Selama ini Pabrik Gula (PG) masih mengandalkan tebu sebagai bahan bakunya. Sejak awal berdirinya, pemerintah kolonial Belanda pada saat itu menggalakkan tebu, bahan dengan sistem tanam paksa. Apalagi sejak ditemukannya tebu ajaib, yaitu varietas POJ 2878 yang tahan terhadap penyakit sereh pada tahun 1921 mampu mencapai produktivitas Gula Hablur (GH) 10,5 ton/ha. Kemudian meningkat lagi menjadi 15,1 ton GH per ha.
Pemerintah Kolonial Belanda semakin bersemangat lagi karena dengan gula dari daerah jajahannya inilah modal untuk membangun Negeri Kincir Angin itu. Sehingga ditemukan lagi POJ 3016 pada tahun 1940 yang mencapai produktivitas GH tertinggi, yaitu 17,63 ton/ha. Pada saat itu Indonesia yang terjajah mencapai produksi gula hablur 1,6 juta ton, dan mengekspornya sebanyak 1,1 juta ton.
Dua belas tahun setelah kemerdekaan RI, yaitu tahun 1957, Pemerintah RI mengambil alih seluruh PG yang dulunya dikuasai Belanda. Perubahan situasi, dimana tidak berlaku lagi tanam paksa menyebabkan menurunnya areal tanam tebu yaitu tingal 70-80 ribu hektar dengan produksi hanya 0,7 juta ton.
Semenjak masa Orde Baru dengan Pelita I, Pemerintah berusaha kembali menghidupkan industri gula. Maka ditemukan kemudian Varietas PS 41 pada tahun 1965 yang dapat mendongkrak produksi mencapai 1,024 juta ton, dan menaikkan produktivitas gula hablur menjadi 10,0 ton/ha. Program TRI (tebu rakyat intensifikasi) menjadi andalan baru dalam upaya menggairahkan industri gula, hingga tahun 1970 arealnya mencapai 26.714 ha.
Program TRI bisa jadi merupakan program yang memihak kepada petani, namun di pihak lain kurang menguntungkan bagi perusahaan gula yang dikelola kebanyakan oleh PTP-PTP serta perusahaan gula swasta. Terbukti pada tahun 1975 produktivitas gula hablur menurun menjadi 9,76 ton/ha, dan turun lagi menjadi hanya 6,55 ton/ha pada tahun 1980.
Meskipun sudah didirikan Dewan Gula Indonesia pada tahun 1972, keadaan pergulaan Indonesia masih belum pulih seperti pada masa kolonial Belanda dulu. Oleh karena itu PG-PG baru dibangun di luar jawa hingga tahun 1981 sampai dengan tahun 1986. Keadaan demikian membuat pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 28 tahun 1982 untuk menggairahkan indusri gula nasional, yaitu dengan menggalakkan Program TRI, Rehabilitasi PG, membangun PG di luar jawa dan perbaikan kebijakan harga gula.
Semenjak ditemukannya varietas unggul baru pada tahun 1982, yaitu F 154, PS 6, M 442-51 produksi gula nasional berangsur naik kembali. Hingga pada tahun 1987 produksi gula hablur mencapai 2,11 juta ton, dengan areal lahan tebu seluas 333.975 hektar. Keadaan ini hampir menyamai produksi nasional pada tahun 1932, namun dengan areal tanam hampir dua kali lipat, separuh diantaranya adalah di lahan kering. Karena penanaman tebu banyak di lahan kering mengakibatkan produktivitas rata-rata gula hablurnya semakin menurun yaitu hanya 6,34 ton/ha, pada angka rendemen rata-rata hanya 8,21 %.
Disisi lain ketersediaan lahan semakin bersaing dengan komoditi tanaman pangan seperti Padi, Jagung, Kedelai yang harganya semakin baik. Kebijakan ketahanan pangan membuat arah kebijakan penggunaan lahan untuk areal tebu menjadi terancam. Maka kemudian pengembangan tebu mengarah ke lahan-lahan kering.
Namun hal ini belum menyelesaikan masalah, sebab produktifitas lahan yang kurang menyebabkan keuntungan PG juga belum menggairahkan. Investasi yang sangat besar untuk membangun PG-PG baru, akan begitu lama dapat mengembalikan modalnya. Pembangunan Pabrik Gula berbasis tebu diperlukan investasi yang sangat mahal, bisa mencapai Rp 1,2 Trilyun untuk kapasitas 5000 TCD.
