Oleh : Dian Kusumanto
Taiwan memang dikenal sebagai negara yang tingkat konsumsi mie perkapitanya paling tinggi se dunia, kalau tidak salah sekitar 65 bungkus/kapita/tahun, sedangkan Indonesia mencapai 35 bungkus/kapita/tahun, lebih tinggi sdikit dibandingkan dengan negara asal mie itu sendiri yaitu China yang mencapai 34 bungkus/kapita/tahun. Produk mie instan yang sudah mendunia itu antara lain adalah produksi Indonesia, yaitu Indomie.
Ternyata yang menjadi titik masalah bukan berasal dari bahan utama mienya, tetapi dari bumbu tambahannya yaitu kecapnya. Memang kecap biasanya ditambahkan pada mie goreng instan, sebagai penyedap dan pembentuk warna agak gelap. Sebenarnya bumbu kecap yang ada pada Indomie Goreng instan ini hanya sedikit saja, yaitu sekitar 4 gram, dari mie instan yang beratnya hampir 100 gram. Namun ternyata pada kecap inilah bahan yang menjadi sebab penarikan produk tersebut terkandung. Dalam mi instan, bahan nipagin hanya terdapat dalam bumbu kecap yang beratnya sebesar 4 gram, sehingga kandungan nipaginnya hanya sebesar satu miligram per bungkus mi instan.
Zat pengawet yang ditengarai menjadi penyebab penarikan mie instan di Taiwan adalah Nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate. Zat pengawet ini terdapat pada kecap yang disertakan dalam kemasan mie instan khususnya jenis mie goreng.
" Zat pengawet nipagin digunakan dalam kecap mie instan buatan Indofood. Tapi kalau sausnya menggunaan pengawet lain yaitu asam benzoat. Tentunya, kandungan pengawet dalam Indomie sudah memenuhi syarat aman yang ditentukan. Bahkan, kandungannya jauh sekali di bawah ambang batas yang dapat diterima tubuh untuk konsumsi sehari-hari atau ADI (Acceptable Daily Intake)," ungkap Roy Sparingga, Deputi Keamanan Makanan Badan POM, kepada KOMPAS.com, Senin (11/10/2010).
Paraben secara teknis dikenal sebagai ester dari asam para-hidroksibenzoat. Bahan ini dikembangkan dari asam organik dan alkohol. Walaupun dapat dihasilkan secara alami, namun karena penggunaanya secara masal, paraben diproduksi dengan cara sintetis.
Sejauh ini belum ada bukti bahwa metilparaben dapat menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan pada konsumsi tertentu. Metilparaben juga dapat dimetabolisme oleh bakteri tanah sehingga benar-benar terurai. Metilparaben mudah diserap dari saluran pencernaan atau melalui kulit. Di dalam tubuh metilparaben dihidrolisis menjadi asam p-hidroksibenzoat dan cepat dikeluarkan tanpa akumulasi dalam tubuh. Pada makanan, metilparaben dapat ditemukan pada produk seperti : Kecap, Sereal, Produk Roti, Produk Susu Beku, Minyak dan Lemak, Selai, Sirup, Produk Coklat dan Kakao, Minuman Kaleng, Bumbu-bumbu Kemasan, Produk Daging, Ikan dan Unggas.
Berdasarkan data Badan POM, hingga saat ini, jumlah produk mie instan yang terdaftar di Indonesia adalah 663 item jenis dalam negeri dan 466 item jenis luar negeri.
Rupanya tidak hanya mi instan saja yang tak bisa masuk Taiwan lantaran mengandung bahan pengawet, tapi gula merah dan permen merek tertentu dari Indonesia juga dilarang masuk Taiwan. Tudingannya sama saja, yaitu mengandung bahan berbahaya.
“Untuk gula merah ditemukan mengandung pemutih, sehingga tidak bisa masuk Tiawan,” kata Bambang Mulyatno, Kepala Bidang Perdagangan, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) untuk Taipei di sela-sela rapat kerja di komisi VI DRP RI di Jakarta, Senin (11/10). Adapun untuk permen, pihak Departemen Kesehatan Taiwan juga menemukan adanya bahan berbahaya yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan. Temuan kandungan pemutih pada gula merah dan permen yang bermasalah tersebut pernah terjadi sebelumnya.
Kalau kita amati apa saja komposisi pada Indomie “Mi Goreng Kriuuk.. 8x pedas” yang ada di pasaran, adalah sebagai berikut;
MI : Tepung terigu, minyak sayur, tepung tapioka, garam, pengatur keasaman, pemantap, mineral (zat besi), anti oksidan (TBHQ), pewarna makanan (Tartrazin Cl 19140).
BUMBU : Gula, garam, penguat rasa mononatrium glutamat (MSG), cabe merah kering, perisa ayam, bubuk bawang putih, bubuk bawang merah,bubuk lada dan vitamin (A, B1, B6, B12, Niasin, Asam Folat, Pantotenat).
MINYAK : Minyak sayur, cabe merah, bawang merah dan bawang putih.
KECAP MANIS : Gula, air, garam, kedelai, dan pengawet (natrium benzoat, metil p-hidroksibenzoat).
SAUS CABE : Cabe, gula, garam, rempah-rempah, pengental dan pengawet (natrium benzoat).
Gula merah dalam komposisi kecap
Seperti kita ketahui, kecap (yang manis bukan kecap asin) biasa dibuat dari aneka bahan nabati yang berasal dari kacang-kacangan, bumbu rempah maupun bahan yang mengandung protein hewani, dan yang paling dominan adalah gula merah. Gula merah dalam pembuatan kecap ini bisa berasal dari gula kelapa, gula merah dari tebu, gula merah dari siwalan atau gula merah dari Aren alias gula Aren. Gula merah sebagai komponen utama pembuatan kecap digunakan dalam jumlah lebih dari 60 % bahan.
Di bawah ini disajikan perbandingan komposisi bahan utama pembuatan kecap dari berbagai jenis kecap yang berasal dari berbagai sumber.
No. | Jenis Kecap | Gula Merah | Kedelai | Bahan utama lainnya | Air |
1. | Kecap Manis (idea_boedi) | 2 kg | 0,5 kg (kedelai hitam) | - | 4 liter |
2. | Kecap Manis Air kelapa (Tabloid Lezat) | 0,6 kg | - | Air Kelapa 4 liter | - |
3. | Kecap Manis | 6 kg | 1 kg (kedelai hitam/putih) | 0,8 kg garam | 5,5 liter |
4. | Kecap Air Kelapa (LIPI) | 0,8 kg | 0,2 kg kedelai bubuk | Air kelapa 2 liter, keluwek 0,12 kg | - |
(Diolah dari berbagai sumber oleh Aren Foundation 2010)
Kecap Manis dalam kemasan botol gelas
Lalu dimana letak masalahnya??
Letak masalahnya ada pada produsen gula merah yang kebanyakan adalah para perajin kecil yang kurang memperhatikan atau tidak mempedulikan mutu hasil dari gula merah itu. Lalu dimana letak kesalahannya? Ya, karena konsumen dalam hal ini pengguna produk (Indofood) belum sepenuhnya bisa mengontrol mutu gula merah dari para pemasoknya. Para pemasok gula merah ini mengandalkan sebagian besar produk gula merah dari para perajin-perajin kecil yang jumlahnya sangat banyak itu. Dapat dikatakan bahwa titik pangkat masalah itu bertumpu pada para produsen gula merah alias para perajin sekaligus penderes atau penyadap untuk gula merah, baik dari tanaman kelapa maupun aren.
Perajin Gula Merah Tradisional
Kalau kita coba untuk mengurai masalahnya, maka beberapa hal di bawah ini bisa jadi merupakan penyebabnya, yaitu antara lain :
1. Mutu nira yang cenderung cepat menurun karena cepat mengalami fermentasi , sehingga para perajin/ penderes cenderung menggunakan bahan pengawet nira yang berlebihan atau tidak terukur.
Kapur gamping sering digunakan sebagai bahan pengawet Nira oleh para Perajin dengan diberikan pada wadah penampung Nira yang berada di atas pohon
2. Cepat menurunnya mutu nira atau terjadinya fermentasi yang terjadi karena system penyadapan belum dilakukan secara baik dan steril, wadah penampungan kotor dan tidak steril, kebersihan wadah, pohon dan alat belum terjamin, serta perajin belum paham.
3. Pola penampungan nira di atas pohon yang memperlambat/memperlama/ mempersulit system kerja perajin.
4. Jarak antar pohon yang produktif tidak beraturan atau saling berjauhan dengan tempat penampungan dan pengolahan nira menjadi gula.
5. Atau secara keseluruhan adalah pola kerja perajin yang belum standard serta keadaan kebun yang belum teratur dan peralatan pemungutan nira, penampungan dan pengolahannya yang masih sangat sederhana.
6. Bisa dikatakan juga bahwa bentuk-bentuk kemitraan yang ada masih lemah sehingga belum bisa berfungsi efektif pada control mutu gula merah tersebut.
Untuk memperbaiki mutu gula merah yang memenuhi standard sehingga aman untuk berbagai kebutuhan, khususnya dalam hal ini sebagai bahan baku utama dari kecap, maka perlu dilakukan penataan dan pembenahan serta perbaikan seluruh systemnya. Menurut saya beberapa hal di bawah ini jika dilakukan akan dapat mengangkat citra gula merah Indonesia lebih baik lagi, upaya dimaksud antara lain :
1. Membangun pola kemitraan pra produksi, produksi sampai pemasaran gula merah (Aren) yang bisa mengontrol mutu gula merah sesuai standard yang ditetapkan.
2. Membangun atau memperbaiki system industry gula rakyat sehingga bisa bekerja sesuai SOP yang sudah disepakati, yang aman sesuai standard yang diharapkan.
3. Pembinaan kepada para perajin gula merah secara terus menerus yang dilakukan oleh Pemerintah/ Mitra kerja/ pihak-pihak LSM kepada para pelaku usaha.
4. Meminimalkan bahkan meniadakan penggunaan pengawet yang berbahaya bagi konsumen bahkan bagi para pelaku usaha sendiri. Sebab pengawet kimia yang tidak alami dan yang berbahaya akan terakumulasi dalam produk gula merah yang dihasilkan dan tidak mengalami degradasi meskipun sudah atau saat pemasakan/ pemanasan, dan bahkan akan teroksidasi menjadi senyawa yang lebih berbahaya pada saat dipanaskan.
5. Membangun/ menata kebun (kelapa siwalan dan Aren) yang memungkinkan mutu nira bisa dikontrol dengan baik, antara lain dengan beberapa aplikasi sederhana seperti :
- a. Jembatanisasi antar pohon
- b. Pipanisasi nira
- c. Pengamanan ujung sadapan
- d. Pengelolaan penyimpanan dan pengolahan yang cepat bersih dan efisien.
- e. Dan lain-lain lagi.
1 komentar:
susah itu... soalnya memang resiko petani gula untuk sulit.
Posting Komentar