......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Senin, 20 April 2009

MENUJU TREND INDUSTRI GULA CAIR






MENUJU TREND INDUSTRI GULA CAIR 

Oleh : Dian Kusumanto


 Ada ungkapan yang sangat menggelitik dari Bapak Dr. Tatang H. Suriawijaya pada saat beliau bertemu penulis di Nunukan beberapa bulan yang lalu. Yaitu tentang budaya industri rakyat gula Aren, Kelapa, Siwalan dan Tebu, yang selalu dikemas dalam bentuk cetakan menjadi gula batok, gula kotak, gula batu, dan lain-lain istilah lainnya. Budaya ini sebenarnya tidak efisien, sebab nanti pada saat gula sudah sampai di dapur, akan diiris-iris lagi kemudian dicairkan kembali dan baru disajikan bersama olahan panganan lainnya. Hal ini dinilai sebagai budaya yang hanya buang-buang energi dan tidak efisien bagi konsumen sekaligus bagi perajin gula tradisional kita, seandainya menggunakan atau memproduksi gula dalam benuk cair.
 
 Seandainya disajikan, diolah, dipasarkan dalam keadaan masih cair tapi dengan kekentalan tertentu, maka bagi para perajin atau produsen akan dapat mengurangi biaya bahan bakar dan mengurangi tenaga untuk mencetak menjadi tidak ada lagi. Pengolahan untuk menjadi cair tentu memerlukan waktu memasak yang lebih pendek, dengan demikian nira tidak terlalu lama diekspose dalam kondisi panas dibandingkan bila nira akan dicetak menjadi gula padat atau gula semut.

 Pendapat Bapak Slamet Sulaiman, pengasuh blog Pabrik Gula Mini demikian juga. Beliau mengatakan, “kenapa gula diproduksi dalam bentuk kristal padat, padahal setiap pemakaian gula selalu dilebur kembali apakah untuk makanan, minuman rumah tangga maupun industri, mungkin dulu pada awal awal industri gula kemasan untuk komoditi cair masih susah, yang ada hanya kemasan karung goni, sabun pun dulu sabun batangan belum ada sabun cair, shampoo juga dalam bentuk powder putih belum ada shampoo cair, bahkan obat obatan kebanyakan dalam bentuk puyer belum ada obat penurun panas dan obat batuk botolan”.

 Selanjutnya beliau mengatakan, “Saat ini dunia juga mulai dengan pemanis gula dalam bentuk cair, pemikiran yang sederhana, investasi yang lebih murah, yield yang sejenis tanpa ada by produk dan sebenarnya konsumen diuntungkan karna tidak kehilangan energi untuk melebur kembali, permasalahannya hanya merubah habitat pasar. Nah kenapa kita juga tidak segera memulai ?”

Teknologi Penguapan Hampa

 Kalau Pak Tatang menyarankan penulis untuk menengok perkembangan teknologi Maple Syrup di Canada dan Amerika Serikat Bagian Utara, maka Pak Slamet mempunyai pendapat agar kita bisa menerapkan teknologi penguapan dengan udara vacum atau hampa. Selanjutnya Pak Slamet Sulaiman mengatakan, ”Gula cair yang diproses dengan penguap hampa , dididihkan pada temperature max 60 celsius memberikan warna yang lebih cerah”. 

Gula cair yang saat ini diproduksi dan dijual dipasaran berwarna gelap karena pengaruh penguapan dengan api langsung. Gula cair dari bahan apapun baik dari batang tebu, batang sweet sorghum, nira keluarga palma (kelapa, nipah, aren, siwalan) merupakan peluang berprospek baik dan sangat menantang. Semua yang merupakan tantangan teknologi, tantangan sosialisasi dan pemasaran, dan sebagainya sebenarnya dibaliknya terbentang peluang yang cukup besar, sisi ekonomis sisi penyerapan tenaga kerja dan sisi mensejahterakan rakyat. Aneka bahan nira ini akan menjadi prospek yang sangat menarik, sehingga produk gula cair kitananti menjadi sangat beragam dan banyak pilihan. 

Ilustrasi diatas menggambarkan bagaimanapun dengan technologi tradisional gula cair akan sulit untuk berkembang dan diterima pasar, warna gelap memberikan kesan komoditas klas rendah dan tidak sehat,sementara dengan sentuhan teknologi akan didapat produk standart dan memenuhi standarisasi produk. Investasi dalam kisaran ratusan juta atau beberapa milyar tergantung dari kapasitas dan technology yang diterapkan akan mampu membangkitkan ekonomi pedesaan (tanaman palmae hanya ada di pedesaan).

Bahkan beberapa produsen gula cair biasanya membeli dari para perajin berupa gula cetak yang sudah jadi atau setengah jadi, kemudian dihancurkan kembali dan ditambah air untuk menjadi gula cair atau gula semut. Ini jelas pemborosan, karena kerja dan biaya dua kali, sedangkan hasil produknya menjadi lebih gelap dan kurang menarik.  

Pabrik Gula Aren dengan teknologi masakan hampa terpasang di Minahasa Selatan menghasilkan gula organik kristal (gula semut) untuk meningkatkan kesejahteraan penderes nipah

 Teknologi penguapan hampa (Vacum Evaporator) juga dilakukan pada pengelolaan nira dari Pohon Maple untuk dijadikan Maple Syrup di Canada dan America. Dengan teknologi penguapan hampa ini maka dihasilkan Maple Syrup yang sangat bening dan menarik seperti gambar di bawah ini. Berbeda dengan Gula Aren Cair kita yang masih berwarna gelap dan terasa kurang menarik.

Gula Syrup atau Gula Cair dari Pohon Maple

Gula Syrup atau Gula Cair dari Pohon Maple





Jumat, 17 April 2009

Mengolah Gula Aren dengan Bantuan Panas Bumi

Mengolah Gula Aren dengan Bantuan Panas Bumi 

Laporan wartawan Siwi Nurbiajanti (KOMPAS)

PANAS BUMI, saat ini menjadi salah satu energi alternatif yang terus dikembangkan di Indonesia. Energi tersebut merupakan energi terbarukan dan berkelanjut an, serta ramah lingkungan. Panas bumi di Indonesia berada dalam jalur vulkanik yang tersebar mulai dari Aceh hingga Sulawesi Utara.

Sejak lebih dari 20 tahun yang lalu, energi panas bumi di Indonesia telah dikembangkan untuk menghasilkan energi listrik. Daerah-daerah yang berada dalam wilayah kerja pengusahaan PT Pertamina Geothermal Energy meliputi Sibayak di Sumatera Utara, Sungai Penuh di Jambi, Lumut Balai di Sumatera Selatan, Hululais di Bengkulu, Kotamobagu dan Lahendong di Sulawesi Utara, Kamojan g di Jawa Barat, serta Ulubelu di Lampung.

Dalam perkembangannya, saat ini energi panas bumi tidak hanya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik, tetapi juga untuk pengolahan pada industri makanan. Hal tersebut seperti dilakukan di wilayah Lahendon g. Energi panas bumi dari wilayah tersebut juga dimanfaatkan untuk mengolah gula aren di Pabrik Gula Aren Masarang, Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Unit pengolahan gula aren Masarang mulai dibangun sejak tahun 2004. Ketua Yayasan Masarang, Willie Smith, Ju mat (20/2) mengatakan, panas bumi digunakan untuk semua proses pengolahan gula aren. Uap dari energi panas bumi diperoleh secara cuma-cuma dari PT Pertamina Geothermal Energy.

Menurut dia, pemanfaatan energi panas bumi untuk mengolah gula aren, sangat mem bantu peningkatan pendapatan sekitar 6.285 petani aren di wilayah tersebut. Pasalnya, aren merupakan salah satu tanaman yang tumbuh secara produktif di wilayah Tomohon. Selain itu, pemanfaatan panas bumi juga ikut membantu mencegah terjadinya kerusakan al am, akibat pengambilan kayu di hutan secara liar.

Smith mengatakan, sebelum berdiri pabrik gula aren, petani aren memasak sendiri nira yang mereka dapatkan. Rata-rata setiap petani membutuhkan 30 kilogram kayu bakar untuk memasak nira segar. Apabila terdap at 3.500 petani yang memasak nira, dibutuhkan sekitar 50.000 meter kubik kayu per tahun, atau setara dengan 200.000 pohon sedang per tahun. "Otomatis mereka mengambil dari hutan, sehingga akan menimbulkan kerusakan lingkungan," katanya.

Selain itu, siste m pengolahan nira aren secara tradisional juga memiliki beberapa kelemahan. Pengolahan tersebut tidak memiliki standar kebersihan, menggunakan produk campuran dengan kadar bervariasi, serta tidak memiliki standar kualitas dan standar bungkus.

Dengan meng gunakan panas bumi, berbagai kelemahan tersebut dapat dihindarkan. Saat ini, produk gula aren dari pabrik gula Masarang diekspor ke Eropa dengan harga sekitar Rp 110.000 per kilogram. Harga tersebut jauh lebih tinggi dari harga gula arean di pasar lokal, yang hanya sekitar Rp 28.000 per kilogram.

Besarnya manfaat panas bumi pada industri pengolahan gula aren juga diakui Direktur Pabrik Gula Aren Masarang, Erwin Tanauma. Saat ini, pabrik gula tersebut mampu memproduksi sekitar 25.000 liter nira per hari, d engan jumlah tenaga kerja 35 orang. Volume gula aren yang dihasilkan dari nira sebanyak itu mencapai sekitar tiga ton per hari.

Menurut dia, petani menyerahkan nira ke pabrik melalui koordinator kelompok tani. Perusahaan membeli nira tersebut seharga Rp 1.000 per liter.

Koordinator petani aren Desa Gayawung, Tomohon, Roli Muningka mengatakan, rata-rata setiap petani mampu menghasilkan sekitar 50 hingga 300 liter nira per hari. Dengan menjual melalui pabrik, penghasilan mereka jauh lebih besar bila dibandingkan harus memasak sendiri nira tersebut.

Pasalnya, harga nira (gula dari nira-red) di pasar tradisional sangat murah, hanya sekitar Rp 5.000 per kilogram. Kalau dimasak sendiri, pendapatannya hanya separuh dari kalau dijual di pabrik, katanya.

Koordinator petani Desa taratara, Tomohon, Daniel Rawung mengatakan, penghasilan petani yang menjual nira ke pabrik mencapai dua kali lipat bila dibandingkan petani yang memasak sendiri nira mereka. Meskipun demikian, hingga saat ini, masih terdapat beberapa petani yang memilih memasak nira sendiri.

Mereka terkendala jarak untuk menyetorkan nira ke pabrik. Para petani tersebut menyadap nira pada pukul 06.00 hingga 09.00. Kami menginginkan agar nira sampai ke pabrik pada pukul 08.00, sementara ada petani yang jarak rumahnya jauh, katanya.

Manajer Enjinering Pertamina Geothermal Energy Area Lahendong, Wawan Darmawan mengatakan, pemanfaatan panas bumi secara gratis untuk pengolahan gula aren merupakan salah satu bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan atau company social responsibility (CSR). Dengan upaya tersebut, hasil yang diperoleh lebih besar bila dibandingkan dalam bentuk bantuan uang. Selain untuk pengolahan gula aren, saat ini panas bumi juga mulai dikembangkan untuk pengeringan kopra, cengkeh, dan vanili.

Sumber : http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/23/20471096/mengolah.gula.aren.dengan.bantuan.panas.bumi..

Potensi Pengembangan BBN dari Nira Aren dengan Menggunakan Energi Panas Bumi di Sumatra Utara

Potensi Pengembangan BBN dari Nira Aren dengan Menggunakan Energi Panas Bumi di Sumatra Utara

Nira Aren yang merupakan salah satu kekayaan nabati yang dimiliki Indonesia, tumbuh subur dan tersebar luas di seluruh pelosok nusantara. Di propinsi Sumatra Utara, khususnya kawasan Sibolangit-Brastagi Kabupaten Deli Serdang dan di Kabupaten Tanah Karo dengan ketinggian 500-1200 meter dari permukaan laut, pohon aren tumbuh tersebar diribuan hektar secara acak di lereng-lereng gunung sepanjang kiri-kanan jalan raya Medan menuju Brastagi hingga ke kawasan Pembangkit Listrik Panas Bumi yang terletak di Sidebuk Kabupaten Karo. Lokasi tersebut sangat potensial untuk pengembangan dan pemanfaatan Nira Aren dalam skala besar dengan melakukan penanaman dan pembibitan secara sistematis.

Akan tetapi pemanfaatan dan pemahaman masyarakat setempat tentang produksi Nira Aren sebagai bahan baku bioetanol sebagai pengganti BBM, masih sangat terbatas. Seperti juga di propinsi-propinsi yang ada di NKRI, sampai saat ini pemanfaatan Nira Aren aren masih sebatas untuk pembuatan gula merah dan minuman keras beralkohol "Tuak" (hasil permentasi Nira Aren secara Alami). Berdasarkan hasil survei di Kecamatan Sibolangit, produktifitas Nira Aren dapat menghasilkan 20-50 liter/hari/pohon memiliki kadar gula 12-16% dan etanol 70-90% skala kecil (200-500) liter/hari/sentra. Belum semua semua Aren termanfaatkan, hal ini disebabkan faktor distribusi dan populasi aren yang tidak merata. Oleh sebab itu pembibitan dan distribusi bibit aren serta sosialisasi program bioetanol dapat dilakukan kerjasama dengan beberapa pihak yang potensial. salah satunya adalah dengan Gerakan Pramuka Kwartir Daerah Propinsi Sumut yang mengelola 300 Ha lahan bekas Jambore Nasional Tahun 1977.