Data produksi tebu pada tahun 2002 menunjukkan bahwa Jawa Timur mendominasi hampir 50 % produksi tebu nasional, 33 % di luar jawa sedang sisanya di Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Barat. Karena memang PG-PG dan areal lahan tebu banyak terdapat di Jawa Timur. Lahan-lahan tebu di Jawa kebanyakan bersaing dengan komoditi tanaman pangan, karena sebagian besar ditanam diareal sawah yang beririgasi. Beda dengan lahan tebu yang di luar jawa yang kebanyakan di lahan kering.
Keadaan pergulaan yang berbasis tebu ini kelihatannya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Upaya demi upaya telah dibuat, namun kenyataannya kesuburan lahan semakin menurun, sehingga menyebabkan produktivitas lahan juga semakin menurun. Ditambah lagi semakin tuanya peralatan PG, sehingga membuat industri semakin tidak efisien.
Pabrik gula berbasis Aren, kenapa tidak ?
Kenapa harus Aren ?
Aren (Arenga pinnata, Merr.) adalah tanaman asli Indonesia, hampir di seluruh kepulauan Indonesia terdapat tanaman aren. Artinya aren memang kodratnya berada di Indonesia dan dapat mengatasi masalah-masalah yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.
Padahal prospek emas si pohon aren ini sudah sejak jaman Kerajaan Mojopahit sudah dikenal. Gula aren menjadi komoditi penting perdagangan jaman kerajaan dulu. Hingga sampai jamannya para Wali Songo sudah diisyaratkan oleh Kanjeng Sunan Bonang ketika beliau dirampok oleh Berandal Lokajaya. Konon ketika dimintai harta Kanjeng Sunan Bonang kemudian menunjuk pohon Aren yang ada di dekat Berandal Loka Jaya, dimana pohon Aren itu laksana emas yang berkilau-kilau. Buahnya berupa emas, pohonnya juga jadi emas, seluruh pohon aren tersebut berubah menjadi emas.
(Lihat selengkapnya di http://kebunaren.blogspot.com/ atau di http://www.diankusumanto.com/ ).
Aren biasanya disadap niranya. Nira aren yang manis menjadi minuman yang menyegarkan. Bisa juga diolah menjadi gula. Secara tradisional nira aren diolah menjadi gula aren, gula merah atau gula semut. Sekarang dengan kemajan teknologi nira aren bisa diolah menjadi gula hablur atau gua putih, seperti gula pasir dari tebu.
Lalu dimana keunggulan aren?
Selama ini memang aren belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan keunggulannya belum banyak yang mengetahuinya. Namun banyak petani yang sudah memanfaatkan aren yang tumbuh liar di kebun-kebun atau di sekitar hutan untuk diambl nira, ijuk, lidi, kolang-kaling dan sebagainya. Mereka belum mengeunkan secara intensif, sehingga manfaatnya pun belum maksimal diperoleh.
Aren bisa disadap niranya setiap hari dua kali. Sehari bisa terkumpul 5, 10 sampai 40 liter nira setiap pohon. Namun ada kalanya pohon aren berhenti mengeluarkan nira, karena tandan bunga yang mengeluarkan nira sudah habis teriris sadapan dan tandan yang baru belum siap disadap, maka ada masa menunggu.
Kalau dikebunkan secara intensif seperti Kelapa Sawit tentu akan memberikan hasil yang lebih tinggi lagi. Dari populasi 250 pohon per hektar, setidaknya setelah masa produktif, bisa disadap sekitar 100 pohon setiap hari. Kalau rata-rata per pohon 10 liter saja, berarti akan diperoleh nira sekitar 1.000 liter/ha/hari. Kalau dihitung setahun produksi nira menjadi 360.000 liter/ha.
Nira aren inilah yang akan diolah menjadi gula. Jika diolah menjadi gula hablur atau gula putih rendemnnya sekitar 12 %, artinya dari sehektar lahan aren akan menghasilkan 12% x 360.000 liter = 42.200 kg gula hablur per tahun. Coba bandingkan dengan tebu yang sehektarnya hanya menghasilkan gula hablur dibawah 10 ton/ha/musim. Apalagi umur tebu yang mencapai 16 bulan, maka kalau ditung dalam setahun produksinya menjadi tinggal tiga perempatnya.
Sebenarnya angka 42,2 ton/ha/tahun itu angka yang relatif rendah, karena mengambil rata-rata dari tanaman yang memang tumbuh secara alami, belum dikelola secara intensif. Oleh karena itu angka tersebut sangat aman. Inilah keunggulannya. Sehingga untuk mencapai 4,22 juta ton gula, kita hanya cukup membuka 100.000 hektar saja. Bandingkan dengan lahan tebu yang diperlukan sekitar enam kali lipatnya.
Apa ada lagi keunggulannya bila aren menjadi basis komoditi PG?
Ya, aren tidak memerlukan lahan yang datar, apalagi lahan persawahan irigasi. Tidak! Aren cukup ditanam di lahan-lahan yang miring, lahan kering, lahan di dekat alur sungai, di tebing-tebing. Artinya jika aren jadi basis komoditi PG tidak akan bersaing dengan areal tanaman pangan.
Selain itu investasi PG yang berbasis nira aren tidak semahal bila PG berbahan baku tebu. Artinya PG berbasis aren nantinya akan berupa PG-PG yang lebih mungil dan fleksibel dengan investasi yang sangat murah. Dengan demikian unit cost gula di tingkat pabrik menjadi sangat bersaing, PG menjadi sangat menguntungkan. Pekebun juga sangat diuntungkan karena produktifitas gula hablur per hektar pertahunnya sangat tinggi, jauh di atas pekebun tebu.
Petani sawah irigasi yang selama ini tertekan dengan kebijakan wajib tanam tebu, menjadi leluasa memilih tanaman yang paling menguntungkan bagi dirinya. Bisa kembali ke padi dengan 2 sampai 3 kali tanam dalam setahun. Kalau areal sawah yang digunaka tebu misalnya 200.000 hektar, berarti kalau hasil sawah 6 ton/ha dengan 3 kali tanam, akan ada tambahan produksi 3,6 juta ton GKP atau setara dengan beras sekitar 2 juta ton.
2 juta ton beras ?
Angka yang sangat fantastik pada saat kebutuhan akan pangan semakin krusial. Sebab urusan pangan menjadi sangat pelik, karena terkait dengan urusan ekonomi, moneter, sosial dan politik. Ya.. krisis yang terjadi pada tahun 1997 awalnya juga karena adanya krisis pangan, kemudian merembet-rembet ke moneter, ekonomi, politik akhirnya sampai keamanan yang menjadi tidak terjamin. Maka dengan bergesernya industri gula dari tebu ke aren, maka akan mengembalikan pamor Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Selain itu dengan dibukanya kebun Aren di daerah yang semula kosong akan menghidupkan perekonomian riil yang berdampak sangat luas di daerah tersebut. Belum lagi berdirinya PG-PG baru berbasis Aren, tentu akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Dalam sehektarnya kebun Aren diperlukan tenaga kerja sekitar 4-7 orang. Jadi seandainya akan dibuka 100.000 ha, maka tenaga yang akan terserap adalah antara 400.000 sampai 700.000 tenaga kerja. Belum lagi kebutuhan tenaga kerja pada PG-PG yang baru dibangun tersebut.
Dosa apa yang kita lakukan selama ini?
Sehingga kita baru menyadari ?
Memang seharusnya kita nggak terbelenggu oleh sisa-sisa Kolonial Belanda. Yang memperkosa petani dengan tanam paksa, yang memaksa sawah untuk padi dan tanaman lainnya ditanami tanaman imigran, yaitu tebu yang memang tidak ditakdirkan untuk memakmurkan rakyat, kaum petani Indonesia. Buktinya, mestinya dengan tebu petani semakin sejahtera. Itu tidak terjadi, yang justru semakin banyak industri gula berbasis tebu ini menciptakan buruh-buruh tani, buruh-buruh pabrik, lahan-lahan semakin berkurang kesuburannya, dsb.
Kenapa kita tidak kembali mengingat isyarat Kanjeng Sunan Bonang yang telah menunjuk si pohon Aren yang berprospek emas. Kenapa ? Kenapa ?
Ya.. seperti sebuah syair laguKang Ebiet G Ade, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang !!
Pemerintah Kolonial Belanda semakin bersemangat lagi karena dengan gula dari daerah jajahannya inilah modal untuk membangun Negeri Kincir Angin itu. Sehingga ditemukan lagi POJ 3016 pada tahun 1940 yang mencapai produktivitas GH tertinggi, yaitu 17,63 ton/ha. Pada saat itu Indonesia yang terjajah mencapai produksi gula hablur 1,6 juta ton, dan mengekspornya sebanyak 1,1 juta ton.
Dua belas tahun setelah kemerdekaan RI, yaitu tahun 1957, Pemerintah RI mengambil alih seluruh PG yang dulunya dikuasai Belanda. Perubahan situasi, dimana tidak berlaku lagi tanam paksa menyebabkan menurunnya areal tanam tebu yaitu tingal 70-80 ribu hektar dengan produksi hanya 0,7 juta ton.
Semenjak masa Orde Baru dengan Pelita I, Pemerintah berusaha kembali menghidupkan industri gula. Maka ditemukan kemudian Varietas PS 41 pada tahun 1965 yang dapat mendongkrak produksi mencapai 1,024 juta ton, dan menaikkan produktivitas gula hablur menjadi 10,0 ton/ha. Program TRI (tebu rakyat intensifikasi) menjadi andalan baru dalam upaya menggairahkan industri gula, hingga tahun 1970 arealnya mencapai 26.714 ha.
Program TRI bisa jadi merupakan program yang memihak kepada petani, namun di pihak lain kurang menguntungkan bagi perusahaan gula yang dikelola kebanyakan oleh PTP-PTP serta perusahaan gula swasta. Terbukti pada tahun 1975 produktivitas gula hablur menurun menjadi 9,76 ton/ha, dan turun lagi menjadi hanya 6,55 ton/ha pada tahun 1980.
Meskipun sudah didirikan Dewan Gula Indonesia pada tahun 1972, keadaan pergulaan Indonesia masih belum pulih seperti pada masa kolonial Belanda dulu. Oleh karena itu PG-PG baru dibangun di luar jawa hingga tahun 1981 sampai dengan tahun 1986. Keadaan demikian membuat pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 28 tahun 1982 untuk menggairahkan indusri gula nasional, yaitu dengan menggalakkan Program TRI, Rehabilitasi PG, membangun PG di luar jawa dan perbaikan kebijakan harga gula.
Semenjak ditemukannya varietas unggul baru pada tahun 1982, yaitu F 154, PS 6, M 442-51 produksi gula nasional berangsur naik kembali. Hingga pada tahun 1987 produksi gula hablur mencapai 2,11 juta ton, dengan areal lahan tebu seluas 333.975 hektar. Keadaan ini hampir menyamai produksi nasional pada tahun 1932, namun dengan areal tanam hampir dua kali lipat, separuh diantaranya adalah di lahan kering. Karena penanaman tebu banyak di lahan kering mengakibatkan produktivitas rata-rata gula hablurnya semakin menurun yaitu hanya 6,34 ton/ha, pada angka rendemen rata-rata hanya 8,21 %.
Disisi lain ketersediaan lahan semakin bersaing dengan komoditi tanaman pangan seperti Padi, Jagung, Kedelai yang harganya semakin baik. Kebijakan ketahanan pangan membuat arah kebijakan penggunaan lahan untuk areal tebu menjadi terancam. Maka kemudian pengembangan tebu mengarah ke lahan-lahan kering.
Namun hal ini belum menyelesaikan masalah, sebab produktifitas lahan yang kurang menyebabkan keuntungan PG juga belum menggairahkan. Investasi yang sangat besar untuk membangun PG-PG baru, akan begitu lama dapat mengembalikan modalnya. Pembangunan Pabrik Gula berbasis tebu diperlukan investasi yang sangat mahal, bisa mencapai Rp 1,2 Trilyun untuk kapasitas 5000 TCD.
Data produksi tebu pada tahun 2002 menunjukkan bahwa Jawa Timur mendominasi hampir 50 % produksi tebu nasional, 33 % di luar jawa sedang sisanya di Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Barat. Karena memang PG-PG dan areal lahan tebu banyak terdapat di Jawa Timur. Lahan-lahan tebu di Jawa kebanyakan bersaing dengan komoditi tanaman pangan, karena sebagian besar ditanam diareal sawah yang beririgasi. Beda dengan lahan tebu yang di luar jawa yang kebanyakan di lahan kering.
Keadaan pergulaan yang berbasis tebu ini kelihatannya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Upaya demi upaya telah dibuat, namun kenyataannya kesuburan lahan semakin menurun, sehingga menyebabkan produktivitas lahan juga semakin menurun. Ditambah lagi semakin tuanya peralatan PG, sehingga membuat industri semakin tidak efisien.
Pabrik gula berbasis Aren, kenapa tidak ?
Kenapa harus Aren ?
Aren (Arenga pinnata, Merr.) adalah tanaman asli Indonesia, hampir di seluruh kepulauan Indonesia terdapat tanaman aren. Artinya aren memang kodratnya berada di Indonesia dan dapat mengatasi masalah-masalah yang diwariskan oleh Kolonial Belanda.
Padahal prospek emas si pohon aren ini sudah sejak jaman Kerajaan Mojopahit sudah dikenal. Gula aren menjadi komoditi penting perdagangan jaman kerajaan dulu. Hingga sampai jamannya para Wali Songo sudah diisyaratkan oleh Kanjeng Sunan Bonang ketika beliau dirampok oleh Berandal Lokajaya. Konon ketika dimintai harta Kanjeng Sunan Bonang kemudian menunjuk pohon Aren yang ada di dekat Berandal Loka Jaya, dimana pohon Aren itu laksana emas yang berkilau-kilau. Buahnya berupa emas, pohonnya juga jadi emas, seluruh pohon aren tersebut berubah menjadi emas.
(Lihat selengkapnya di http://kebunaren.blogspot.com/ atau di http://www.diankusumanto.com/ ).
Aren biasanya disadap niranya. Nira aren yang manis menjadi minuman yang menyegarkan. Bisa juga diolah menjadi gula. Secara tradisional nira aren diolah menjadi gula aren, gula merah atau gula semut. Sekarang dengan kemajan teknologi nira aren bisa diolah menjadi gula hablur atau gua putih, seperti gula pasir dari tebu.
Lalu dimana keunggulan aren?
Selama ini memang aren belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan keunggulannya belum banyak yang mengetahuinya. Namun banyak petani yang sudah memanfaatkan aren yang tumbuh liar di kebun-kebun atau di sekitar hutan untuk diambl nira, ijuk, lidi, kolang-kaling dan sebagainya. Mereka belum mengeunkan secara intensif, sehingga manfaatnya pun belum maksimal diperoleh.
Aren bisa disadap niranya setiap hari dua kali. Sehari bisa terkumpul 5, 10 sampai 40 liter nira setiap pohon. Namun ada kalanya pohon aren berhenti mengeluarkan nira, karena tandan bunga yang mengeluarkan nira sudah habis teriris sadapan dan tandan yang baru belum siap disadap, maka ada masa menunggu.
Kalau dikebunkan secara intensif seperti Kelapa Sawit tentu akan memberikan hasil yang lebih tinggi lagi. Dari populasi 250 pohon per hektar, setidaknya setelah masa produktif, bisa disadap sekitar 100 pohon setiap hari. Kalau rata-rata per pohon 10 liter saja, berarti akan diperoleh nira sekitar 1.000 liter/ha/hari. Kalau dihitung setahun produksi nira menjadi 360.000 liter/ha.
Nira aren inilah yang akan diolah menjadi gula. Jika diolah menjadi gula hablur atau gula putih rendemnnya sekitar 12 %, artinya dari sehektar lahan aren akan menghasilkan 12% x 360.000 liter = 42.200 kg gula hablur per tahun. Coba bandingkan dengan tebu yang sehektarnya hanya menghasilkan gula hablur dibawah 10 ton/ha/musim. Apalagi umur tebu yang mencapai 16 bulan, maka kalau ditung dalam setahun produksinya menjadi tinggal tiga perempatnya.
