......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Kamis, 23 Desember 2010

MENATA INDUSTRI GULA AREN UNTUK BAHAN BAKU KECAP YANG AMAN

MENATA  INDUSTRI   GULA AREN  UNTUK  BAHAN  BAKU KECAP  YANG  AMAN

Oleh : Dian Kusumanto

                  Beberapa bulan yang lalu kita sempat dikejutkan dengan ditariknya produk Mie instan asal Indonesia di luar negeri.   Kita sebagai bangsa yang ikut bangga karena produk Indonesia sudah mendunia jadi merasakan kekhawatiran juga, meskipun toh itu persoalan intern di produsennya.  Produk yang dimaksud adalah Indomie instan yang diedarkan di Taiwan.

Taiwan memang dikenal sebagai negara yang tingkat konsumsi mie perkapitanya paling tinggi se dunia, kalau tidak salah sekitar 65 bungkus/kapita/tahun, sedangkan Indonesia mencapai 35 bungkus/kapita/tahun, lebih tinggi sdikit dibandingkan dengan negara asal mie itu sendiri yaitu China yang mencapai 34 bungkus/kapita/tahun.   Produk mie instan yang sudah mendunia itu antara lain adalah produksi Indonesia, yaitu Indomie.

Ternyata yang menjadi titik masalah bukan berasal dari bahan utama mienya, tetapi dari bumbu tambahannya yaitu kecapnya.  Memang kecap biasanya ditambahkan pada mie goreng instan, sebagai penyedap dan pembentuk warna agak gelap.   Sebenarnya bumbu kecap yang ada pada Indomie Goreng instan ini hanya sedikit saja, yaitu sekitar 4 gram, dari mie instan yang beratnya hampir 100 gram.   Namun ternyata pada kecap inilah bahan yang menjadi sebab penarikan  produk tersebut terkandung.  Dalam mi instan, bahan nipagin hanya terdapat dalam bumbu kecap yang beratnya sebesar 4 gram, sehingga kandungan nipaginnya hanya sebesar satu miligram per bungkus mi instan.

Zat pengawet yang ditengarai menjadi penyebab penarikan mie instan di Taiwan adalah Nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate.  Zat pengawet ini terdapat pada kecap yang disertakan dalam kemasan mie instan khususnya jenis mie goreng. 

" Zat pengawet nipagin digunakan dalam kecap mie instan buatan Indofood.  Tapi kalau sausnya menggunaan pengawet lain yaitu asam benzoat. Tentunya, kandungan pengawet dalam Indomie sudah memenuhi syarat aman yang ditentukan. Bahkan, kandungannya jauh sekali di bawah ambang batas yang dapat diterima tubuh untuk konsumsi sehari-hari atau ADI (Acceptable Daily Intake),"  ungkap Roy Sparingga, Deputi Keamanan Makanan Badan POM, kepada KOMPAS.com, Senin (11/10/2010).

 Penggunaan Nipagin telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988 tentang bahan tambahan pangan. Apabila dipakai dalam produk kecap, penggunaan batas maksimum adalah 250 mg per kg. Dalam makanan lain, kecuali daging, ikan dan unggas, batas maksimum penggunaan adalah 1.000 mg per kg.

 Nipagin atau metil p-hidroksibenzoat memiliki nama lain yaitu metilparaben dengan rumus kimia CH3(C6H4(OH)COO). Metilparaben adalah jenis araben yang dapat dihasilkan secara alami dan ditemukan di sejumlah buah-buahan terutama blueberry. Paraben yang banyak digunakan adalah propilparaben dan butilparaben.

Paraben secara teknis dikenal sebagai ester dari asam para-hidroksibenzoat. Bahan ini dikembangkan dari asam organik dan alkohol. Walaupun dapat dihasilkan secara alami, namun karena penggunaanya secara masal, paraben diproduksi dengan cara sintetis.

Sejauh ini belum ada bukti bahwa metilparaben dapat menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan pada konsumsi tertentu. Metilparaben juga dapat dimetabolisme oleh bakteri tanah sehingga benar-benar terurai. Metilparaben mudah diserap dari saluran pencernaan atau melalui kulit. Di dalam tubuh metilparaben dihidrolisis menjadi asam p-hidroksibenzoat dan cepat dikeluarkan tanpa akumulasi dalam tubuh.   Pada makanan, metilparaben dapat ditemukan pada produk seperti :  Kecap,  Sereal, Produk Roti, Produk Susu Beku,  Minyak dan Lemak,  Selai, Sirup, Produk Coklat dan Kakao,  Minuman Kaleng, Bumbu-bumbu Kemasan,  Produk Daging, Ikan dan Unggas.

 Dari kajian persyaratan di beberapa negara seperti Kanada, Amerika Serikat, batas maksimum nipagin dalam pangan yang diizinkan itu 1.000 mg per kg. Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimumnya dalam kecap 250 mg per kg dan di Hongkong sebesar 550 mg per kg.

Berdasarkan data Badan POM, hingga saat ini, jumlah produk mie instan yang terdaftar di Indonesia adalah 663 item jenis dalam negeri dan 466 item jenis luar negeri.

Rupanya tidak hanya mi instan saja yang tak bisa masuk Taiwan lantaran mengandung bahan pengawet, tapi gula merah dan permen merek tertentu dari Indonesia juga dilarang masuk Taiwan. Tudingannya sama saja, yaitu mengandung bahan berbahaya.

“Untuk gula merah ditemukan mengandung pemutih, sehingga tidak bisa masuk Tiawan,” kata Bambang Mulyatno, Kepala Bidang Perdagangan, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) untuk Taipei di sela-sela rapat kerja di komisi VI DRP RI di Jakarta, Senin (11/10). Adapun untuk permen, pihak Departemen Kesehatan Taiwan juga menemukan adanya bahan berbahaya yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan.  Temuan kandungan pemutih pada gula merah dan permen yang bermasalah tersebut pernah terjadi sebelumnya.

Kalau kita amati apa saja komposisi pada Indomie “Mi Goreng Kriuuk.. 8x pedas” yang ada di pasaran, adalah sebagai berikut;

MI : Tepung terigu, minyak sayur, tepung tapioka, garam, pengatur keasaman, pemantap, mineral (zat besi), anti oksidan (TBHQ), pewarna makanan (Tartrazin Cl 19140).

BUMBU :  Gula, garam, penguat rasa mononatrium glutamat (MSG), cabe merah kering, perisa ayam, bubuk bawang putih, bubuk bawang merah,bubuk lada dan vitamin (A, B1, B6, B12, Niasin, Asam Folat, Pantotenat).

MINYAK :  Minyak sayur, cabe merah, bawang merah dan bawang putih.

KECAP MANIS : Gula, air, garam, kedelai, dan pengawet (natrium benzoat, metil p-hidroksibenzoat).

SAUS CABE : Cabe, gula, garam, rempah-rempah, pengental dan pengawet (natrium benzoat).

 Di setiap negara, batas maksimum pemakaian metil p-hidroksibenzoat atau nipagin atau metilparaben berbeda-beda. Di Kanada dan Amerika Serikat, batas maksimum penggunaan nipagin dalam pangan yang diijinkan adalah 1000 mg/kg. Sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimum penggunaan adalah 250 mg/kg dan di Hongkong sebesar 550 mg/kg. Di Indonesia, batas maksimum penggunaan yang diijinkan adalah 250 mg/kg.


Gula merah dalam komposisi kecap

Seperti kita ketahui, kecap (yang manis bukan kecap asin) biasa dibuat dari aneka bahan nabati yang berasal dari kacang-kacangan, bumbu rempah maupun bahan yang mengandung protein hewani, dan yang paling dominan adalah gula merah.   Gula merah dalam pembuatan kecap ini bisa berasal dari gula kelapa, gula merah dari tebu, gula merah dari siwalan atau gula merah dari Aren alias gula Aren.  Gula merah sebagai komponen utama pembuatan kecap digunakan dalam jumlah lebih dari 60 % bahan.

Di bawah ini disajikan perbandingan komposisi bahan utama pembuatan kecap dari berbagai jenis kecap yang berasal dari berbagai sumber.

No.

Jenis Kecap

Gula Merah

Kedelai

Bahan utama lainnya

Air

1.

Kecap Manis

(idea_boedi)

2 kg

0,5 kg (kedelai hitam)

-

4 liter

2.

Kecap Manis  Air kelapa (Tabloid Lezat)

0,6 kg

-

Air Kelapa  4 liter

-

3.

 Kecap Manis

6 kg

1 kg (kedelai hitam/putih)

0,8 kg garam

5,5 liter

4.

Kecap Air Kelapa (LIPI)

0,8 kg

0,2 kg kedelai bubuk

Air kelapa 2 liter,

keluwek 0,12 kg

-

(Diolah dari berbagai sumber oleh Aren Foundation 2010)


Kecap Manis dalam kemasan botol gelas

Lalu dimana letak masalahnya??

Letak masalahnya ada pada produsen gula merah yang kebanyakan adalah para perajin kecil yang kurang memperhatikan atau tidak mempedulikan mutu hasil dari gula merah itu.   Lalu dimana letak kesalahannya?   Ya, karena konsumen dalam hal ini pengguna produk (Indofood) belum sepenuhnya bisa mengontrol mutu gula merah dari para pemasoknya.   Para pemasok gula merah ini mengandalkan sebagian besar produk gula merah dari para perajin-perajin kecil yang jumlahnya sangat banyak itu.    Dapat dikatakan bahwa titik pangkat masalah itu bertumpu pada para produsen gula merah alias para perajin sekaligus penderes atau penyadap untuk gula merah, baik dari tanaman kelapa maupun aren.

Perajin Gula Merah Tradisional

Kalau kita coba untuk mengurai masalahnya, maka beberapa hal di bawah ini bisa jadi merupakan penyebabnya, yaitu antara lain :

1.       Mutu nira yang cenderung cepat menurun karena cepat mengalami fermentasi , sehingga para perajin/ penderes cenderung menggunakan bahan pengawet nira yang berlebihan atau tidak terukur.

Kapur gamping sering digunakan sebagai bahan pengawet Nira oleh para Perajin dengan diberikan pada wadah penampung Nira yang berada di atas pohon

2.       Cepat menurunnya mutu nira atau terjadinya fermentasi yang terjadi karena system penyadapan belum dilakukan secara baik dan steril, wadah penampungan kotor dan tidak steril, kebersihan wadah, pohon dan alat belum terjamin, serta perajin belum paham.

3.       Pola penampungan nira di atas pohon yang memperlambat/memperlama/ mempersulit system kerja perajin.

4.       Jarak antar pohon yang  produktif tidak beraturan atau saling berjauhan dengan tempat penampungan dan pengolahan nira menjadi gula.

5.       Atau secara keseluruhan adalah pola kerja perajin yang belum standard serta keadaan kebun yang belum teratur dan peralatan pemungutan nira, penampungan dan pengolahannya yang masih sangat sederhana.

6.       Bisa dikatakan juga bahwa bentuk-bentuk kemitraan yang ada masih lemah sehingga belum bisa berfungsi efektif pada control mutu gula merah tersebut.

Untuk memperbaiki mutu gula merah yang memenuhi standard sehingga aman untuk berbagai kebutuhan, khususnya dalam hal ini  sebagai bahan baku utama dari kecap, maka perlu dilakukan penataan dan pembenahan serta perbaikan seluruh systemnya.   Menurut saya beberapa hal di bawah ini jika dilakukan akan dapat mengangkat citra gula merah Indonesia lebih baik lagi, upaya dimaksud antara lain :

1.       Membangun pola kemitraan pra produksi, produksi sampai pemasaran gula merah (Aren) yang bisa mengontrol mutu gula merah sesuai standard yang ditetapkan.

2.       Membangun atau memperbaiki system industry gula rakyat  sehingga bisa bekerja sesuai SOP yang sudah disepakati, yang aman sesuai standard yang diharapkan.

3.       Pembinaan kepada para perajin gula merah secara terus menerus yang dilakukan oleh Pemerintah/ Mitra kerja/ pihak-pihak LSM kepada para pelaku usaha.

4.       Meminimalkan bahkan meniadakan penggunaan pengawet yang berbahaya bagi konsumen bahkan bagi para pelaku usaha sendiri.   Sebab pengawet kimia yang tidak alami dan yang berbahaya akan terakumulasi dalam produk gula merah yang dihasilkan dan tidak mengalami degradasi meskipun sudah atau saat pemasakan/ pemanasan, dan bahkan akan teroksidasi menjadi senyawa yang lebih berbahaya pada saat dipanaskan.

5.       Membangun/ menata kebun (kelapa siwalan dan Aren) yang memungkinkan mutu nira bisa dikontrol dengan baik, antara lain dengan beberapa aplikasi sederhana seperti :

  • a.       Jembatanisasi antar pohon
  • b.      Pipanisasi nira
  • c.       Pengamanan ujung sadapan
  • d.      Pengelolaan penyimpanan dan pengolahan yang cepat bersih dan efisien.
  • e.      Dan lain-lain lagi.

 Bagaimana menurut Anda???


Senin, 20 Desember 2010

Teknologi Membran untuk Produktifitas dan Efisiensi Industri Gula

Teknologi Membran untuk Produktifitas dan Efisiensi Industri Gula

Oleh : Wisnu EN 

Teknologi proses produksi gula yang digunakan di sebagian besar pabrik gula di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun, sedangkan komponen biaya produksi semakin meningkat. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktifitas dan efisensi proses produksi industri gula. 

Usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi proses secara umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : menekan kuantitas kehilangan sukrosa dan menghilangkan kontaminasi non sukrosa semaksimal mungkin. 

Tahapan proses pemurnian nira merupakan tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan cara sulfitasi dimana impuriti dipisahkan dengan penambahan susu kapur dan asam fosfat pada temperatur tertentu yang dilanjutkan dengan penambahan gas belerang. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtrasi hampa. Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan sukrosa. 

Teknologi memban yang saat ini sedang dikembangkan di berbagai negara sangat memiliki peran yang penting dalam industri. Teknologi membran tidak hanya berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai indutri, namun juga telah berhasil untuk memecahkan persoalan pemisahan massa dimana teknik konvensional tidak berhasil atau sangat mahal biaya operasionalnya. Teknologi membran dipercaya dapat memisahkan padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna, protein, jamur, dan bakteri. 

Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan, karena itu teknologi membran mempunyai potensi yang sangat besar untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi gula. 

Selain untuk proses pemisahan, penggunaan teknologi membran memungkinkan langkah diversifikasi produk berbasis gula atau turunan gula yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti alkohol absolut, laktosukrosa, enzim dan turunan gula lain. 

Pemurnian Nira dengan Ultrafikasi 

Ultrafikasi (UF) merupakan proses pemisahan dengan teknologi membran berdasarkan beda tekanan yang telah diketahui memiliki rentang aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi, biomedikal, pengolahan limbah cair, serta di berbagai industri makanan. Konsumsi energi teknologi ini sangat rendah dengan tingkat kemurnian produk yang tinggi dan ramah lingkungan. 

Para ahli telah melakukan penelitian tentang penggunaan membran untuk pemisahan nira dengan hasil sebagai berikut : (1) Pengotor-pengotor non gula dengan berat molekul rendah dan air dapat terpisahkan dari gula (Zanto, dkk). (2) Menghasilakan juice dengan kemurnian yang tinggi, intensitas warna yang rendah serta bebas pati dan partikel-partikel yang tidak mudah terlarut (Kishihara, dkk). (3) Mampu mereduksi 67% zat warna dan 47% partikel non gula, penurunan viskositas 20% (Day). (4) Campuran nira dan larutan kapur dingin hasil defekasi sangat efisien dipisahkan dengan ultrafikasi pada pH 7,2 (Madsen). 

Walaupun proses pemurnian nira untuk industri gula masih dalam tahap wacana dan uji coba, namun di berbagai literatur unjuk kerja membran untuk clarified juice skala industri menunjukkan peningkatan kemurnian hingga 95%, penyisihan dextran 98%, pati 70%, total polisakarida 80%, dan warna 14%, serta penurunan viskositas 25%. 

Dengan demikian sangat jelas bahwa teknologi membran dapat memisahkan padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut berberat molekul tinggi seperti polisakarida, warna dan protein, serta bakteri dan jamur. Pemisahan kotoran ditentukan oleh ukuran pori dari membran yang digunakan, mulai dari 0,45 µm hingga 0,2 µm (mikrofiltrasi). 

Reverse Osmosis (RO) untuk Pemekatan Nira 

Pemekatan nira ditujukan untuk meningkatkan konsentrasi nira dari 13-16 Bx menjadi 55-65 Bx agar gula dapat dikristalkan yang biasa dilakukan dengan menguapkan sebagian besar air yang ada pada nira pada tekanan hampa dan temperatur rendah. 

RO merupakan proses berbasis membran dengan gaya dorong tekanan, biasa digunakan untuk pemisahan zat terlarut dari pelarutnya dengan memberikan tekanan di atas tekanan osmotiknya. 

Dari kajian yang telah dilakukan, aplikasi teknologi RO untuk peningkatan konsentrasi 20 Bx dapat mengurangi beban evaporasi sekitas 50% sehingga konsumsi energi dapat ditekan. Selain itu beberapa keuntungan lain penggunaan RO adalah : 

1. Kebutuhan energi rendah karena tidak terjadi perubahan fase.

2. Temperatur operasi rendah sehingga dapat mengurangi kerusakan gula.

3. Perancangan sistem sederhana.


Sumber : http://ikagisumatera.com/artikel/artikel2.htm