Ekoenzim yang Ramah Lingkungan
Jurnalis & Fotografer : Ivana
Ekoenzim memanfaatkan sampah organik yang dicampur dengan gula aren dan air. Proses fermentasinya menghasilkan gas O3 dan hasil akhirnya adalah cairan pembersih serta pupuk yang ramah lingkungan.
“Ini paling mudah, modalnya murah lagi, cukup gula aren saja,” Suryadi Kurniawan, relawan Tzu Chi.
Tahun 2003, seorang doktor dari Thailand menerima penghargaan dari FAO (lembaga PBB yang mengurus soal pangan–red) Regional Thailand untuk penemuannya yang bernama eco-enzyme. Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya ekoenzim. Penemuan ini merupakan suatu upaya yang dilakukan Dr. Rosukon Poompanvong, nama doktor itu, bagi lingkungan dengan membantu para petani di sana memperoleh hasil panen yang lebih baik sekaligus ramah lingkungan.
Eco-enzyme memiliki manfaat yang berlipat ganda. Dengan memanfaatkan sampah organik sebagai bahan bakunya, kemudian dicampur dengan gula aren dan air, proses fermentasinya menghasilkan gas O3 dan hasil akhirnya adalah cairan pembersih serta pupuk yang ramah lingkungan.
Tidak Lengket dan Berbau
Tanggal 6 Juni 2010, Suryadi telah mempersiapkan pembuatan ekoenzim bersama relawan Tzu Chi cukup lama. Sepetak lahan kosong di samping kantin Aula Jing Si, PIK telah dimanfaatkannya untuk membangun sebuah posko kecil. “Ini adalah posko pupuk organik, awalnya memang dari membuat enzim dulu,” ucapnya bersemangat. Tiga belas relawan berkumpul bersamanya hari itu. Suryadi juga membawa sampel ekoenzim yang sudah berhasil dibuatnya. Proses fermentasi sempurna ekoenzim membutuhkan waktu 3 bulan. Meski dibuat dari sampah yang dicampur gula aren, cairan yang dihasilkan sama sekali tidak berbau busuk ataupun lengket mengundang semut.
“Caranya siapkan air dalam botol atau jerigen, masukkan gula aren, lalu sampah kulit buah atau sayur. Perbandingan air, gula, dan sampah, adalah 10 : 1 : 3,” Suryadi menjelaskan, disimak oleh 12 relawan lain. Hari itu mereka menggunakan jerigen berkapasitas 20 liter. Mereka mengisinya dengan air 12 liter, lalu dimasukkan 1,2 kg gula aren, disusul 3,6 kg sampah buah.
Setiap hari, proses fermentasi ekoenzim ini akan menghasilkan gas, jadi sebaiknya setiap hari botol atau jerigen tempat fermentasi dibuka tutupnya. Bila tidak, gas ini akan terus menekan botol hingga bisa berakibat retak atau pecah. Setelah lewat 3 bulan, air di dalam botol tersebut telah berubah menjadi cairan pembersih yang dapat digunakan untuk pembersih lantai, sabun cuci piring, sabun pakaian, pengharum ruangan, bahkan juga sabun mandi dan pencuci rambut. Masing-masing dengan takaran pencampuran air tertentu.
Keterangan :
- Perbandingan antara air, gula, dan sampah organik untuk membuat ekoenzim adalah 10 : 1 : 3 bagian. (kiri)
- Suryadi, relawan yang mengoordinir pembuatan enzim pada hari itu telah mempersiapkan posko pupuk organik ini jauh-jauh hari, termasuk mengambil sampah buah dari toko buah yang disumbangkan relawan Tzu Chi. (kanan)
Para relawan langsung bergerak mencoba membuat ekoenzim ini dengan alat dan bahan yang sudah ada. Sebagian menyiapkan air, sebagian lagi memotong gula aren dan sampah buah menjadi potongan kecil-kecil. Untuk pembuatan hari itu, secara khusus Suryadi telah meminta sampah buah dari sebuah toko buah yang dikelola seorang relawan Tzu Chi. Alhasil, mereka membuat 7 jerigen ekoenzim ditambah beberapa botol plastik 1 liter, dilabeli tanggal hari itu.
Tiga bulan mendatang, cairan dalam jerigen ini dapat digunakan untuk beragam fungsi, dan ampas sampah buahnya dapat digunakan sebagai pupuk organik. “Saya sudah coba pake di rumah untuk pel lantai, hasilnya sih lantai nggak licin meski nggak pake sabun. Padahal anak-anak kalau makan ya biasalah suka jatuh di lantai,” kata Ani Wijaya, relawan yang ikut hari itu. Biasanya ia hanya memakai 2 tutup botol enzim dicampur 1 ember air. Ani juga pernah mencoba membuat sendiri di rumah, namun tidak kontinu karena sering kehabisan botol plastik. “Saya tidak terpikir untuk ambil botol plastik di depo daur ulang,” terangnya.
Keterangan:
- Nathalia (kiri) dan Aini (kanan) antusias ikut membuat ekoenzim yang baru mereka kenal hari itu. "Ini namanya daur ulang sampah buah," kata mereka. (kiri)
- Jerigen yang telah dihasilkan ditempel tanggal pembuatannya. Tiga bulan kemudian, cairan yang dihasilkan dapat menjadi pembersih dan ampasnya menjadi pupuk organik. (kanan)
Beberapa relawan baru pertama kali mendengar tentang ekoenzim ini. “Tertarik aja. Caranya nggak susah ya, cuma memang perlu kesabaran. Kan katanya tiap 2 hari sekali harus dibuka,” kata Aini sambil memasukkan potongan buah ke dalam jerigen. Nathalia ikut nimbrung, “Ini bagus ya, sampah-sampah buah bisa jadi bermanfaat lagi, ini namanya daur ulang buah,” katanya. Tren pembuatan ekoenzim sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama di negara lain seperti Malaysia, Australia, Taiwan, juga Amerika Serikat. Suryadi berharap dapat membawa budaya ini ke dalam lingkungan Tzu Chi Indonesia. “Saya pikir ini bagus untuk menjadi salah satu budaya humanis yang kita jalankan dalam kompleks Aula Jing Si ini,” katanya.
Sumber : http://www.tzuchi.or.id/view_berita.php?id=1176&misi=Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar