Rabu, 30 Desember 2009
CERITA DARI IBU EVI SI JURAGAN GULA AREN
CERITA DARI IBU EVI SI JURAGAN GULA AREN
Tuesday, December 15, 2009
Gulo anau / Gula Aren
Bergelimang dengan gula aren (tepatnya gula semut aren), hidup dan mati memperjuangkan gula aren ( kalau tidak begitu anak-anak tidak makan dan tidak sekolah dong :)), di masa lalu affairku bersama gula yang terbuat dari nira aren ini sangat minim. Ingatan tidak selalu bisa diandalkan memang dan tahun-tahun yang lewat pasti banyak mencecerkan kenangan. Entah terkait pada kebiasaan orang Minang yang strichly tidak memasukan gula (pamanis apapun) ke dalam masakan jenis lauk pauk, entah tidak peduli saja, yang jelas tidak ada kenangan istimewa apapun pada gula yang orang Minang sebut gulo anau ini. Sepengetahuanku pula pemakaian gula aren di minang kebanyakan berunsur rekreasi. Maksudnya hanya terdapat dalam makanan beratmosfir gembira atau hanya ada dalam kue-kue (snack tradisional) dan sedikit menemani minum kopi daun.
Kopi daun? Apa pula itu. Dalam buku Plakat Panjang karya Amran Rusli diceritakan perangai Belanda yang menarik garis tegak lurus antara orang Eropa, China dan Pribumi. Karena berharga mahal, dianggap hanya orang Eropa dan orang Cina kaya yang pantas mengkomsumsi kopi. Apa boleh buat, dipaksa menanam kopi tapi tidak boleh menikmati buahnya, sementara selera tetap sama, maka terbitlah akal kaum pribumi untuk memanfaatkan daun kopi.
Caranya? Daun kopi sedang (tidak terlalu muda dan juga tidak terlalu tua) di bersihkan, di tusuk oleh sebilah lidi, lalu digantung sampai kering diatas perapian ( bahasa minangnya di sangai). Setelah beberapa hari daun kopi yang kering dan getas ini di remas menyerupai rajangan daun teh, dimasukan ke dalam tabung bambu lalu diguyur air mendidih. Teh dari daun kopi atau kopi daun ini rasanya lebih nikmat kalau ditambahkan gula aren sebagai pemanisnya (Sumber: tulisan Mamanda Dave Said di Rantaunet).
Yang paling memalukan dari karakter kaum pendatang (penjajah) adalah jelas-jelas merampok hasil bumi orang, cari makan diatas tanah orang, derajat sosial penduduknya perlu pula di letakan beberapa tingkat di bawah mereka. Maka kalau Belanda sedang frustrasi menghadapi kekeras kepalaan atau mungkin juga gara-gara gak nurut, dianggap bodoh maka keluar hardikan seperti ini, " ... Godverdomme, dasar melayu kopi daun zegg .."
Penduduk lokal menamai teh kopi ini Aia Kawa. Menurut sak wasangka, nama ini berasal mereka yang pulang dari Mekah. Di tanah Arab memang ada minuman bernama Kopi Gahwa ( Kawa) ( Sumber: westsumatera.com).
Sepertinya Aie Kawa ini mengilhami orang minang untuk memberi nama serupa terhadap ritual menyantap penganan kecil. Aku ingat ketika amai-amai (ibu-ibu ) pergi ke ladang atau ke sawah dengan menjinjing teko berisi kopi, dan menjunjung beban yang berisi entah ketan, pisang goreng, kalamai atau penganan kecil lainnya untuk menjamu suami atau kerabat yang bekerja disana, mereka menyebut sebagai Mengantarkan Kawa. Tampaknya tidak terbatas juga pada pengan kecil. Antaran makan siang berupa nasi plus lauk pauknya ketika orang kampung gotong royong menyabit dan merontokan padi di sawah disebut Kawa juga.
Pengalaman dunia nyata yang lain terpaksa harus di bawa ke bulan Ramadhan. Karena di bulan-bulan ini lah aneka makanan manis bertebaran di mana-mana. Mulai dari kolak ubi, kolak singkong, pisang dan cendol relatif tersedia di banyak tempat. Di luar bulan puasa, bersama kelapa parut, gula aren bersembunyi dalam kue unti. Kue unti yang kumaksud adalah klepon versi minangkabau. Terbuat dari tepung ketan, di adon dengan santan yang sudah diberi daun pandan, dibentuk bulat-bulat seperti bakso dan ke dalamnya di sisipkan kelapa parut yang sudah dimasak dengan gula aren lalu di rebus dalam air mendidih. Kalau sudah mengapung diangkat lalu diceburkan ke dalam parutan kelapa. Kue siap santap deh.
Setelah itu gula aren ditemukan dalam kinca. Kalau sedang musim nangka matang atau durian , biasa saja kuah kinca tercemar aroma buah ini. Kinca akan disiramkan keatas kue apam atau ketan.
Begitu lah. Sampai beranjak mendekati usia 40 tahun aku tidak "ngeh" ada perbedaan antara gula merah, gula aren dan saka ( gula merah yang terbuat dari tebu). Jangankan mengetahui bedanya, mengetahui terbuat dari apa gula aren juga tidak. Padahal di belakang rumah kami di kampung terdapat beberapa batang pohon anau/aren. Hanya karena tampilannya yang seram, berjanggut (digayuti ijuk tebal) yang ditumbuhi aneka pakis dan anggrek liar, diabaikan, tidak begitu banyak yang bisa diceritakan selain pohon itu mungkin berhantu. Kalau tidak perlu-perlu amat tidak akan ada yang melintas di dekatnya. Kalaupun terpaksa karena harus jalan menuju Batang Agam (nama sungai) tatapan mata dibuang jauh-jauh , takut kepergok penunggunya dan disapa soalnya. Tidak satu orang Minang pun yang mau disapa makhluk gaib penghuni pohon-pohon besar sebab orang tersapa(tasapo) akan jatuh sakit.
Salam,
-- Evi Indrawanto
DIVA'S Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar