Enau Sekitar Hti Bisa Hasilkan Rp1,6 Juta Per Minggu
Enau (Arenga pinnata) atau lazim juga disebut aren, termasuk jenis palma, yang berakar kuat dan menjalar ke mana-mana, ternyata bisa hidup berdampingan dengan ekaliptus (Eucalyptus spp), tanaman pokok HTI (Hutan Tanaman Industri) TobaPulp (PT Toba Pulp Lestari,Tbk), industri pulp berbasis kehutanan di Parmaksian, kabupaten Tobasamosir, Sumatera Utara.
Pohon enau, atau dalam bahasa Batak bagot, penghasil air nira untuk dijadikan gula aren atau gula merah, dapat mendatangkan penghasilan sampai Rp1,6 juta per minggu bagi Goklen Damanik, 31, petani yang bermukim di dusun Sihapas-hapas, nagori (desa) Gorat, kecamatan Pamatang Sidamanik, kabupaten Simalungun, tidak jauh dari garis konsesi HTI TobaPulp di sektor Aeknauli.
Pohon-pohon ekaliptus muda --sebagaimana layaknya tanaman perkebunan--juga dipupuk untuk memastikannya tumbuh dengan baik dan pada usia sekitar 6 tahun sudah dapat dipanen. Rupanya, pupuk HTI itu –yang segelintir disebar secara alami oleh hujan ke luar garis konsesi— ikut ”diserap” sebagai tambahan nutrisi oleh pohon-pohon enau masyarakat.
Pohon enau menumbuhkan tandan. Setiap tandan terdiri atas 10 tangkai atau lebih. Dan setiap tangkai memiliki lebih kurang 50 butir buah hijau sampai coklat kekuningan. Buahnya tidak bisa dimakan langsung karena getahnya gatal. Hanya, hewan seperti musang luwak dan babi hutan gemar mengonsumsinya.
Kata Goklen, Kamis (14/11) ada indikator yang jelas bahwa produktivitas nira pohon-pohon enau yang berdekatan dengan HTI lebih banyak dari pohon yang berjauhan. Rasanya pun menjadi lebih manis. Ia memberi ilustrasi begini, ”Dari 30 botol air nira bisa dihasilkan 4 kg gula. Saya pernah menghasilkan 60 kg gula per minggu. Waktu itu harganya Rp28 ribu per kg. Itu sudah tergolong bagus.” Goklen seperti ingin menggambarkan kalkulasi penjualannya setara dengan Rp1,68 juta per minggu, atau Rp240 ribu per hari.
HASIL TERPENTING
Gula aren adalah salah satu hasil terpenting pohon enau. Pohon yang biasa tumbuh di lereng-lereng atau tebing sungai –-pada ketinggian 1.400 m diatas permukaan laut—ini, memang masih menghasilkan manfaat lain, misalnya pembungkus makanan (daun), sapu (lidi), atap, saringan (ijuk), obat herbal (akar), bahan pertukangan (batang), dan manisan kolang-kaling, kolak (buah).
Khusus produksi gula dari air nira, prosesnya berawal dari penyadapan tandan bunga jantan yang mulai menghamburkan serbuk sari berwarna kuning. Tandan dimemarkan lebih dulu dengan cara memukul-mukulnya selama beberapa hari. Setelah keluar cairan dari dalamnya, tandan dipotong, dan pada ujungnya digantungkan wadah –dulu lazimnya dari bambu, sekarang pakai jerigen—untuk menampung jutaan tetesan air. Cairan itulah nira atau legen atau saguer. Warnanya jernih agak keruh. Sifatnya tidak tahan lama. Karena itu wadah yang telah terisi harus segera diambil untuk diolah niranya. Biasanya dalam sehari dilakukan 2 kali pengambilan nira, pagi dan sore.
Nira dimasak sampai mengental dan menjadi gula cair. Kemudian dibentuk dalam tuangan, dan itulah gula aren. Di beberapa tempat gula cair dicampur getah nangka supaya membeku dan dapat dicetak menjadi bongkahan gula. Ada juga yang mencampurnya dengan bahan pemisah, seperti minyak kelapa, supaya nantinya terbentuk gula bubuk (kristal) yang disebut sebagai gula semut.
Selain dijadikan gula, di banyak daerah di Indonesia nira juga biasa di-fermentasi menjadi minuman beralkohol yang disebut tuak. Di daerah timur disebut juga saguer. Tuak diperoleh dengan membubuhkan satu atau beberapa macam kulit kayu atau akar-akaran (misalnya kulit kayu nirih - Xylocarpus atau sejenis manggis hutan) ke dalam nira, dan membiarkannya satu sampai beberapa malam agar berproses.
Di daerah Toba, yang umumnya berudara sejuk, hampir semua kedai minum (bahasa Batak: lapo) menyajikan tuak sebagai minuman rakyat sekaligus sebagai ciri khas. Selain menjadi tuak, nira dulu bisa dijadikan sebagai cuka. Tapi kini sudah tidak lagi dipakai oleh masyarakat, karena sudah ada cuka buatan pabrik yang lebih praktis.
Sardi Sinaga sedang memanen air nira. |
PEMBIBITAN ENAU
Peran TobaPulp dalam hal enau, selama ini, adalah melindunginya di konsesi yang tidak di-plot menjadi blok kerja HTI agar tetap dapat diambil hasilnya, serta membantu penanaman baru di luar kosesi melalui pembibitan.
Menurut Sardi Sinaga, 40, warga dusun Negeri Dolok, desa Pondok Bulu, kecamatan Dolok Panribuan, yang sudah lama menjadikan gula aren dan minuman tuak sebagai barang dagangannya, kini ada sekitar 1.500 bibit baru dalam perawatan TobaPulp, dan pada waktunya dibagikan kepada masyarakat untuk ditanam.
TobaPulp sebenarnya membeli bibit cabutan dari hutan itu dari masyarakat, untuk dirawat, antara lain dengan menyiramnya setiap hari. Pada saatnya nanti, bibit itu ditanam di lahan masyarakat, bersama-sama dengan warga. Kegiatan ini menjadi semacam re-planting (peremajaan), mengingat sebagian dari ribuan pohon enau yang masih hidup di sekitar konsesi HTI Aeknauli, sudah berusia tua. Yang menarik, hasilnya kelak, bukan untuk perusahaan, melinkan untuk masyarakat.
Bentuk dukungan TobaPulp ini, kata Sardi Sinaga, semata-mata bertujuan melestarikan –dan memperbesar populasi— sehingga secara terus-menerus masyarakat dapat ”manambang” manfaat dari pohon enau sebagai pohon kehidupan dan pohon unggulan di kawasan sekitar Danau Toba.
Buah enau yang gatal, tapi disukai oleh hewan. |
Sumber :http://www.tobapulp.com/ina/Berita/enau-sekitar-hti-bisa-hasilkan-rp1-6-juta-per-minggu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar