinitas belajar di sekolah, beberpaa ibu bergegas
ke sebuah rumah produksi di Penggung, Hargorejo, Kokap, Kulonprogo.
Meski mayoritas warga menjadi petani, beberapa perempuan yang tidka mau
menggantungkan hidupnya pada suami, memilih bekerja menjadi buruh di
rumah produksi Kelompok Tani Sumber Rejeki yang dikelola oleh Sugiyo.
“Berangkat
pagi, setelah anak-anak ke sekolah. Pokoknya setelah urusan di rumah
selesai, ujar Murdiningsih (48), salah satu pekerja di tempat tersebut.
Sekitar
10 tahun, Murdiningsih menjalani aktivitas sebagai pembuat gula semut
di tempat itu. Sebelumnya, ia hanya memproduksi gula bathok (gula Jawa) di rumahnya dalam skala kecil.
Murdiningsih
harus bekerja karena sang suami telah tiada. Meski demikian, bukan
berarti kebutuhan rumah tangga sehari-hari ia tanggung sendiri.
“Syukurlah,
anak saya yang pertama sudah bekerja, sudah punya anak dan tinggal
sendiri. Tapi kadang pulang ke rumah seminggu sekali,” ujar ibu dua anak
tersebut.
Sehari-hari, Murdiningsih bekerja mengaduk olahan gula bathok yang
sudah matan guntuk kemudian dikeringkan. Dengan alat masak tradisional,
berupa tungku dan kayu bakar, para pekerja yang berada di dapur
memaksimalkan hasil.
Dalam proses pembuatan gula semut, bahan bakunya bisa menggunakan legen atau gula bathok. Menurut Murdiningsih, kebanyakan bahan baku yang kini digunakan adalah gula bathok. Kalau legen panasnya lama. Berbeda dengan gula bathok. Kita panaskan dan proses pengeringan bisa seitar satu jam saja,” tuturnya.
Begitu pula bathok
panas dan mencair, baru kemudian diaduk-aduk hingga kering. Setelah
kering, gula terebut diayak dengan alat ayak hingga terpisah, mana yang
bubuk lembut dan yang masih kasar. Yang lembut kemudian dimasak,
sedangkan yang amsih kasar dipisah, kemudian bisa dipakai lagi untuk
dicampur dengna gula bathok cair.
“Kalau untuk memasak gula smut yang sudah kering, kita gunakan oven,” tutur Sainem, istri Sugiyo.
Ia
tak hanya memanfaatkan alat tradisional saja, melainkan juga laat-alat
modern dengan mesin. Bahkan tidak hanya oven yang mereka gunakan,
beberapa alat modern seperti mesin parut pun sudah tersedia. Hal
tersebut disediakan untuk mempercepat proses produksi.
Mesin
parut diguankan untuk memarut campuran gula semua yang meliputi kencur,
jahe, kunyit dan lainnya. Setelah diparut, campuran tersebut dicampur
dengan air, diperas baru kemudian dimasukkan dalam gula bathok yang sudah dimasak (dalam bentuk cair).
Inovasi
Dalam
kurun waktu yang lama, Sainem mengaku, inovasi yang dilakukan Sugiyo
memang berdampak baik. Jika dulunya hanya rasa jahe, gula semut
produknya kin memiliki aneka macam rasa. Termasuk kencur, lengkuas,
kunyit, temulawak dan lain-lain.
Menurut Sugiyo yang pernah mencetak rekor MURI sebagai pembuat gula bathok
terbesar pada 2002 tersebut, inovasi dilakukan untuk mengembangkan
usahanya. Tak hanya sebatas mencari untung, Sugiyo juga mencari pekerja
yang terampil.
Keluhan
selalu ada dalam setiap usaha. Masalah cuaca, bahan baku, modal hingga
tenaga kerja. Untuk yang terakhir, Sugiyo sempat mengalami kewalahan
karena ia mempercayakan home industry-nya kepada para pekerja yang tinggal di wilayah setempat.
Delapan
orang, sebagian besar perempuan, menjadi buruh pembuat gula semut. Dua
di antaranya laki-laki. Para laki-laki cenderung untuk bekerja pada
aktivitas yang berat. Sedangkan perempuan, memasak, mengaduk dan
mengemas gula kristal.
Meski ada yang baru saja bekerja selama dua minggu, Sugiyo mengaku,a sal ketrampilannya bagus, tak masalah.
“Sejauh ini belum ada keluhan dari para pekerja. Malahan, saya yang mengeluhkan mereka. Masalah disiplin waktu,” terang Sugiyo.
Ngasiyem
(52), pekerja lain yang berada di tempat tersebut mengaku, adanya
kegiatan kerja bakti
atau hajatan di desa setempat sering mengganggu
kerjanya.
“Kalau hari Minggu kami tetap bekerja. Seperti biasanya,” tuturnya.
Dari
pukul 08.00 hingga 16.00 WIB, para pembuat gula semut tersebut bekerja.
Dengan diiringi istirahat, emreka senantiasa bersenda gurau.
Seakan-akan menikmati pekerjaannya, Murdiningsih dan Ngasiyem, seolah
melupakan masalah di rumah.
Dengan
tempat yang terlalu luas, keheningan di rumah produk yang juga
meruapkan rumah Sugiyo tersebut, membuat para pekerja merasa nyaman.
Sumber : http://kertasbiasa.blogspot.com/2011/07/proses-pembuatan-gula-semut.html