Melalui Kajian Tekno Ekonomi yang dilakukan oleh Keasdepan Program Tekno Ekonomi, Kedeputian Bidang Program Riptek, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang Bahan Bakar Nabati (BBN) dari Nira Aren, kedepan dimungkinkan untuk dilakukan pabrikasi untuk pengembangan Nira Aren dalam skala besar karena dapat memanfaatkan buangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi yang memiliki suhu tinggi sekitar 100 oC. Pembangkit Listrik Panas Bumi yang terletak di Sidebuk Kabupaten Karo SUMUT, adalah milik Pertamina dengan kapasitas 1 Mw (sudah terpasang) dan kapaitas 2x5 Mw sedang dalam tahap penyelesaian (Agustus 2007).

Dengan demikian pengembangan Bahan Bakar Nabati dari Nira Aren dengan mamanfaatkan Panas Bumi, secara secara tidak langsung dapat mengurangi ketergantungan akan pangan (gula/sukrosa) dan dapat berkontribusi terhadap penggunaan energi alternatif berbahan bakar nabati. (AsdepPTE/ humasristek)

Sumber : http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=1826

POTENSI PENGEMBANGAN POHON AREN DI INDONESIA (solusi permasalahan kemandirian energi dan lingkungan)

POTENSI PENGEMBANGAN POHON AREN DI INDONESIA
(solusi permasalahan kemandirian energi dan lingkungan)


Sumber : http://perubahanuntukrakyat.com/2009/03/11/potensi-pengembangan-pohon-aren-di-indonesia-solusi-permasalahan-kemandirian-energi-dan-lingkungan/

Program bagi-bagi uang yang digagas pemerintah sekarang tidak akan menyelesaikan masalah. Habis uang, kemiskinan tetap akan ada. Di sisi lain kita punya hutan yang menjadi paru-paru dunia, yang harus kita selamatkan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kami menawarkan gagasan pengembangan budi daya aren di Indonesia. Pohon Aren ini adalah sumber energi yang sangat menjanjikan. Aren ini dapat menghasilkan bermacam produk, yang ujungnya dapat dijadikan bahan bakar, etanol. Hebatnya, Pohon ini akan lebih bagus pertumbuhannya jika ditanam diantara pohon-pohon yang lain. Selain itu juga aren ini bisa menahan erosi, menambah subur tanah, mengendapkan air lebih banyak, dan menghasilkan bio etanol.

Aren merupakan tanaman yang sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia dengan produk utama berupa gula merah. Aren memiliki berbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan (Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain.

Aren dapat tumbuh di daerah tropis dengan baik, namun hingga saat ini pengembangan potensi Aren di Indonesia masih sangat minim, hal ini ditunjukkan dengan minimnya teknologi pengolahan Aren, minimnya lahan Aren, produk turunan yang belum berkembang dan belum banyaknya pengelolaan Aren secara Industri di Indonesia.

Nira aren di beberapa daerah selain sebagai bahan pemanis, melalui proses fermentasi, Nira diubah menjadi minuman beralkohol yang dikenal dengan nama tuak. Alkohol yang dihasilkan secara ilmiah dikenal dengan nama Etanol (Bioetanol), Nira dapat diubah menjadi bioetanol dengan bantuan fermentasi oleh bakteri ragi (Saccharomyces cereviseae) dimana kandungan gula (sukrosa) pada nira dikonversi menjadi glukosa kemudian menjadi etanol.

Nira Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan baku bioetanol lainnya seperti singkong dan jagung (tanaman penghasil pati) dikarenakan tahap yang dilakukan cukup satu tahap saja yaitu tahap fermentasi, sedangkan bioetanol yang berasal dari tumbuhan berpati memerlukan tahap hidrolisis ringan (sakarifikasi) untuk merubah polimer pati menjadi gula sederhana.

Aren memiliki kelebihan dibandingkan dengan tebu, dimana pohon aren lebih produktif menghasilkan nira dibandingkan dengan tebu dimana produktivitasnya bisa 4-8 kali dibandingkan tebu dan rendemen gulanya 12%, sedangkan tebu rata-rata hanya 7% .

Rata-rata produksi nira aren ialah sebesar 10 liter nira/hari/pohon bahkan pada masa suburnya untuk beberapa jenis pohon Aren (Aren Genjah) satu pohon perhari dapat menghasilkan nira aren sebesar 40 liter, dengan kalkulasi sederhana jika dalam satu hektar dapat tumbuh 200 pohon Aren dan tiap harinya disadap 100 pohon maka dalam satu hari dapat menghasilkan nira aren sebesar 1000 liter/ha/hari dengan rule of thumb konversi glukosa menjadi ethanol sebesar 0,51 g ethanol/g glukosa maka dalam satu hari bioethanol perhektar yang dapat diperoleh ialah 500 liter/hari.

Dari segi penumbuhan tanaman aren tidak tidak membutuhkan pupuk untuk tumbuh sehingga Aren dapat bebas dari pestisida dan lebih ramah lingkungan, selain itu Aren dapat ditanam di daerah lereng atau perbukitan serta tahan penyakit sehingga dibandingkan dengan Tebu pengelolaan Aren jauh lebih mudah. Tanaman aren juga lebih efektif jika ditanam secara tumpang sari. Dengan metode penanaman tersebut, petani aren juga dapat menikmati penghasilan tambahan dari tanaman tumpang sari lainnya. Tumpang sari juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis tumbuhan di hutan Indonesia.

Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan aren seperti kita ketahui merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan, hal ini disebabkan emisi yang dikeluarkan khususnya emisi karbon sangatlah rendah, sehingga secara langsung dapat menjaga lingkungan sekitar pengguna bahan bakar dan secara tidak langsung dapat mengurangi efek dari pemanasan global (Perubahan iklim).

Selain itu pohon Aren merupakan pohon berdaun hijau, sehingga dengan menanam Aren, kita ikut serta dalam menumbuhkan paru-paru dunia dan mengurangi atau mencegah pemanasan global akibat emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas di bumi melalui proses fotosintesis. Dengan kondisi lingkungan yang semakin baik, kita dapat menyediakan masa depan lebih baik bagi anak-anak kita.

Pengembangan aren juga dapat menimbulkan multiplier effect dalam hal penyerapan tenaga kerja. Satu hektare perkebunan aren akan menyerap tenaga kerja sebanyak 6 orang. Jika kita membuka 4 juta Hektare perkebunan aren, maka kita dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi 24 juta orang. Belum lagi jika jumlah tersebut ditambah dengan tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri pengolahan hingga ke pemasaran. Dengan terbukanya lapangan kerja, para ayah akan mampu menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Minggu, 05 April 2009

Evi Indrawanto : Manisnya Bisnis Gula Semut


Evi Indrawanto : Manisnya Bisnis Gula Semut

Sumber : Majalah Wirausaha dan Keuangan (WK)

Gula semut aren / gula kristal aren merupakan gula merah berbentuk serbuk atau dikenal pula sebagai Palm Suiker. Terbuat dari nira aren dan tidak diberi campuran kimia apapun. Kini semakin banyak peminatnya. Bekerja sama dengan tidak kurang dari 500 orang petani pembuat gula aren sebagai pemasok bahan baku dan telah disertifikasi organik oleh The Institute Marketecology (IMO) Switzerland, Evi Indrawanto, owner CV Diva Maju Bersama ini mengolah dan mendistribusikan gula semut aren organik ini sebagai bisnis utamanya.


Sebelumnya, Evi telah memproduksi sari Jeruk Kalamansi yang kaya Vitamin C, Madu Hutan yang kaya nutrisi, Beras Merah Organik, kemudian ia merambah bisnis gula semut aren ini. Produk-produk ini cukup banyak diminati masyarakat, berkat kesadaran masyarakat yang ingin hidup sehat semakin tinggi. Bisnis gula aren yang ditekuni Evi sendiri berawal dari adanya pasar yang semakin luas yang membutuhkan gula aren ini. Seperti diketahui gula ini sudah sangat dikenal oleh masyarakat, dan digunakan diberbagai jenis masakan dan makanan, namun anehnya hingga saat ini belum ada pabrik gula aren yang representative di Indonesia.

“Saya mencoba menghadirkan gula aren lebih praktis dan higienis kepada masyarakat, karena faktanya gula aren memiliki kandungan gizi yang tinggi, aroma, rasa dan warnanya yang tidak bisa digantikan oleh gula lain, bukan kah kita sedang berbicara tentang sebuah lubang besar yang perlu diiisi?,” ujar Evi. Betul juga. Evi kini memang serius menjual dan menawarkan produk gula ini kepada masyarakat sebagai produk herbal yang sehat untuk keperluan sehari-hari. Berminat hubungi telepon 021-70882420 n

Salam,
-- Evi Indrawanto
DIVA'S Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners