......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Kamis, 27 Agustus 2009

MENYONGSONG HADIRNYA AREN DAN LENGSERNYA TEBU DARI TAHTA INDUSTRI GULA NASIONAL


MENYONGSONG HADIRNYA AREN DAN LENGSERNYA TEBU DARI TAHTA INDUSTRI GULA NASIONAL

Oleh : Dian Kusumanto
 

Pada edisi 17-23 Juni 2009 No. 3308 Tahun ke 39, Tabloid Sinar Tani memuat tulisan mengenai Gula dengan judul “Rendemen Naik, Produksi Gula Meningkat”. Ada salah satu alinea menyebutkan bahwa, Pemerintah berencana membuka perkebunan tebu, pabrik gula baru dan industri berbasis tebu di beberapa daerah.  

(Foto kiri : Bapak Presiden SBY sedang meresmikan Pabrik Gula Baru; Kanan : Bapak Ahmad Manggabarani, Dirjen Perkebunan DEPTAN)

Pada tulisan tersebut Dirjen Perkebunan Deptan, Bapak Ahmad Manggabarani juga mengatakan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan Indonesia menjadi eksportir Gula pada tahun 2014 mendatang. Selama tahun 2009 ini, Indonesia sudah memenuhi sepenuhnya kebutuhan atas swasembada gula kristal putih untuk konsumsi dan sudah menghentikan impor.  


Bapak Dirjenbun juga melaporkan bahwa luas areal perkebunan tebu bertambah dari 427.178 hektar pada tahun 2007 menjadi 441.318 hektar pada tahun 2009. Produksi tebu naik dari 33,066 juta ton tahun 2007 menjadi 34,756 juta ton pada tahun 2009. Sedangkan produktivitas tebu berhasil ditingkatkan dari 77,4 ton/ha menjadi 78,8 ton/ha.

Pada tahun 2008 yang lalu saya juga pernah menulis tentang hal semacam ini dengan judul ”Pabrik Gula Berbasis Aren, Kenapa Tidak? Adalah berawal dari repotnya Pemerintah kita yang memaksakan diri untuk tetap menjadikan tebu sebagai harapan utama produksi Gula Indonesia. Ibarat makan Buah Simalakama, susah sekali menggantikan tebu sebagai bahan baku pabrik gula kita. Pemerintah seolah tidak berniat mencari solusi atau alternatif bahan baku gula selain tebu.

Mari kita coba untuk menghitung dan menimbang kelayakan tebu sebagai andalan gula Indonesia. Pertama dari sisi produktivitas yang rata-rata hanya mencapai 78,8 ton/ha, taruh kata rendemennya mencapai 10%, maka gula yang diperoleh hanya sekitar 7,88 ton/ha/musim. Padahal rendemen gula kita sangat sulit sekali mencapai angka dua digit itu, paling-paling hanya sekitar 8 - 9 %. Jadi hanya menghasilkan gula antara 6 – 7 ton/ha/musim.

Upaya-upaya sudah terlalu banyak dilakukan, hasil-hasil penelitian juga yang mana lagi yang belum dijalankan. Semua untuk mendongkrak produktivitas tebu menjadi naik dan berproduksi tinggi. Namun sampai sekarang masih belum mampu merubah keadaan, ternyata produktivitas tebu malah semakin menurun. Padahal pada jaman Kolonial dulu sekitar tahun 1930-an produktivitas tebu mencapai puncaknya yaitu sebesar 17 ton gula/hektar/musim.

Waktu itu memang bisa terjadi karena dengan tanam paksa, pihak kolonial bisa memaksakan untuk menanam tebu di lahan-lahan sawah nomor satu, di lahan-lahan yang paling subur, kalau perlu penanaman padi dialihkan dulu dan dipentingkan tanaman tebu. Maka wajar saja pada era itu Belanda menikmati hasil yang sangat besar dari Gula yang berbasis tebu, sehingga mereka bisa membiayai perang, membangun negerinya dengan memeras tebu untuk menjadi gula. Namun tidak hanya tebu yang diperas, lahan-lahan sawah kita yang dulu subur makmur diperasnya, tenaga-tenaga petani kita juga diperas dengan kerja paksa. Memang penjajah Belanda sangat kurang ajar!!!  

Sepeninggal kolonialisme Belanda industri dan perkebunan tebu diambil alih oleh Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh BUMN bidang perkebunan tebu dan pabrik gula. Pengambilalihan secara penuh baru selesai pada tahun 1950-an, yaitu tepatnya 1957, pada hal kita merdeka pada 17 Agustus 1945, jadi baru setelah 12 tahun dari kemerdekaan kita baru bisa mengambilnya.

(Foto : Pabrik Gula berbasis Tebu)

Yang kedua tebu juga mengambil alih lahan pangan yang lain. Sampai sekarang pun lahan-lahan tebu ini masing saling bersaing dengan tanaman pangan, yaitu dengan sawah-sawah yang mestinya ditanami padi dan palawija, di lahan-lahan kering atau tegalan yang juga biasa ditanami sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan bahkan buah-buahan. Jadi lahan tebu yang 441.318 hektar tadi secara nasional, sebenarnya seluruhnya bersaing dengan lahan tanaman pangan lainnya.

Maksud saya begini, seandainya tanaman Aren bisa menggantikan peran tebu untuk memenuhi kebutuhan dan produksi gula selama ini, maka lahan-lahan tadi yang luasnya hampir 450 ribu hektar bisa ditanamai tanaman pangan, seperti padi, palawija, kacang-kacangan, sayuran dan tanaman pangan lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan tebu.  

Seandainya setiap hektar lahan dalam satu tahun dapat ditanami padi dua musim dan satu musim palawija dengan hasil misalnya 6 ton beras dan 4 ton jagung, maka ada bahan pangan tambahan dari 450 hektar, yaitu 2,7 ton beras dan 1,8 juta ton jagung. Ini peluang yang sangat berarti untuk mendukung kecukupan pangan dan bahan baku pakan dan mengurangi ketergantungan impor bahan pangan dan pakan.

Dari sisi petani pun penerimaan dari usaha tani tebu juga sudah kalah dengan komoditi pangan lainnya. Hanya untuk petani yang tidak punya modal, pilihan yang paling mudah adalah menyerahkannya kepada pihak lain untuk ditanami tebu, dan nanti petani tinggal mendapatkan hasilnya meskipun tidak seberapa. Kalau untuk usaha tani komoditi lain sendiri modal kurang, walaupun hasilnya memang lebih tinggi. Keadaan inilah yang banyak dialami oleh petan sehingga harus menyerahkan lahannya pada pihak perkebunan tebu dan pabrik gula atau KUD-KUD. Sebenarnya kalau petani punya modal dan tenaga dalam usaha tani mereka pasti memilih komoditi lain yang lebih menguntungkan.  

Lalu apa Aren bisa diolah menjadi gula putih? Untuk yang hal ini Saudara saya Bapak Slamet Sulaiman sudah membuktikan dengan alat mesin pabrik gula mininya. Pabrik gula mini dengan bahan baku nira aren sudah dibangun antara lain di Minahasa Selatan. Uji coba untuk menghasilkan gula putih telah berhasil dilakukannya. Artinya tidak masalah seandainya nira aren diolah menjadi gula putih.

Namun secara perhitungan sebenarnya tidak menguntungkan sebab untuk mengolah gula menjadi putih memerlukan bahan yang lebih banyak, siklus proses yang lebih panjang dan lebih rumit. Dengan demikian biaya produksi jauh lebih tinggi, nilai rasio konversi bahan baku menjadi produk jadi lebih kecil. Dilihat dari harga jual juga tidak jauh berbeda antara gula putih dan gula merah tradisional. Namun kalau gula putih pangsa pasarnya sangat besar dan seolah tidak terbatas, karena selama ini memang kebutuhan gula didominasi oleh gula putih.

Berbeda dengan gula merah atau brown sugar dari tanaman palma, yang selama ini belum menjadi produk massal dunia karena keragaman produknya sangat luas dan terbuka. Nilai jualnya juga sangat beragam harganya. Seolah harga dapat diciptakan sedemikian rupa tergantung pada pemilik brand atau merek. Karena memang pangsa pasarnya juga belum luas.

Berbeda dengan Gula dari pohon Maple. Di Negara aslinya Canada dan Amerika bagian utara, gula tersedia kebanyakan dalam bentuk cair, berupa syrup dari pohon Maple, atau sering disebut sebagai Maple Syrup. Di sana justru gula putih kalah populer dengan Maple Syrup. Gula putih yang berasal dari tebu dianggap gula tingkat rendah, yang kurang nilai gizinya. Bahkan gula putih dianggap biangnya penyakit diabetes di seluruh dunia. Oleh karena itu mereka lebih memilih Maple Syrup dari pada Gula Putih yang asalnya dari Brazil itu. 

Trend beralihnya pola konsumsi gula dari gula putih hablur ke gula berbentuk cair atau syrup sudah terjadi di luar negeri. Jepang, Korea, Eropa seperti Belanda dan Jerman juga sudah lama mengevolusi pola konsumsi gulanya. Di dalam negeri sendiri sebenarnya juga sudah lama terjadi, khususnya pada industri makanan dan minuman. Maka lambat atau cepat trend itu akan terjadi, artinya kita harus mengantisipasinya dengan penyiapan industri gula palma kita juga mengarah ke gula cair atau Sugar Palem Syrup, Coconut Sugar Syrup dll.

Kalau dilihat potensinya sebenarnya Aren yang punya peluang besar menggantikan peran tebu sebagai bahan baku Gula atau bahan pemanis. Sebab Aren memiliki produktifitas paling hebat, paling tinggi dalam menghasilkan Gula. Dalam setiap hektarnya Aren bisa menghasilkan Gula sampai 77 ton per/tahun/hektar. Bagaimana bisa terjadi ? Uraiannya sebagai berikut :
a. Dalam satu hektar ditanam 200 pohon Aren.
b. Setelah 6-7 tahun dapat dipanen air nira dari sekitar 75 % populasi pohon, atau 150 pohon. Atau ada 25 % pohon yang beristirahat menghasilkan nira.
c. Jika produksi nira rata-rata adalah 10 liter/phon/hari, maka nira yang dihasilkan adalah 10 liter/pohon x 150 pohon/ha = 1.500 liter/hektar/hari.
d. Jika untuk membuat gula 1 kg diperlukan nira 7 liter, maka jika semua nira diolah akan menjadi gula sebanyak : 1.500 liter/ha/hari : 7 liter/kg = 214,3 kg/hektar/hari.  
e. Produktivitas Gula dari setiap hektar kebun Aren adalah :
Setiap hari : 214,3 kg/hari;
Setiap bulan : 6.428,6 kg/bulan;
 Setiap tahun : 77.142,8 kg/tahun; atau 77 ton/tahun.

Keunggulan tidak hanya pada aspek produktivitas, sebagaimana hitungan di atas, tapi juga banyak keuntungan-keuntungan di aspek yang lain, yaitu :
a. Dengan menggantikan tebu dengan Aren, maka lahan yang diperlukanlebih sedikit (seper sepuluhnya) kita sudah dapat memenuhi swasembada gula nasional.
b. Kontinyuitas produksi pabrik berjalan sepanjang tahun, dan pabrik tidak ada masa istirahat karena bahan baku tersedia secara koninyu setiap hari sepanjang tahun. Pada Pabrik Gula berbasis Tebu biasanya hanya beroperasi selama sekitar 150 hari atau 5 bulan dalam setahun, berarti 7 tahun pabrik tidak beroperasi.
c. Biaya investasi pembangunan pabrik gula berbasis Aren jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrik gula berbasis tebu. Bahkan seandainya Pabrik besar belum dibangun pun, industri gula rakyat sudah bisa mengatasi masalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan masyarakat.
d. Lahan tanaman tebu sekarang juga sangat bersaing dengan tanaman pangan. Maka di era dimana ketahanan pangan menjadi prioritas baik karena program pemerintah, atau permintaan pasar yang terus meningkat. Maka cepat atau lambat komoditi Tebu diperkirakan akan terdesak oleh dorongan ekonomis dan politis yang semakin kuat.
e. Beda dengan tanaman Aren yang sangat fleksibel, bisa ditanam di lahan-lahan miring, lereng lereng bukit, tepi-tepi sungai, daerah bekas hutan yang ditinggalkan, atau lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif. Maka dengan kehadiran tanaman Aren bisa menjadikan lahan lebih produktif dan berfungsi ganda sebagai penyelamat linkungan dan pencegah longsor.  
f. Dll.