Sebenarnya angka 42,2 ton/ha/tahun itu angka yang relatif rendah, karena mengambil rata-rata dari tanaman yang memang tumbuh secara alami, belum dikelola secara intensif. Oleh karena itu angka tersebut sangat aman. Inilah keunggulannya. Sehingga untuk mencapai 4,22 juta ton gula, kita hanya cukup membuka 100.000 hektar saja. Bandingkan dengan lahan tebu yang diperlukan sekitar enam kali lipatnya.
Apa ada lagi keunggulannya bila aren menjadi basis komoditi PG?
Ya, aren tidak memerlukan lahan yang datar, apalagi lahan persawahan irigasi. Tidak! Aren cukup ditanam di lahan-lahan yang miring, lahan kering, lahan di dekat alur sungai, di tebing-tebing. Artinya jika aren jadi basis komoditi PG tidak akan bersaing dengan areal tanaman pangan.
Selain itu investasi PG yang berbasis nira aren tidak semahal bila PG berbahan baku tebu. Artinya PG berbasis aren nantinya akan berupa PG-PG yang lebih mungil dan fleksibel dengan investasi yang sangat murah. Dengan demikian unit cost gula di tingkat pabrik menjadi sangat bersaing, PG menjadi sangat menguntungkan. Pekebun juga sangat diuntungkan karena produktifitas gula hablur per hektar pertahunnya sangat tinggi, jauh di atas pekebun tebu.
Petani sawah irigasi yang selama ini tertekan dengan kebijakan wajib tanam tebu, menjadi leluasa memilih tanaman yang paling menguntungkan bagi dirinya. Bisa kembali ke padi dengan 2 sampai 3 kali tanam dalam setahun. Kalau areal sawah yang digunaka tebu misalnya 200.000 hektar, berarti kalau hasil sawah 6 ton/ha dengan 3 kali tanam, akan ada tambahan produksi 3,6 juta ton GKP atau setara dengan beras sekitar 2 juta ton.
2 juta ton beras ?
Angka yang sangat fantastik pada saat kebutuhan akan pangan semakin krusial. Sebab urusan pangan menjadi sangat pelik, karena terkait dengan urusan ekonomi, moneter, sosial dan politik. Ya.. krisis yang terjadi pada tahun 1997 awalnya juga karena adanya krisis pangan, kemudian merembet-rembet ke moneter, ekonomi, politik akhirnya sampai keamanan yang menjadi tidak terjamin. Maka dengan bergesernya industri gula dari tebu ke aren, maka akan mengembalikan pamor Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Selain itu dengan dibukanya kebun Aren di daerah yang semula kosong akan menghidupkan perekonomian riil yang berdampak sangat luas di daerah tersebut. Belum lagi berdirinya PG-PG baru berbasis Aren, tentu akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Dalam sehektarnya kebun Aren diperlukan tenaga kerja sekitar 4-7 orang. Jadi seandainya akan dibuka 100.000 ha, maka tenaga yang akan terserap adalah antara 400.000 sampai 700.000 tenaga kerja. Belum lagi kebutuhan tenaga kerja pada PG-PG yang baru dibangun tersebut.
Dosa apa yang kita lakukan selama ini?
Sehingga kita baru menyadari ?
Memang seharusnya kita nggak terbelenggu oleh sisa-sisa Kolonial Belanda. Yang memperkosa petani dengan tanam paksa, yang memaksa sawah untuk padi dan tanaman lainnya ditanami tanaman imigran, yaitu tebu yang memang tidak ditakdirkan untuk memakmurkan rakyat, kaum petani Indonesia. Buktinya, mestinya dengan tebu petani semakin sejahtera. Itu tidak terjadi, yang justru semakin banyak industri gula berbasis tebu ini menciptakan buruh-buruh tani, buruh-buruh pabrik, lahan-lahan semakin berkurang kesuburannya, dsb.
Kenapa kita tidak kembali mengingat isyarat Kanjeng Sunan Bonang yang telah menunjuk si pohon Aren yang berprospek emas. Kenapa ? Kenapa ?
Ya.. seperti sebuah syair laguKang Ebiet G Ade, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang !!
1 komentar:
Mas,
Thanks ya atas artikelnya. Sdh tak posting di blog-ku. Tp link Diva's gula arennya salah tuh Mas. Yang betul http://gula-aren.blogspot.com. dan bukan http://gula_aren.blogspot.com. Tks
Posting Komentar