Jadi tinggal kemauan dan kesadaran politik saja yang akan merubah kebijakan industri gula nasional ini berhijrah dari yang semula berbahan baku tebu ke arah pada pabrik gula berbasis perkebunan Aren. Maka sebelum terjadi keterpaksaan dalam merubah kebijakan tersebut, sebaiknya dengan sadar para penentu kebijakan itu mengambil tongkat komando untuk secara bertahap menyiapkan lengsernya tebu dalam tahta industri pergulaan nasional. Dan segera menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong perkebunan Aren yang tampil dalam tahta tertinggi industri gula nasional kita.

Syaefurrahman Al-Banjary : Brosur GERTAK 2015




GERTAK 2015

GERAKAN TANAM AREN UNTUK KESEJAHTERAAN

Oleh : KMDM
  Komunitas Masyarakat Desa Mandiri
  Jl. Pengairan 26 Benhil Jakarta 0811872356
  

Latar belakang

Pohon Aren di Jawa selama ini hanya dimanfaatkan sebagai minuman legen yang dijual dengan bumbung-bumbung bambu keliling kampung, buahnya dibuat kolang-kaling dan isi batangnya sebagai gelang untuk makanan itik. 
Sesungguhnya nira atau di Jawa disebut badeg dari Aren merupakan sumber gula, dan sumber energi yang sangat baik. Karena itu pengembangan Aren untuk kemajuan energi dan gula menjadi sangat dianjurkan. 
Menteri Kehutanan MS Kaban sempat geram, mengapa tanaman Aren tidak segera dikembangkan. Ketua Umum HKTI Prabowo Subianto juga berkali-kali menyatakan bahwa Aren menjadi satu alternatif pengembangan energi ke depan. Karena itu Prabowo akan membuka 4 juta kebun aren yang mampu mempekerjakan 24 juta orang.
Atas dasar inilah, komunitas masyarakat desa mandiri (KMDM) bermaksud menggerakkan warga menanam Aren. Satu desa, minimal ada 40 orang warga menanam Aren di kebunnya sebanyak 10 hingga 20 pohon. Satu kecamatan ada 10 desa, dan satu kabupaten minimal 10 kecamatan. Total 1 kabupaten 80.000 pohon. Gerakan ini dimulai dari Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga dan Kebumen. Kabupaten lainnya segera menyusul.

Tujuan

Gerakan Tanam Aren Untuk Kesejahteraan (Gertak 2015) adalah ikhtiar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pada tahun 2015, bersamaan dengan target MDGs yang berusaha mengakhiri setengah kemiskinan dunia pada tahun 2015. Jika sekarang dimulai maka tahun 2015 petani penanam pohon Aren sudah bisa menikmati hasilnya. Mereka sudah meningkat penghasilannya minimal Rp6 juta perbulan. 
Tujuan lain adalah menyediakan bahan energi alternative, bahan gula, bio etanol, dll.
Tiap desa memiliki kelompok penanam Aren, yang selalu mengadakan pertemuan rutin untuk diskusi, dan pembelajaran, menyangkut urusan muamalah dengan sesama manusia, dengan alam, dan penciptanya.

 
Hasil menggiurkan

Jika setelah 5 atau 6 tahun tumbuh, pohon Aren dapat disadap. Setiap hari dari 10 pohon dapat menghasilkan nira (badeg) sekitar 15 liter, bahkan Aren bibit unggul ada yang mencapai 30 – 40 liter perhari. Katakanlah satu pohon dapat 15 liter, maka dari 10 pohon dapat 150 liter nira perhari. Harga nira saat ini sebesar Rp2000, sehingga kalau 150 liter maka hasilnya Rp300,000 perhari. Dalam satu bulan Rp9 juta. Jika 150 liter nira itu dibuat gula, akan menghasilkan Rp 40 kg. Dengan harga Rp9 ribu perkilogram gula Aren, maka hasilnya Rp360.000 perhari atau Rp 10.800.000 perbulan.

Bibit aren

Menanam pohon Aren sesungguhnya tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus (Hatta-Sunanto, 1982) sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah liat, berlumur dan berpasir, tetapi aren tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya tinggi (pH tanah terlalu asam). Aren dapat tumbuh pada ketinggian 9 – 1.400 meter di atas permukaan laut. Namun yang paling baik pertumbuhannya pada ketinggian 500 – 800 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun atau pada iklim sedang dan basah
Batang pohon Aren yang baik harus besar dengan pelepah daun merunduk dan rimbun 
Sampai saat ini tanaman Aren yang tumbuh dilapangan dikategorikan dalam 2 aksesi yaitu Aren Genjah (pohon agak kecil dan pendek) dengan produksi nira antara 10 -15 liter/tandan/hari, dan Aren Dalam (pohon besar dan tinggi) dengan produksi nira 20 – 30 liter/tandan/hari. Untuk pohon induk dianjurkan adalah aksesi Dalam.

Gerakan 20 pohon

Menanam Aren memerlukan kesabaran untuk tidak segera berharap panen, karena usia aren baru bisa keluar bunga atau manggarnya untuk diambil niranya setelah umur lima atau enam tahun. Namun jika tidak dimulai sekarang, maka tidak ada waktu lagi untuk menundanya sementara energi kita makin habis. Tingkat kebutuhan hidup kita juga makin banyak dan kalau tidak dimulai sekarang menanam Aren, maka lima atau enam tahun mendatang tidak akan menghasilkan apa-apa.
Oleh karena itu program komunitas masyarakat desa mandiri (KMDM) mengkhususkan pada gerakan menanam minimal 20 pohon Aren perorang. Dalam satu desa mimimal ada 40 orang yang menanam aren, sehingga satu desa diharapkan terdapat 800 pohon setara dengan lahan 4 hektar (satu hektar 200 pohon). Penanaman tidak harus di tanah khusus, bisa juga di kebun-kebun, asalkan dirawat dengan baik, sehingga dapat hasil baik.
Diharapkan, setelah lima atau enam tahun mendatang, pemilik pohon Aren, akan memiliki penghasilan melebihi saat ini. Kalau saat ini saja anda panen Aren dari 10 pohon saja, sudah mendapat penghasilan antara Rp 9 hingga Rp 11 juta perbulan. MAU?

Mekanisme Gerakan

Setiap orang yang setuju dengan penanaman aren akan menjadi anggota komunitas. Mereka akan mendaftar dan menyediakan lahan baik di kebun maupun di ladang milik sendiri untuk ditanami minimal 10 – 20 pohon. 
Pihak organisasi menyiapkan bibitnya, pupuk dan mengelola hasilnya. Sedangkan pihak anggota berkewajiban menanam dan mengamankannya. Hasilnya dibagi dua, 50 persen untuk anggota dan 50 persen untuk organisasi. Hasil bisa dijual dalam bentuk nira kepada organisasi, bisa juga dalam bentuk gula. Organisasi ini bentuknya Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa yang anggotanya juga mereka, sehingga keuntungan kembali ke mereka juga.

Berbagai produk dari aren: gula semut, syrup, bio etanol, dll (sumber: kebunaren.blogspot.com)




Jika Anda bermaksud menjadi anggota komunitas, silakan mendaftar dengan mengisi formulir berikut:

Nama Lengkap : …………………………….
Tanggal Lahir : ……………………………
Jenis Kelamin : ……………………………
Pekerjaan : ……………………………
Alamat : ...................……………………………
: Desa ………..........……………………
  : Kecamatan ……………………………
  : Kabupaten ……………………………
Nomor telepon/HP : ……………………………
Luas Tanah : ……………………………
Jumlah bibit : …………………………..

Pendaftaran ini dilandasi kesadaran bersama, perlunya mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan kemandirian energi di masa mendatang berdasarkan kearifan lokal.
…………………….., 2009




( ……………………………. )


(Dikirim oleh : Syaefurrahman Al-Banjary)

Selasa, 04 Agustus 2009

MENGELOLA POTENSI KENGGULAN DAN KEMERDEKAAN MENUJU KESEJAHTERAAN




MENGELOLA POTENSI KENGGULAN DAN KEMERDEKAAN MENUJU KESEJAHTERAAN

Oleh : Dian Kusumanto

Angka 4 juta hektar memang sangat ’mengerikan’. Ada teman yang bilang, ”ngerii..nggaak..!!”. Pencetus angka 4 juta hektar Aren adalah Bapak Prabowo Subianto, pendiri Partai Gerindra, Ketua HKTI, Ketua para Pedagang Pasar Tradisional, seorang Purnawirawan militer dan seorang Calon Presiden. Pada tulisan yang lalu saya menyebut beliau sebagai ”Proklamator Revolusi Aren Indonesia”, ya... karena dari beliaulah angka 4 juta hektar itu.

Memang potensi lahan kita masih sangat luas, banyak lahan-lahan yang kritis, tidak produktif. Banyak hutan-hutan yang sudah gundul, yang sudah tidak memberikan kontribusi proporsional kepada negara dan masyarakat. Selama ini kita belum berdaya untuk bisa memanfaatkannya menjadi produktif dan memberi kontribusi terhadap masalah masalah yang dihadapi bangsa dan masyarakat. Potensi itu masih terbiarkan, masih disia-siakan, belum disyukuri sebagaimana mestinya. Syukur atas anugerah Illahi akan kemerdekaan, akan potensi yang besar. Namun seolah-olah bangsa kita ini tidak merdeka mengatur sendiri potensi besarnya, bahkan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa sendiri.

Ada teman yang bilang, kita baru diantar pada pintu gebang kemerdekaan, hanya di pintu gerbangnya, belum sampai kepada tempat yang penuh dengan kemerdekaan. Harusnya selama 64 tahun Indonesia merdeka, bangsa dan masyarakat kita juga sudah merdeka dan sangat maju. Tetapi itu belum terjadi. Ya.. sebabnya antara lain, kita masih terkotak-kotak, terutama dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada.

Visi nasional kita masih kabur, masih dipahami secara berbeda-beda, masih ditutupi oleh interes-interes pemikiran yang beragam, baik oleh sikap premordialisme, bisnis kelompok dan individual, keuntungan sesaat, sikap-sikap parsial kedaerahan, borok-borok mental korup pejabat, dll.

Di benak kita bangsa Indonesia dipenuhi oleh informasi-informasi yang kontra produktif, sehingga pemikiran dan konsep yang bagus pada awalnya kemudian memasuki tahap selanjutnya seolah-olah memasuki ’wilayah yang kacau’, sehingga kemudian konsep yang bagus tidak bisa berkembang dengan baik.

Ibaratnya seperti bibit unggul yang bagus, dia tumbuh subur dan sehat pada saat di persemaian yang terjaga dan terpelihara. Namun pada saat ditanam di lapangan atau di lahan, bibit tersebut mengalami stagnasi pertumbuhan, sangat tertatih-tatih perkembangannya. Kebun kita ternyata seperti belum disiapkan kondisinya untuk menumbuhkembangkan bibit yang sudah unggul dan baik tadi.

Saya tidak bermaksud kagum buta dengan Malaysia, sebab pada beberapa hal sebenarnya mereka memiliki kekurangan. Namun yang perlu kita lihat adalah sisi positifnya, yaitu bahwa konsep dan pemikiran itu bisa tumbuh dan berkembang dengan baik pada tataran implementasinya di kehidupan dan di lapangan. Kondisi sosial, ekonomi dan politiknya bisa ’dikendalikan’ dengan baik untuk memberikan wilayah yang cocok bagi tumbuh dan berkembangnya konsep-konsep pembangunan yang mensejahterakan, memandirikan negara bangsa dan masyarakatnya.

Industri kelapa sawit Malaysia termasuk lebih unggul dari Indonesia, meskipun mereka juga menggunakan tenaga-tenaga dari Indonesia. Tingkat pendapatan para petani kelapa sawitnya juga sangat baik. Bahkan program pengentasan kemiskinan untuk ’luar bandar’ alias pedesaan, dipercayakan melalui program sawit ini, sehingga angka kemiskinan di Malaysia sudah sangat turun, meskipun ’angka standard’ batas kemiskinannya lebih tinggi dari Indonesia.

Anak-anak Indonesia juga sangat berprestasi di tingkat internasional, juara-juara sains dan teknologi, juara-juara olimpiade fisika, kimia, matematika dunia seolah selalu menjadi lagganan bagi anak-anak Indonesia. Demikian juga bidang-bidang yang lain, anak-anak Indonesia sangat hebat. Namun bila anak-anak itu meneruskan studinya di Indonesia, potensi yang bagus tadi sulit berkembang. Namun bila anak-anak berprestasi hebat tadi melanjutkan studi di luar negeri yang bagus sistem pendidikannya, mereka menjadi sangat hebat.

Pada dunia pertanian dan tanaman memang seringkali begitu, dan dapat dijadikan ilustrasi terhadap ’dunia’ lain pada kehidupan sosial budaya. Bibit yang unggul jika ditanam di tanah-tanah yang tidak kondusif, yang tidak subur dengan cekaman iklim mikro dan makro yang tidak menguntungkan, maka bibit unggul tadi tidak akan tumbuh dengan baik. Seandainya dia terus tumbuh, akan mengalami stress, bisa jadi lantas dikeluarkan bunga dan buah yang tidak semestinya. Tanaman demikian tidak akan menghasilkan produksi yang baik, namun hanya sekedar dapat melanjutkan regenerasinya untuk keturunannya kelak, meskipun dengan mutu keturunan yang kurang baik.

Tanah yang tidak kondusif biasanya bersifat asam, karena memang sedang bermasalah aerasinya, mikrobanya menjadi sangat homogen, reaksi-reaksinya dominan anaerob, pembakaran yang sempurna tidak terjadi karena Oksigennya kurang terakses. Bisa jadi airnya terlalu jenuh, atau struktur tanahnya yang terlalu liat, tidak porous alias porositasnya sangat rendah.

Maka yang akan terjadi adalah dominansinya mikroba-mikroba anaerob yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak bereaksi sempurna dengan Oksigen. Maka yang dominan adalah senyawa-senyawa dengan gugus negatif yang bereaksi masam. Tanah menjadi jenuh dengan racun yang akan merusak atau melumpuhkan ujung-ujung serabut akar tanaman yang sangat peka. Unsur-unsur hara tidak lagi tersedia dengan bebas, namun terjerap atau dikungkung dengan koloid-koloid organik atau koloid-koloid mineral lainya yang tidak sanggup ditarik oleh ujung akar tanaman. Dengan demikian lingkungan kimia tanah tidak memungkinkan bibit tanaman tadi menampilkan potensi keunggulanya.

Demikian juga dengan lingkungan biologisnya, dalam kondisi cekaman tanah yang demikian, kehidupan mikrobiologis di tanah tidak terjadi secara seimbang. Awalnya mungkin ada, namun kemudian karena kondisi tidak kondosif, aerasi kurang, Oksigen tidak mencukupi, struktur tanah tidak proporsional, maka makhluk-makhluk renik tidak bisa berkembang secara heterogen, namun hanya jenis-jenis mikroba tertentu lah yang dapat bertahan.

Lingkungan fisik yang mencekam seperti suhu udara ekstrim, tiupan angin dan udara yang ekstrim, air yang tersedia berlebih atau tidak ada air sama sekali, membuat bibit tidak dapat mengembangkan potensi keunggulannya.

Lalu bagaimanakah caranya akar tanaman atau bibit yang unggul tadi dapat mengembangkan potensinya? Maka kita harus mengembalikan lagi fungsi tanah sehingga secara fisik, kimia, biologis tanah menjadi sangat kondisif bagi pertumbuhan bibit tanaman. Ada beberapa yang harus dilakukan antara lain sebagai berikut :

Pertama.

Kalau lahan kita tergenang air cukup lama, maka kita harus membuat saluan-saluran drainage yang cukup Dengan drainage yang cukup maka tanah tidak jenuh dengan air dan diatur kondisi kelembaban tanahnya yang cukup. Udara yang membawa O2, N2, dan lain-lain akan dapat memasuki pori-pori tanah dengan lebih dalam.

Mikroba-mikroba yang ada dan hidup di dalam tanah akan tercukupi udara dengan proporsional, maka mikroba-mikroba yang hidup lebih banyak dan beragam jenisnya. Mikroba dapat hidup berasal dari bahan-bahan organik sebagai makanannya, dengan kondisi yang optimal aerasi dan iklim mikronya suhu, kelembaban tanah, kandungan air) maka mikroba akan bekerja secara optimal. Hasil kerja mikroba adalah berupa senyawa-senyawa organik yang lebih sederhana, CO2 dan H2O. Dalam bekerja, mikroba tadi memerlukan O2 dan kondisi lainnya yang optimal.

Dalam kehidupan nyata lingkungan sosial, ekonomi, ideologi, politik, budaya, dll. Manusia yang tidak kondusif barangkali disebabkan oleh air kehidupan atau rejeki yang tidak merata, maka perlulah diciptakan drainage-drainage kesetiakawanan sosial yang mengalirkan sebagian rejeki, rasa aman, rasa adil kepada wilayah-wilayah yang kurang tercukupi oleh rasa makmur, rasa aman dan rasa adil tadi.

Saluran-saluran drainage yang cukup akan membuat kehidupan masyarakat hidup dengan amat beragam. Semua orang dapat bekerja karena memiliki modal sosial, modal rasa keamanan, modal rasa keadilan yang cukup yang berasal dari area-area yang berlebih melalui saluran-saluran dainage kesetiakawanan sosial, kesetiakawanan budaya, kesetiakawanan berketuhanan, dll.

Seluruh pori-pori kehidupan bermasyarakat mendapatkan udara yang cukup dengan ’bunga-bunga’ Oksigen kehidupan. Dalam kondisi bekerja yang cukup, baik para pekerja akan dapat menghasilkan sesuatu yang berguna sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hasil kerja itu laksana enzim yang berguna bagi proses hidup selanjutnya, hasil kerja itu laksana CO2 dan H2O yang berfungsi bagi makhluk yang lebih besar (bibit unggul tanaman) tadi untuk proses fotosintesisnya kelak.

Seandainya sebagian mikroba sudah sangat homogen, maka diperlukan injeksi sumber-sumber mikroba baru yang heterogen yang berasal dari Sapi (atau sumber kehidupan lain yang aktif) yang hidup di daerah setempat. Supaya tanah akan kaya lagi dengan jenis-jenis kehidupan mikro sebagaimana kondisi idealnya pada masa awal-awal sebelum masa atau suasana yang mencekam itu terjadi.

Penulis pernah mengenalkan Sistem Injeksi Mikroba dan Oksigen (SIMO) untuk pola pemupukan tanaman Aren. Tidak lain adalah agar tanah dapat kondosif bagi kehidupan akar tanaman sampai pada batas kedalaman tertentu. Dengan demikian akar akan sangat berkembang lebih dalam lagi dan lebih banyak tersebar. Pada gilirannya unsur hara, air, dll. yang diangkut akan akan menjadi lebih banyak dan mampu menopang kebutuhan bagi tumbuh dan berkembangnya bibit unggul tadi. Dengan demikian bibit unggul tadi dapat mengeluarkan, membuktikan diri, menunjukkan potensi keunggulannya yang hebat dengan produktifitas yang maksimal.

Kedua.

Namun seringkali kondisi alam saling mempengarhi satu sama lain. Cuaca di atas tanah mempengaruhi keadaan di dalam tanah, mempengaruhi pula sistem interaksi antar komponen-kompnen di dalamnya. Keadaan curah hujan, keadaan suhu dara, berhembusnya angin, pancaran sinar matahari yang berasal dari lingkungan di atas tanah berpengaruh kepada lingkungan di dalam tanah. Struktur tanah porositas tanah, kandungan organik tanah, kandungan mineral tanah, keanekaragaman mikroba tanah, sifat-sifat kimia tanah, dll. Juga satu sama lain saling berinteraksi baik dengan sesamanya maupun dengan komponen iklim di atas tanah.

Demikian juga dalam kehidupan ekologi manusia yang sangat dipengaruhi oleh situasi global dunia, situasi politik nasional sampai daerah, kondisi sosial budaya ekonomi keuangan ideologi dan keamanan serta hukum. Ibarat lingkungan di atas tanah, mereka juga saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Komponen-komponen lingkungan makro tadi juga sangat mempegaruhi sistem di dalam kehidupan manusia sehari-hari, apakah kondusif atau repressif alias tercekam.

Memang keadaan-keadaan ekstrim bisa merangsang munculnya interaksi-interaksi lain yang membuat tantangan baru yang lebih memacu keadaan tertentu Keadaan situasional ini kadang memicu potensi lain di luar kebiasaan, yang kadang bisa menguntungkan untuk jangka waktu tertentu. Namun bisa jadi keadaan ekstrim juga akan mematikan atau melemahkan potensi yang ada, yang membuat pertumbuhan dan perkembangan menjadi stagnan alias mandeg. Pada situasi ini, bisa bertahan hidup dalam siklus yang biasa-biasa saja sudah patut untuk disyukuri.

Bagaimana menurut Anda??