......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Sabtu, 27 Desember 2014

Perkebunan dan Industri Aren Akan Menjadi Daya Tarik Bagi Perbankan

Perkebunan Sangat Menarik Bagi Bank










Posisi Indonesia sebagai raja kelapa sawit saat ini tidak lepas dari adanya Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah pada masa lalu. Perbankan mempunyai jasa yang tidak sedikit dalam pengembangan sektor perkebunan Indonesia. Tetapi akhir-akhir ini banyak keluhan soal perbankan dari stakeholder perkebunan, seperti perbankan yang mau enaknya saja, perbankan yang tidak berpihak pada petani dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya kiprah perbankan dalam perkebunan saat ini dan bagaimana pandangan perbankan soal perkebunan, Media Perkebunan mengadakan wawancara khusus dengan Sunarso, Direktur Commercial & Business Banking, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Bagaimana pandangan Bank Mandiri soal perkebunan ?
Sebelum membahas bagaimana pandangan kami soal perkebunan, kita lihat dulu sejarah Bank Mandiri. Bank ini merupakan hasil merger dari 4 bank pemerintah. Empat-empatnya termasuk dalam 6 bank pelaksana program pengembangan perkebunan pada masa lalu seperti PBSN, PIR Trans, KKPA PIR Trans, PIR Bun, PIR NES dan PIR SUS. Dengan sejarah seperti itu, kami punya pengalaman, kompetensi dan  resources  yang memadai untuk melakukan assessment terhadap sektor perkebunan. 

Bank memandang perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian dalam arti luas, yakni semua usaha memanen energi matahari, baik melalui tumbuhan maupun hewan. Jadi kesimpulannya, pertanian itu meliputi kehutanan, tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan perikanan.
Menurut kacamata bank, dari semua subsektor pertanian, perkebunan adalah subsektor yang paling berpotensi untuk tumbuh pesat. Perkebunan sudah membuktikan diri menjadi growth generator. Potensi terbesar ada di perkebunan karena alam menyediakan sumbernya, kebutuhan teknologinya tersedia dan kualifikasi manusia untuk mengelolanyapun ada. Sekarang tinggal bagaimana cara mengeksploitasinya?
Bisa diceritakan pengalaman Bank Mandiri dalam perkebunan ?
Tahap-tahap awal dulu, pembangunan perkebunan di Indonesia sangat didorong dan difasilitasi oleh kebijakan pemerintah. Kenapa demikian? Waktu itu, jika sektor ini dilepas langsung ke market, belumlah menarik. Investasi masih mahal, dan tidak semua investor punya pengalaman sehingga berisiko bagi bank. Dan pula, harga komodoti perkebunan belumlah sebagus sekarang.

Kebijakan pemerintah pada saat itu, intinya adalah memberikan tiga area kemudahan. Pertama, kemudahan untuk memperoleh konsesi lahan, ini merupakan syarat utama. Kedua, kemudahan untuk memperoleh perijinan, dan yang ketiga, kemudahan untuk memperoleh permodalan. Di akhir tahun 1980-an sampai periode 1990-an, hampir semua perkebunan besar di Indonesia dibangun menggunakan skim kredit program. Di dalamnya ada unsur KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) dan disalurkan melalui  6 bank pemerintah, yang empat di antaranya bergabung menjadi Bank Mandiri.
Perjalanan selanjutnya ?
Dalam perjalanannya, meskipun sudah dibantu oleh pemerintah dan mendapat dukungan permodalan dari perbankan, sektor ini kemudian tidak bebas dari permasalahan. Puncaknya di sekitar pertengahan 1990-an, tepatnya di tahun 1994 dan 1995. Saat itu, banyak perusahaan perkebunan yang membutuhkan restrukturisasi kredit. Hasilnya, banyak bank yang harus fokus kepada restrukturisasi ataupun penyehatan aset kredit perkebunan.
Kita rangkum biaya restrukturisasi itu sebagai biaya “sekolah”. Bahwa sektor perkebunan bisa bagus seperti hari ini, itu karena biaya “sekolah”-nya dulu mahal. 
Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan perkebunan yang direstrukturisasi di tahun 1994-1995 mulai bangkit dan berjalan dengan bagus.  Sampai akhirnya, pada tahun 1997 – 1999 terjadi krisis moneter. Krisis ini malah mengangkat harkat dan harga komoditi perkebunan. Bagi perusahaan perkebunan yang direstrukturisasi tadi, tahun 1997-1999 adalah masa-masa panen. Baik panen dari segi fisik komoditi, panen dari segi harga, maupun panen dari segi nilai tukar dollarnya. Maka, kebanyakan dari mereka mampu melunasi kreditnya di tahun-tahun itu.

Di lain pihak, terdapat perusahaan perkebunan yang baru masuk investasi pada tahun 1994-1995 dengan pola KKPA PIR Trans. Di tahun 1997-1998, investasi baru oleh pemain-pemain baru tadi belumlah panen, malah lagi butuh-butuhnya duit. Adanya krisis moneter menyebabkan mereka bermasalah, dan terpaksa harus direstrukturisasi, atau sebagian harus masuk ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan biaya “sekolah” yang tidak murah. Keluar dari BPPN di sekitar tahun 2000-2002 kembali ada restrukturisasi dan lain-lain. Selesai dari situ, aset-aset tadi sudah ganti kepemilikan dan mulai panen ditahun 2005-2006. Pada tahun 2007, harga komoditi perkebunan di pasar internasional naik. Maka, mereka yang lulus ”sekolah” di BBPN pada 2000-2002 tadi mengalami panen, baik fisik maupun harga. Memang siklus di perkebunan ini luar biasa.

Mengulang pola sebelumnya, terdapat juga perusahaan yang mulai menanam di tahun 2000-2002. Pada periode ini, di antaranya banyak yang menggunakan kredit komersial dari bank, atau kalau tidak, menanam dengan duit sendiri. Pada tahun 2005-2006, mereka mulai terengah-engah, sudah tidak kuat. Cash terbatas namun kebun masih membutuhkan biaya. Di lain pihak, tanaman masih belum atau sedikit yang sudah bisa dipanen. Saat-saat itu, sebenarnya juga terjadi restrukturisasi. Bukan dengan bank, melainkan secara alami di pasar melalui merger dan akuisi. 
Akuisisi dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang sudah ”lulus” duluan, yang sedang menikmati panen tingginya harga komoditi, atau diakuisisi oleh pemodal-pemodal besar yang sebelumnya belum sempat masuk ke sektor ini.
Sekarang perkebunan sedang puncak-puncaknya berjaya. Itulah yang dilihat orang, bahwa perbankan ikut panen raya. Bagi kita Bank Mandiri, tidak tepat kalau dibilang tinggal enaknya saja. Karena saat ”sekolah” tiga kali itu, kita ikut ”sekolah” di dalamnya. Tidak hanya cost -nya saja yang mahal, mentalnya juga harus siap. Kalau hari ini kita syukuri sebagai masa kejayaan komoditi perkebunan, itu tidak terlepas dari beratnya masa ”sekolah” yang dijalani, termasuk juga banknya. Tiga periode ”sekolah” itu adalah proses yang  panjang. 

Melihat kondisi sekarang, seharusnya kita bisa bersyukur dan terus jauh melihat visi ke depan. Menjaga dan mengamankan sektor ini, agar tetap punya ketahanan terhadap market risk dan commodity risk, artinya produk-produk perkebunan kita jangan sampai jadi bulan-bulanan berbagai pihak yang merasa tidak nyaman dengan pertumbuhan di sektor ini.
Sumber :  http://www.mediaperkebunan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=277%3Aperkebunan-sangat-menarik-bagi-bank&catid=9%3Aopini&Itemid=5



Gambar Mesin-mesin Pengolahan Nira Menjadi Gula Semut Modern

Foto-foto ini kiriman dari Teman FB Arenga Pinnata









Rabu, 24 Desember 2014

Energi Terbarukan : Bioethanol dari Aren Potensi yang Sangat Luar Biasa

Pertamax cap Tikus.....

Potensi bioethanol Indonesia sangat luar biasa, misalnya di Minahasa Utara masyarakat di wilayah ini sudah biasa memproduksi bioethanol dari nira aren.
Bahkan diantaranya digunakan langsung untuk bahan bakar kendaraan roda empat, namun sayangnya belum tersentuh tangan pemerintah.
Misalnya saja Johan Arnold Mononutu warga Minahasa Utara ini menggunakan bioetanol sejak tahun 2007. Ia berhasil memproduksi bahan bakar nabati dari nira aren berkadar99,9%. Johan menggunakan 10-15% bahan bakar bioetanol dari nira aren bisa digunakan untuk menggeber mobil dengan kecepatan rata-rata 50-100 km per jam.
“Tidak ada keluhan apa-apa, malahan suara mesin lebih halus dan tarikan lebih kencang karena setara Pertamax Plusplus,” ujar Johan seperti dikutip dari situr kementerian ESDM, Senin (23/5/2011).
Ia menambahkan, bioethanol dari nila aren selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan johan memanfaatkannya untuk kompor.
“Cuma, untuk kompor cukup memakai bioetanol berkadar 60%,”ungkapnya.
Menurut Johan bioethanol yang ia hasilkan memiliki api berwarna biru, tanpa jelaga dan lebih irit karena konversi minyak tanah dan bioetanol 2:1 yang artinya, 1 liter bioetanol mampu menggantikan 2 liter minyak tanah.
“Kesuksesan ini telah mendorong kelompok nelayan di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahas mengganti minyak tanah dengan bioetanol untuk lampu-lampu petromaknya,” tutur Johan.
Untuk memproduksikan bioetanol dari nira aren menurut Johan tidaklah sulit, dengan menggunakan seperangkat alat destilasi rakitan sendiri yang terbuat dari besi nirkarat (stainless steel) yang terdiri dari pipa kondensator serta selang-selang plastik.
“Sekarang dengan volume tangki lebih besar dan pengaturan suhu otomatis, dalam sehari atau 10 jam kerja kami mampu menghasilkan 500 liter bioetanol,” tambah Johan.
Bioetanol bagi masyarakat Minahasa Utara bukanlah barang baru, mereka sudah mengenal sejak zaman Belanda bahkan mungkin jauh sebelumnya. Dihampir beberapa kecamatan seperti Kauditan dan Telawaan memproduksikan energi hijau tersebut sebagai mata pencaharian.
Misalnya saja di Desa Tamaluntung Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 200 kepala keluarga yang mengolah nira aren menjadi bioetanol berkadar alcohol 40-50% yang mereka sebut ‘Cap Tikus’. Cap Tikus merupakan minuman keras tradisional masyarakat Minahasa.
Potensi bioetanol dari pohon aren di Tamaluntung sangat besar. Penggerak Ekonomi Pedesaan di kabupaten Minahasa Utara.
Renald Tuhwidan seorang warga Minahasa lainnya menuturkan jumlah produktif pohon aren berumur 7 sampai 30 tahun tidak kurang dari 50.000 batang tumbuh liar yang ada di Tamaluntung.
Menurutnya dari pohon aren yang produktif itu hanya 60-70% yang telah dimanfaatkan, selebihnya pohon tidak disadap. Dengan masa produksi 4-6 bulan setiap pohon akan menghasilkan 20 liter nira.
(hen/dnl)
Johan Arnold : Kembangkan Bahan Bakar Bioetanol Dari Nira Aren
Monday, 23 May 2011 10:12
Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan, pohon aren juga dimanfaatkan untuk bahan bakar kompor.
MINAHASA – Innova hitam keluaran tahun 2006 melaju kencang dari Minahasa Utara menuju Manado. Kecepatan rata-rata mobil tersebut 50-100 km per jam setiap hari. Johan Arnold Mononutu menggunakan 10-15% bahan bakar bioetanol dari nira aren.
“Tidak ada keluhan apa-apa, malahan suara mesin lebih halus dan tarikan lebih kencang karena setara Pertamax Plusplus,”ujar Johan, Seperti dilansir laman ESDM
Johan Arnold Mononutu menggunakan bioetanol sejak tahun 2007 ketika berhasil memproduksi bahan bakar nabati dari nira aren berkadar 99,9%. Selain digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan johan memanfaatkannya untuk kompor.
”Cuma, untuk kompor cukup memakai bioetanol berkadar 60%,” ungkapnya.
Dengan menggunakan biotenal lanjut Johan, menghasilkan api berwarna biru, tanpa jelaga dan lebih irit karena konversi minyak tanah dan bioetanol 2:1 yang artinya, 1liter bioetanol mampu menggantikan 2 liter minyak tanah.
“kesuksesan ini telah mendorong kelompok nelayan di Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahas mengganti minyak tanah dengan bioetanol untuk lampu-lampu petromaknya,”tutur Johan.
Untuk memproduksikan bioetanol dari nira aren menurut Johan tidaklah sulit, dengan menggunakan seperangkat alat destilasi rakitan sendiri yang terbuat dari besi nirkarat (stainless steel) yang terdiri dari pipa kondensator serta selang-selang plastic.
“sekarang dengan volume tangki lebih besar dan pengaturan suhu otomatis, dalam sehari atau 10 jam kerja kami mampu menghasilkan 500 liter bioetanol,” tambah Johan.
Bioetanol bagi masyarakat Minahasa Utara bukanlah barang baru, mereka sudan\h mengenal sejak zaman Belanda bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Dihampir beberapa kecamatan seperti Kauditan dan Telawaan memproduksikan energy hijau tersebut sebagai mata pencaharian. Di Desa Tamaluntung Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 200 KK yang mengolah nira aren menjadi bioetanol berkadar alcohol 40-50% yang mereka sebut “Cap Tikus”. Cap Tikus merupakan minuman keras tradisional masyarakat Minahasa.
Potensi bioetanol dari pohon aren di Tamaluntung sangat besar. Penggerak Ekonomi Pedesaan di kabupaten Minahasa Utara, Renald Tuhwidan menuturkan, jumlah produktif berumur 7 sampai 30 tahun tidak kurang dari 50.000 batang, yang belum produktif tidak terhitung.
Semuanya tumbuh dengan liar. Dari pohon aren yang produktif itu hanya 60-70% yang telah dimanfaatkan, selebihnya pohon tidak disadap. Dengan masa produksi 4-6 bulan setiap pohon akan menghasilkan 20 liter nira. Terbayangkan jika seluruh pohon aren dimanfaatkan sebagai bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.(c8/lik)
Nira Aren Bahan Baku Agroindustri Bioetanol Yang Menjanjikan
Sumber: Trubus, Nov 23, 2007;http://www.pusatagroindustri.com/
Pada akhir 2006 Eka Bukit juga menggeluti bisnis bioetanol. Baik biodiesel (sumber energi mobil bermesin diesel) maupun bioetanol alias biopremium termasuk bahan bakar nabati yang bersumber dari tumbuhan. Sarjana Teknik Industri alumnus Universitas Sumatera Utara itu memang tak mengolah dari bahan mentah. Ia bekerja sama dengan puluhan produsen bioetanol skala rumahan di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Masyarakat setempat secara turun-temurun piawai mengolah nira aren menjadi etanol dengan peralatan sederhana. Karena terbiasa mengolah etanol, teknologi produksi sangat mereka kuasai. Dengan demikian, Eka tak harus menyuluh atau mengajari cara menyuling, misalnya. Bagi mereka, etanol nira aren itu sebagai bahan minuman keras yang sohor dengan sebutan Cap Tikus. Malahan minuman itu juga dikapalkan ke Papua.
Bioetanol produksi mereka berkadar etanol 35%. Untuk menghasilkan satu liter perlu 9 liter nira. Padahal, bermacam industri seperti farmasi dan kosmetik memerlukan etanol berkadar 99,6%. Eka kemudian memurnikan hasil sulingan masyarakat Minahasa Selatan hingga diperoleh kadar etanol 99,6%. Menurut perhitungan Eka, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% menghabiskan 15 liter nira aren.
Di Minahasa Selatan yang menjadi sentra aren, harga seliter nira Rp200. Untuk menghasilkan bioetanol Eka menghabiskan Rp3.000. Itu baru untuk bahan baku. Dengan menghitung biaya proses, transpor Manado-Jakarta, dan pajak, total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% mencapai Rp4.700. Ongkos transpor Manado-Jakarta Rp700 per liter.
Pasar terbentang
Rata-rata produksi Kreatif Energi Indonesia 1-2 ton per hari atau 20.000 ton per bulan. Kepada reporter Trubus Andretha Helmina, Eka Bukit mengatakan bahwa volume penjualan bioetanol mencapai 1-2 ton per hari dengan harga Rp6.500 per liter. Artinya, setiap hari ia mengutip laba bersih Rp1.800.000-Rp3.600.000 atau Rp36-juta per bulan dari penjualan bioetanol skala rumahan.
Memang produksinya belum dikonsumsi oleh kendaraan bermotor, walau sudah memenuhi standar kualitas bahan bakar nabati. Namun, lantaran konsumen bioetanol sangat luas, Eka baru sanggup memasok industri farmasi. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar direktur operasional PT Kreatif Energi Indonesia itu. Sebagai gambaran, hingga saat ini Eka belum sanggup melayani tingginya permintaan bioetanol.
Setidaknya 255 ton permintaan rutin per bulan yang gagal terpasok. Jika itu terlayani, tentu saja Eka bakal meraup laba bersih jauh lebih besar. Oleh karena itu lajang kelahiran Medan 16 Juni 1972 itu kini membuka pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Daerah itu dipilih lantaran terdapat 14 kecamatan sentra aren dari total 22 kecamatan. Lokasinya gampang dijangkau dari Jakarta dan relatif dekat.
Jarak yang dekat berarti memangkas biaya produksi, terutama biaya pengangkutan. Di Lebak, Banten, bungsu 5 bersaudara itu juga menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Ia akan menampung seluruh produksi mereka sepanjang memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan. Saat ini 14 kecamatan itu menghasilkan 120 ton nira per pekan. Eka juga mengembangkan 7 ha sorgum sebagai bahan baku. Anggota famili Gramineae itu memang potensial sebagai penghasil biotenaol (baca: Tanaman Penyumbang Bahan Bakar halaman 22).
Itulah strategi Eka membangun kilang hijau. Kilang adalah instalasi industri tempat pemurnian minyak bumi. Namun, kilang juga berarti fermentasi air tebu atau nira. Proses itu harus dilalui ketika ia mengolah nira menjadi bioetanol yang terus ia kembangkan. Ia sama sekali tak khawatir soal pemasaran. Selama ada kehidupan, bioetanol tetap diperlukan: untuk minuman, makanan, kosmetik, rokok, juga bahan bakar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina). Sumber : Majalah Trubus
Produksi Biotheanol dari Nira Aren Skala Mikro-Kecil
Written by supermin, Senin, 10 Desember 2007
Ethanol (Ethyl Alkohol-C2H5-OH) sudah dikategorikan sebgai energi komersial atau energi teknis karena telah mencapai kematangan teknis dan kematangan komersial dengan Brasil sebagai produsen ethanol terbesar di dunia. Saat ini perusahaan-perusahaan otomotif sudah memproduksi mobil dengan bahan bakar ethanol seperti Volswagen AG. Bahkan di Brasil telah mengembangkankan pesawat terbang kecil EMB 202, yang merupakan pesawat terbang pertama di dunia menggunakan bahan bakar ethanol (alcohol) dan saat ini lebih dari 300 pesawat terbang kecil di Brasil telah memakai ethanol sebagai bahan bakar.
Bioethanol merupakan bahan bakar alternatif pengganti premium dan pertamax, sehingga pemakaiannya akan menghemat devisa. Bioethanol dapat dihasilkan dari tetes tebu, singkong, jagung, sorghum maupun aren, sehingga merupakan energi yang dapat diperbaharui. Selain itu gas buang dari mesin yang menggunakan bioethanol mempunyai emisi yang lebih rendah disbanding dengan minyak premium maupunpertamax.Pada umumnya mesin yang bisa memproses bahan bakar ethanol disebut Flex-Fuel dan mesin yang menggunakan bahan bakar minimal nilai octan 90 dapat juga dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80%-90% (perkiraan nilai octan 88) ditambah ethanol 10%-20% (dengan nilai octan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai octan 91-93.
Saat ini di Indonesia telah dibangun beberapa pabrik bioethanol plant dengan kapasitas mulai dari 300 liter/hari dengan system batch sampai dengan 600 ton/hari dengan system kontinyu sebagai langkah awal untuk pengembangan selanjutnya ke skala komersial. Keputusan kebijakan untuk menentukan kelayakan penggunaan bioethanol secara umum perlu dilandasi suatu kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan penguasaan teknologi, nilai ekonomis, kontinyuitas suplai dan manfaat lain dari penggunaan bioethanol tersebut.
Ethanol saat ini berasal dari beberapa sumber, Brasil dari tebu, Amerika Serikat dari jagung, sedangkan di Indonesia umumnya berasal dari tebu, sorghum, singkong termasuk oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan PT Blue Indonesia mengembangkan dari aren (airnira) dan nipah. Dengan pengembangan teknologi dari PT Blue Indonesia telah berhasil menciptakan alat distilasi berukuran kecil dan mobile dengan kapasitas 500liter/hari-1500liter/hari (dengan ukuran 2.5m x 0.8 m x 0.5m : kadar output ethanol, 85 %, 95 % dan 98 %) dengan bahan baku dari hasil sadap pohon aren. Alat yang diciptakan PT Blue Indonesia sangat praktis dan cocok dioperasikan oleh masyarakat untuk skala home industri dengan kapasitas 100 l/hari – 1000 l/hari) dengan memakai bahan yang murah dan praktis.
Potensi tanaman aren di Sulawesi Utara.
Menurut Johan Susilo,ST. Direktur Utama PT Blue Indonesia yang telah mengembangkan industri bio-etanol Sulawesi Utara, pada Workshop Budidaya dan Pemanfaatan Aren untuk Bahan Pangan dan Energi, Kamis, 6 Desember 2007 di gedung BPPT II.Tanaman aren merupakan salah satu tanaman hutan/perkebunan yang memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan dan tanaman konservasi tanah dan air. Tanaman aren di Sulawesi Utara pada umumnya masih tumbuh liar dan hanya sebagian kecil yang telah ditanam pada daerah aliran sungai atau jurang. Luas areal pertanaman aren di Sulawesi Utara hingga tahun 2004 mencapai 2.942 ha yang tersebar di 7 kabupaten dan 44 kecamatan. Peluang pengembangan dan perluasana areal penanaman baru di Sulawesi Utara masih dapat dilaksanakan. Disampig itu dilaksankan intensifikasi untuk beberapa areal pertanaman yang masih belum teratur pola tanamnya. Peluang pengembangan produk tanaman aren dilakukan dengan cara-cara seperti optimalisasi produk, penggunaan teknologgi dan pengembangan pasar. Jenis produk yang potensial dan mempunyai peluang export adalah alkohol teknis, gula semut, gula merah, alkohol untuk bahan bakar dan minuman beralkohol. Kondisi iklim dan tanah Sulawesi Utara sebagian besar sangat besar sangat sesuai dengan syarat tumbuh aren.
Berdasarkan data lapangan yang ada, diperkirakan terdapat 300-400 pohon per ha, dimana jumlah tanaman yang produktif antara 100-150 pohon per ha dengan perkeiraan jumlah nira rata-rata 25 liter/pohon/hari atau 11/032.500 liter perhari apabila dikonversi ke ethanol setara dengan 735.500 liter perhari atau 264.780.000 liter ethanol pertahun.
Aren Sulut Bisa Atasi Krisis BBM, Produksi Etanol Lima Kali Lipat Konsumsi Bensin
Sumber: Manado Post, http://www.blue.co.id/berita.htm
MANADO— Jika masyarakat Sulut serius memanfaatkan Cap Tikus untuk mengganti BBM, konsumsi premium (bensin) malah bisa akan digantikan bio etanol. Betapa tidak, jika dimaksimalkan potensi 2 juta pohon aren Sulut maka 876 ribu kiloliter (Kl) bio etanol bisa dihasilkan dalam setahun. Sementara konsumsi bensin untuk kendaraan di Sulut, hanya sekitar 180-an Kl dalam setahun. Artinya, produksi bio etanol hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan konsumsi bensin.
Perhitungan yang diberikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), konsumsi bio etanol sebagai substitusi bensin pun tidak seluruhnya, tapi hanya sepersepuluh bagian. Atau 9 bagian bensin dicampur dengan bio etanol dengan kadar 99,5 persen. “Campuran ini sudah bisa menghasilkan bahan bakar sekelas Pertamax yang beroktan 92,” kata Dr Unggul Priyanto, Direktur Pengembangan Sumberdaya Energi Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Hitung-hitungan kasar juga diberikan. Jika diasumsikan konsumsi premium Sulut sekitar 200 ribu Kl, berarti hanya cukup saja 180 ribu Kl yang dipasok karena 20 ribu Kl sudah bisa digantikan dengan bio etanol dari cap tikus Sulut. “Ini artinya memaksimalkan potensi lokal. Aren sangat berpotensi asalkan masyarakat dan pemerintah punya komitmen. Toh, tidak seluruh produksi untuk substitusi BBM,” tambah Unggul.
Sementara Sekretaris I Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) Dr Ing Evita H Legowo menyatakan, hasil penelitian dari Tim Nasional BBN memang sudah cukup banyak, tapi tinggal menunggu respon pemerintah untuk membuat regulasinya. “Bahan bakar nabati dari bio etanol terutama aren sudah cukup lama diuji coba, kami tinggal menunggu respon dari Pertamina dan pemerintah soal tata niaganya,” kata Dr Evita.
Asisten II Setprov Sulut Marieta Kuntag MBA menyambut baik terobosan ini. Katanya, Pemprov, dalam hal ini Disperindag dan Dinas Perkebunan sementara menyusun program untuk pemanfaatan aren sebagai substitusi BBM. “Kemungkinan akan diperbanyak industri pengolahan air nira menjadi etanol teknis yang fisibel untuk mencampur premium,” katanya. “Kami sudah mengusahakan perbaikan tanaman aren. Sebab, selain untuk produksi gula semut juga untuk etanol,” timpal Kadis Perkebunan Ir Rene Hosang.
Baik Unggul dan Dr Evita menyarankan agar masyarakat Sulut menjaga pohon aren yang sudah ada, bahkan tambah menanam, karena potensi aren sangat besar sebagai pengganti BBM maupun konsumsi lain. “Ini potensi lokal yang harus dikembangkan. Kalau Sulut kelebihan, bisa dilempar ke daerah lain yang kekurangan etanol,” ujar mereka. Saat ini yang memproduksi alkohol dari nabati baru di Jawa dan sebagian Sumatera dari tetes tebu. (sumber: Menado Post)
AREN DAN BIOETHANOL
Written by Dirattanhun
Friday, 25 July 2008
Aren menyebar luas di banyak daerah dengan wilayah penyebaran antara garis lintang 200 LU – 110 LS antara lain Indonesia. Di Indonesia aren banyak tumbuh di wilayah perbukitan, pegunungan dan lembah dengan perkiraan areal seluas 60.482 ha. Semuan bagian dari tanaman aren dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia bahkan nira aren berpotensi untuk memproduksi bioetanol, namun sampai saat ini masih mengandalhan tanaman aren yang tumbuh liar.
Tanaman aren tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, dapat tumbuh pada tanah liat, berlumpur dan berpasir, pada ketinggian antara 9 – 2000 m dpl dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun. Upaya pengembangannya sangat memungkinkan, disamping masih luasnya lahan tidak produktif yang cocok. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, antara lain nira selain diolah menjadi gula juga bioethanol. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melaporkan bahwa produktivitas bioethanol dari aren dapat mencapai 40.000 liter per hektar per tahun. Mengingat pohon aren telah banyak ditemukan disejumlah wilayah, maka produksi bioethanol dari aren bisa dilakukan sekaligus bersamaan dengan perluasan tanaman. Produk utama dari aren adalah gula semut yang antara lain telah dikembangkan oleh Yayasan Massarang di Tomohon, Sulawesi Utara. Hasil produksinya di ekspor, sedang untuk nira yang tidak lolos kualifikasi untuk produk gula, diolah menjadi bioethanol.
AREN MERUPAKAN SALAH SATU PENYUMBANG PENYEDIAAN BIO-ETHANOL
December 6, 2007, 5:45 pm| Berita Departemen | Klik: 57
Jakarta, 6/12/2007 (Kominfo-Newsroom) – Seorang pejabat Kementerian Negara Riset dan Teknologi mengatakan, Aren merupakan salah satu yang menjadi peyumbang bagi penyediaan bio-ethanol dalam rangka pengembangan bio-ethanol yang diprogramkan pada tahun 2011.
“Dalam pengembangan aren tentu kita perhatikan dari sisi hulu, proses sampai kepada penduduk,” kata Deputi Bidang Perkembangan Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemenneg Ristek Dr. Ir. Bambang Sapto Pratomosunu, M.Sc pada pembukaan workshop budidaya dan pemanfaatan Aren untuk bahan pangan dan energi di Jakarta, Kamis (6/12).
Dalam pengembangan tersebut, Akademisi, Business, dan Government (ABG) akan mengupayakan dari hulu sampai ke hilir. Dari hulu penyediaan bahan bakunya, prosesnya, dan kemudian di akhirnya akan menangkap untuk bisa disalurkan kepada pengguna.
Di beberapa daerah Aren telah dimanfaatkan, ada yang diambil tepungya, ada yang dimanfaatkan untuk menjadi minuman dengan kadar tertentu, dan sekarang teknologi telah memungkinkan untuk memprosesnya menjadi bahan baker.
Maka pada tingkat proses telah menjadi bahan pokok pembicaraan, tetapi juga pembinaan kepada para penyedia hingga untuk keanekaragam penggunaan tetapi diarahkan menjadi wadah ilmiah untuk mendukung bahan bakar.
“Jadi kondisi hulu, proses, sampai kepada hilir diharapkan akan menjadi pokok pembahasan yang sangat bermanfaat hingga memberikan konstribusi dari salah satu penyedia bahan bakar,” ungkapnya.
Sementara itu, Peneliti Aren Puslitbangbun Deptan Bogor, Dr. David Allorerung dalam acara yang sama mengatakan, Aren sejak jaman dahulu sudah menyebar di seluruh Indonesia, termasuk salah satu keluarga palma yang serbaguna, dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 meter di atas permukaan laut.
Selama ini penyebarannya berlangsung secara alamiah saja, dan bahkan dianggap sebagai tanaman liar saja atau tanaman hutan. Budidaya Aren masih sangat langka karena kegiatan penelitian untuk tanaman tersebut sangat terbatas dan tidak kontinyu sebagai konsekuensi dari rendahnya perhatian terhadap pengembangan komoditas tersebut.
Aspek penemuan varietas unggul adalah salah satu aspek yang tidak disentuh oleh para peneliti, dan hingga saat ini belum ada suatu varietas unggul yang dilepas secara resmi oleh pemerintah.
Sementara Aren bisa dimanfaatkan kalau disadap, artinya memerlukan tenaga kerja terampil, dan beda misalnya kalau tebu. Buruh panen tebu tidak perlu ada keterampilan yang diperlukan ada teknologi di pabriknya, tetapi kalau Aren perlu tenaga terampil, untuk itu semua petani belum tentu mampu memanennya, sehingga perlu diberikan pelatihan.
Dari hasil-hasil penelitian selama ini, disebutkan satu pohon bisa menghasilkan rata-rata 15 liter perhari, kalau dari tanaman yang baik.
Aren selain disadap, juga menghasilkan kolang kaling dari bunga betina sebagai bahan makanan penyegar untuk campuran buah segar atau panganan seperti kolak.
Tanaman Aren tersebut juga lazim ditebang untuk diambil patinya yang banyak digemari karena aromanya lebih disukai dibandingkan pati dari sagu. Pati dari Aren tersebut terutama digunakan dalam industri makanan semacam mie yang disebut sohun (so’un) dan untuk membuat makanan ringan seperti cendol. (T. Gs/toeb/c )
RABU, 28 OKTOBER 2009
Kisah Petani Aren dari Ciamis Jawa Barat
(Liputan6.com, Ciamis)
Keseimbangan antara manusia dan alam kerap tercermin dalam adat istiadat Bangsa Timur. Sayangnya, saat ini, tak banyak masyarakat di Tanah Air yang menjaga nilai-nilai harmonisasi kehidupan tadi. Banyak hutan belantara yang diterjang keserakahan manusia dengan alasan klasik: demi kelangsungan ekonomi. Ironis memang. Nah, kehidupan warga Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat, dapat menjadi sebuah contoh kecil. Betapa tidak, mereka umumnya masih mempertahankan “adat karuhun” untuk melestarikan alam sekitar. Makanya tak heran, wilayah yang berlokasi di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, atau sekitar 45 kilometer dari Ciamis ini mendapat anugerah Kalpataru dari pemerintah, awal Juni silam. Anugerah itu diberikan atas jasa warga Kuta yang memelihara hutan lindung seluas 40 hektare.
Bila mengunjungi wilayah tersebut, sepintas tak ada yang istimewa dari Kampung Kuta. Dan seperti halnya kampung lainnya, suasana pagi di Kampung Kuta juga semarak dengan berbagai aktivitas penduduk. Sebagian warga ada yang hendak menuju Pasar Rancah, sebuah pasar kecil dekat wilayah mereka. Untuk itulah, mereka menumpang sebuah truk kecil yang merupakan satu-satunya sarana transportasi ke dunia luar. Setelah menempuh jarak sekitar 15 kilometer, mereka sampai di Pasar Rancah. Pusat perdagangan ini memang bagaikan urat nadi kehidupan sejumlah desa di Ciamis. Di sinilah, setiap Rabu dan Sabtu, mereka menyalurkan berbagai hasil bumi. Sejumlah hasil industri rumah tangga pun diperjualbelikan. Dari hasil jual beli itulah mereka berharap memperoleh sejumlah uang demi kebutuhan keluarga masing-masing.
Tak terkecuali bagi orang Kuta. Para pedagang asal Kampung Kuta memang terkenal dengan produksi gula aren. Komoditi inilah yang menjadi andalan perekonomian mereka sejak bertahun-tahun silam. Bagi orang Kuta, menyadap aren telah menjadi satu di antara pekerjaan turun-temurun yang masih dipertahankan hingga kini. Bahkan, untuk menjaga kelangsungan profesi ini, mereka memberlakukan larangan menebang pohon aren yang tumbuh di atas tanah kampungnya. Alhasil, jumlah pohon aren terus berlipat ganda. Bukan sulap bukanlah sihir, seribu pohon yang tumbuh beberapa tahun silam, kini bertambah tiga kali lipat. Bisa dikatakan, ini bukan pekerjaan yang mudah di zaman sekarang.
Kendati demikian, penduduk kampung tetap mengatur penyadapan pohon aren dengan tertib. Buktinya, seribu pohon yang kini telah berproduksi atau menghasilkan cairan nira pun dibagi merata kepada sekitar 400 orang. Rincinya, masing-masing kepala keluarga memperoleh bagian rata-rata sebanyak tujuh tangkal pohon aren. Sementara sebagian tajuk aren, dibiarkan di tempatnya untuk kelak dijadikan kolang-kaling. Sedangkan tajuk yang ditebang untuk menghasilkan cairan nira dipasangi tabung-tabung bambu. Bersamaan saat penyadap mengambil nira, tabung-tabung itu pun sekaligus diganti selang dua kali sehari.
Setiap kepala keluarga di Kampung Kuta, minimal memperoleh 2,5 kilogram gula aren per hari. Kemudian sang istri memasak aren tersebut. Setelah itu, suami dan istri biasanya bahu-membahu membungkusnya dengan daun aren kering menjadi bonjor-bonjor yang dilepas seharga Rp 6.000 per satuan. Bonjor-bonjor ini juga kerap dijual kepada sesama warga. Ini dilakukan bila si pembuat gula aren tak mampu menyalurkannya sendiri ke pasar. Tapi, dengan cara inilah mereka menunjukkan ikatan yang kuat satu sama lain dalam upaya mempertahankan hidup dan menjaga tradisi.
Selain produksi gula aren, Kampung Kuta juga terkenal dengan keteguhan penduduknya dalam mempertahankan nilai-nilai yang mereka warisi dari para leluhur. Berdasarkan kisah yang hidup di masyarakat setempat, di Kuta dulu sempat akan didirikan pusat Kerajaan Galuh. Buktinya, terdapat deposit sejumlah material yang memungkinkan untuk kegiatan pembangunan. Antara lain, adanya semen merah dari tanah di Gunung Semen. Serta hamparan kapur seluas 0,25 hektare dan batu soko di Gunung Gede atau Leuweung Ageung.
Konon, Raja Galuh yang mempunyai gagasan membangun pusat kerajaan di Kuta diyakini warga adalah Prabu Ajar Sukaresi. Setelah sang raja berkeliling Kuta, ternyata ia membatalkan rencana tersebut. Alasannya, daerah itu ternyata dikelilingi tebing-tebing. Raja pun berpendapat, pusat pemerintahan tak mungkin akan berkembang bila dikelilingi tebing. Itulah sebabnya, daerah berlembah yang dikelilingi bukit ini sekarang dinamakan Kuta–sesuai bahasa keseharian di Tatar Sunda. Akhirnya, Prabu Ajar Sukaresi memutuskan Karangkamulyan sebagai gantinya. Buktinya, di sana ditemukan situs yang kini menjadi objek wisata sekaligus daerah singgah.
Setelah rencana pembangunan Kuta batal, datang utusan Kerajaan Cirebon, bernama Raksabumi. Versi lain menyebutkan, kehadiran Raksabumi di sana diutus Raja Galuh untuk memelihara atau menjaga barang peninggalan Sang Raja. Tak lama kemudian, datang lagi utusan bernama Batasela, yang kabarnya keturunan dari Solo, Jawa Tengah.
Sedangkan Raksabumi atau Aki Bumi setiba di daerah Kuta, membangun permukiman di sekitar rawa. Lantaran jiwa kepemimpinannya yang tinggi, Aki Bumi akhirnya ditetapkan sebagai pemimpin atau penjaga Kuta hingga akhir hayatnya. Warga menyebutnya sebagai kuncen Kuta pertama. Kuncen berikutnya, Aki Danu, Aki Maena, Aki Surabangsa, Aki Rasipan dan Aki Maryno–kuncen saat ini. Sebelum meninggal dan dimakamkan di Cibodas, Aki Bumi telah membangun Kuta. Makanya, hingga kini, warga Kuta sebagai keturunan Aki Bumi yang meninggal tak ada yang dimakamkan di Kuta. Kesemuanya dimakamkan di Cibodas.
Seperti telah diceritakan, tugas Aki Bumi ke Kuta untuk menjaga bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Peninggalan itu, kabarnya berupa sejumlah punduk domas atau tempat pandai besi membuat senjata dan peralatan pembangunan. Juga tempat menyepuh peralatan perang agar memiliki kesaktian. Tempat-tempat itu bernama Gunung Apu, Gunung Semen, dan Gunung Barang. Sejumlah lokasi tersebut diyakini sebagai persiapan pembangunan kerajaan. Dan semua peninggalan tadi, hingga saat ini, juga diyakini warga Kuta berada di dalam hutan tersebut. Karena itu, mereka hingga sekarang tetap mempertahankan hutan. Tak ada yang berani menebang pohon, bahkan mengambil ranting sekalipun.
Kisah tersebut dibenarkan Ketua Adat Warga Kuta Karman. Menurut Karman, leluhurnya memberi sebuah wasiat. Bunyinya, jika hutan itu dirusak, warga akan mengalami kesulitan air. Selain itu, bencana alam berupa tanah longsor akan menimpa perkampungan Kuta. Karman menuturkan, Aki Bumi juga menciptakan aturan-aturan yang kini diwarisi penduduk Kampung Kuta. Satu di antaranya adalah aturan bentuk rumah tinggal yang dihuni para warga. Wasiat itu mengharuskan orang Kuta harus tinggal dalam sebuah rumah panggung persegi yang terbuat dari kayu dan beratapkan sirap.
Selain itu, Karman menambahkan, orang Kuta juga diwajibkan memasak dengan menggunakan tungku. Sedangkan rumah warga Kuta umumnya hanya memiliki dua kamar. Sebab, mereka biasanya adalah sebuah keluarga batih atau kecil. Namun, kekeluargaan yang erat di antara sesama penduduk kampung menyebabkan warga cenderung membuat ukuran ruang tamu agak besar. Ini untuk menampung para tetangga yang acapkali datang berkunjung.
Meski pesan-pesan leluhur berusaha dijaga teguh, penduduk Kampung Kuta tetap terbuka pada perubahan dunia. Buktinya, bentuk pintu geser pada rumah asli kini telah berganti. Demikian pula dengan jendela rumah yang diganti kaca. Bahkan, peralatan elektronik bukan lagi sesuatu yang tabu. Bagi orang Kuta, perubahan adalah hal biasa, asalkan aturan utama tak dilanggar. Seperti mengubah pola dasar rumah atau cara memasak dengan tungku. Soalnya, mereka percaya bila aturan utama dilanggar, Aki Bumi tak segan-segan langsung menegur. Caranya, dengan membidikkan bala bagi si pendosa.
Sedangkan pantangan utama dari Aki Bumi adalah mengusik kawasan Leuweung Gede, hutan keramat tempat ia bersemedi. Makanya tak heran, jika sejak dahulu kawasan seluas 40 hektare ini tak pernah berubah. Di hutan larangan inilah, Karman sebagai Ketua Adat Kampung Kuta yang dipilih warga datang berziarah. Seperti halnya warga lain, Karman selalu datang memohon restu dari sang leluhur bilamana bermaksud melangsungkan sesuatu. Dan ziarah ini hanya bisa dilakukan setiap Senin dan Jumat. Tentunya dengan diawasi Sang Kuncen, keturunan langsung dari Aki Bumi yang hingga kini tetap menjaga kawasan Leuweung Gede.
Sang Kuncen-lah yang menjadi perantara dialog antara peziarah dan arwah leluhur. Biasanya, dia membakar dupa berupa kemenyan bercampur minyak wangi. Di tengah kepulan dupa tersebut, Sang Kuncen akan turut memintakan restu bagi Karman. Sebab, Ketua Adat Kampung Kuta ini bermaksud membongkar rumah lama dan membangun kembali sebuah rumah baru dengan pola dasar yang sama.
Sebagai syarat memperoleh restu, Karman harus pula membasuh wajahnya di kawah. Ini adalah sebuah mata air di tengah hutan yang dipercaya mampu membuat awet muda. Dia pun harus mencampur air kawah dengan air Sungai Ciasih yang dahulu tempat Aki Bumi mandi saat bersemedi. Kelak, campuran ini harus diberikan kepada seluruh anggota keluarganya. Karman sendiri sangat bersyukur atas aturan-aturan yang diwariskan Sang Leluhur yang dirasakan sangat mempermudah hidupnya. Contohnya, aturan untuk menjaga kekeluargaan antarpenduduk dan gotong royong. Berkat aturan inilah, Karman tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membangun rumah barunya.
Semangat kekeluargaan orang Kuta memang menjadi modal utama mereka. Terutama saling menutupi kesenjangan antarwarga. Bahkan, mereka secara teratur menyumbangkan sebagian padi hasil panen. Dan dibagikan secara bergiliran setiap bulan. Dengan semangat ini pula, pasangan pengantin baru, Yoyoh dan Rustomo, merasakan berkah yang sama dengan Karman. Buktinya, para penduduk dengan sukarela membantu membangun blandongan atau panggung kayu tempat acara tabuhan yang memeriahkan hajat mereka. Tabuhan adalah acara musik dari tumbukan lesung dan alu yang diselenggarakan sebagai tanda syukur atas pernikahan mereka.
Dan saat fajar belum menyinari bumi, penduduk Kampung Kuta telah memenuhi rumah pasangan Yoyoh dan Rustomo dengan semangat untuk membantu. Ini adalah sesuatu hal yang kini sudah semakin jarang ditemui di tempat lain. Para pemain tabuhan pun begitu bersemangat menghentakkan alunya di dalam lesung meski kantuk masih dirasakan. Sesuatu semangat kemanusiaan yang begitu murni layaknya sinar mentari yang mulai menghangati bumi. Sehangat semangat orang Kuta memegang teguh adat warisan leluhur untuk melestarikan alam.(ANS/TIm Potret)

Sumber : http://sahamadaro.wordpress.com/2011/05/24/energi-terbaruken-pertamax-cap-tikus-240511/


Model Pengembangan Aren secara terpadu di kawasan Danau Tondano Minahasa

PROYEK TERPADU
PENANAMAN MASSAL POHON SEHO DI TANAH TOAR LUMIMUUT MINAHASARAYA SERTA MENJADIKAN DANAU TONDANO “GALILEA IN MINAHASA”
Setelah musibah banjir dan tanah longsor yang melanda Minahasaraya pada akhir tahun 2000, serta terpuruknya komuditi pertanian andalan Minahasa terutama cengkeh dan kelapa, sebagai salah satu pendiri LSPM-Minaesa (Lembaga Swadaya Pemberdayaan Masyarakat Minaesa) yang orientasi pada Pemberdayaan masyarakat Minaesa, maka munculah idea untuk memberikan perhatian khusus pada Pohon Seho/pohon aren (Aren/Arenca Pinata/Arenca Saccharifera), dan sejak saat itu pada setiap kesempatan kami mulai mensosialisasikan keunggulan dan manfaat dari pohon seho, baik dalam percakapan termasuk dengan Ketua Bapedal Sulut (saat itu) Bp. Kindangen yang ikut berpartisipasi pada sebuah seminar dengan tema “Environmental Management Challenges in the New Millennium - Preferably in North Sulawesi” pada November 2000, di Hotel Borobudur Jakarta, yang diadakan oleh kami LSPM-Minaesa bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) & Asian Development Bank (ADB) dimana Bp. AJ Sondakh Gubernur Sulut berpartisipasi sebagai nara sumber; sosialisasi langsung dengan masyarakat di Manado, Tondano, Tomohon, Tanawangko, Kawangkoan, Motoling, Tompasobaru, juga melalui forum diskusi pada media on line sepertihttp://www.sulutlink.com dan sulutlink maillist, juga padahttp://www.mdopost.net ; hal ini bukan untuk baku tunjung pande, tapi untuk salah satu wacana bagaimana upaya dari kita sendiri sebagai bagian dari masyarakat Minahasaraya untuk meloncat dari keterpurukan (paskah permesta sampai erah orde baru), sengaja mengunakan istilah meloncat karena dengan keterpurukan yang begitu parah, kita tidak bisa lagi hanya sekedar bangkit dan berdiri. Disamping tentunya mengharapkan masukan dan kritik sinergik untuk lebih menyempurnakan idea ini.
Beberapa Keunggulan Pohon Seho yang dapat kami inventarisir sebagai berikut:
Pelestarian Alam, Pencegahan Bajir & Tanah Longsor.
Penanaman & Pemeliharaan.
Nilai Ekonomi
Pelestarian Alam, Pencegahan Banjir & Tanah Longsor
Adanya bencana banjir dan tanah longsor di Manado pada akhir tahun 2000, serta bencana banjir yang melanda jakarta dan sekitarnya di awal tahun 2001 ini, menjadi semakin strategisnya usaha-usaha memperhatikan lingkungan hidup/pelestarian alam, karena selain HAM dan Demokrasi, isue ekologi (lingkungan hidup) adalah isue global saat ini dan kedepan, karena siapapun, institusional maupun perorangan sebesar apapun kekuasaannya baik pemerintah maupun negara, akan di gilas oleh zaman apabilah mengingkari ketiga hal tersebut. Dalam hal pelestarian alam/lingkungan hidup Pohon Seho memiliki tingkat keunggulan yang sangat besar, karena sangatlah efektif sebagai pencegah banjir dan tanah longsor, karena beberapa aspek sebagai berikut;
1. Memiliki kemampuan menahan terlama dan terbanyak volume air hujan di atas pohon saat hujan (setiap batang pelepah daun bisa menahan 1-2 liter selama beberapa jam, pada umur 5-7thn memiliki pelepah dari pangkal batang sampai ke ujung pohon) sehingga memberikan waktu yang panjang untuk tanah di bawah pohon untuk dapat menyerap lebih banyak air, dengan sendiri nya akan menyimpan air tanah yang paling banyak (sesuai penelitian sementara dari rekan-rekan geologist pohon seho bisa menyimpan/menyerap 200liter air). Dengan demikian akan sangat berperan untuk mencegah banjir, dalam umur 3 tahun saja sudah dapat menjapai tingkat maksimal peran penyerapan air.
2. Disamping sangat baik menyimpan air, Pohon seho juga sangatlah efektif menahan tanah, karena sangatlah dalam menancap kedalam tanah, dapat dilihat dari kebiasaan orang tua di tanah minahasa dalam melarang berteduh dibawah pohon seho pada saat hujan berpetir. Hal lain yang memperlihatkan kuatnya pohon seho menahan pada saat banjir dan tanah longsor melanda Minahasa pada akhir tahun 2000, ada satu lokasi tanah longsor didaerah setelah Motoling, Minahasa selatan, ada tebing di sebelah kanan jalan yang sangat mencolok tanah longsornya, tebing yang tidak terjadi longsoran hanyalah yang ada rumpunan seho.
3. Dengan sifatnya yang banyak menyimpan air dapat menyuburkan pohon dan tanaman lainya yang ada dibawah atau disekitar pohon seho, dengan demikian untuk dijadikan tanaman perintisan pada lahan-lahan gundul, pohon seho akan tetap tumbuh dan tetap memberikan nilai ekonomi meskipun nantinya telah tertutupi oleh pohon lainnya yang tumbuh menyusul, karena pohon seho memiliki batas ketinggian dan akan selalu tumbuh dan mati setelah mencapai umur dan ketinggian tertentu.
Penanaman dan Pemeliharaan.
Sangat mudah dalam penanaman dan nyaris tidak memerlukan tenaga dan biaya pemeliharaan dapat di uraikan sebagai berikut;
1. Dapat ditanam di tengah hutan, semak belukar atau dibawah pohon lainnya, sehingga dapat ditanam ditengah hutan sekalipun, hal ini akan menciptakan pemerataan dan keadilan karena mereka yang tidak memiliki tanah dapat diberikan ijin mengolahnya di hutan serta tanah status tanah negara serta tanah terlantar lainnya.
2. Akan hidup dengan subur baik di tanah berair (litir sawah), berpasir, berbatu dll, sangking fleksibelnya perna ada ungkapan bahwa “pohon seho itu, jangankan di tanah berbatu, ditanam dibatu batanah pun hidup”.
3. Dapat menjadikan Cengkeh, Pala dan Kelapa tanpa perawatan, dengan menanam pohon seho dibawah pohon cengkeh, pala dan kelapa yang telah berumur belasan tahun, khusus untuk pohon cengkeh dan pala terbukti secara komparatif pohon seho terbukti dapat menyuburkan kedua pohon tersebut hal lain yang memungkinkan untuk penanaman pohon seho dibawah pohon cengkeh, pala dan kelapa karena ketiga pohon tersebut boleh dikata tidak memiliki batas pertumbuhan meninggi sedangkan pohon seho memiliki batas pertumbuhan meninggi, serta setelah mencapai umur tertentu akan mati dan membusuk..
4. Nyaris tanpa biaya dan tenaga dalam perawatan, satu-satunya yang perlu dan harus dilakukan pada kira-kira berumur empat tahun memanen gomutu/ijuk (gomutu memiliki nilai ekonomi yang sangat menjanjikan, akan diuraikan secara khusus) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan karena gomutu sangat mudah terbakar hanya dengan tersulut putung rokok, jadi perawatannya adalah memenen hasil.
5. Untuk keanekaragaman hayati pada kira umur empat tahun bisa dilakukan tumpangsari dengan kayu-kayu tradisional Minahasa seperti linggua, cempaka, nantu, kayuwesi, kayu kapal (bahan baku kapal kayu, ditanam khusus pada daerah sampai 5km dari pinggir pantai, untuk memudahkan tranportasi), mahoni dll. Pohon-pohon kayu ditengah pohon seho akan sangat baik sebagai bahan kayu karena pohonnya akan lurus tanpa cabang sampai melampaui ketinggian pohon seho
Nilai Ekonomi
Disamping memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, apabilah di lakukan penanam secara massal akan mendorong dan menjadikan sangat fisibel beberapa mega proyek sebagai berikut;
1. Mega Industri Biokimia Ethanol serta bahan turunan ethanol lainnya sangat dibutuhkan sebagai bahan dasar pada industri farmasi, industri makanan dan industri kimia lainnya, ethanol kini dijadikan sebagai bahan bakar kendaraan masa depan, yang sangat ramah lingkungan, sedang dalam uji jalan dalam bentuk bis di singapore dan mobil di Eropa dan Amerikan yang disebut Necar (New Elektronik Car) dan Nebus (New Elektronik Bus). Sebagai bahan bakar kendaraan, akan sangat menjanjikan dengan tingkat permintaan yang sangat dasyat. Brasil saat ini menjadi negara terdepan dalam penerapan ethanol sebagai bahan bakar, yang kini penerapannya telah sampai penggunaannya di pesawat terbang. Sedangkan dari segi suplay/ketersediaan, dari penelitian awal kami dilapangan pada pembuatan captikus dengan tingkat alkohol 40% - 50% setiap pohon biasanya menghasilkan 3liter captikus sehari semalam, maka untuk mendapatkan alkohol dengan tinggat 96%, maka setiap hari setiap pohon menghasilkan 1liter s/d 2liter Ethanol, sedangkan potensi ethanol pada air nira aren ada ada 2 versi, menurut miller 15.13%, sedangkan menurut dachlan 11.30%, 1 pohon aren di Minahasa menghasilkan 25 s/d 45 liter air nira per hari (umumnya literatur yang ada di jawa 3 s/d 7 liter per pohon per hari), dengan 25 liter akan menghasilkan lebih dari 2 liter ethanol per pohon per hari. Minahasaraya (Minahasa, Manado, Bitung) dengan luasnya apabilah ditanami pohon seho dengan jarak 5 meter, berpotensi ditanami lebih kurang 300 juta pohon, kalau kita kurangkan dengan area pertanian produktif lainnya dan pemukiman, dan kita ambil sepertiganya, lebih kurang 100 juta pohon, dengan hitungan 1 pohon 2liter per hari, maka kita akan memperoleh lebih dari 200 juta liter perhari, dengan 1barel sama dengan lebih kurang 153liter maka kita akan mengahasilkan lebih dari 1juta Barel Ethanol perhari, maka kita akan lebih hebat dari negara minyak manapun. Dari sisi pendapatan rakyat, pada 1ha dengan jarak 5meter polah tanam ber jenjang setiap 2 tahun menanam dicelanya dengan jarak yang sama sampai 4kali/8tahun maka pada tahun ke 9 akan dipanen 400 pohon, tahun ke11 menjadi 800 pohon, bila kita ambil rata-rata setiap pohon di panen selama 3tahun, maka pada tahun ke13 dan seterusnya tetap dengan 1.200 pohon. Dengan sistim pipanisasi langsung dari atas pohon ke kilang, apabilah setiap pohon dibayar rp1000/hari dengan tingkat uang sekarang, maka setiap ha akan memberikan hasil Rp1.200.000/hari sama dengan Rp36juta per bulan, dan pertahunnya menjadi Rp 430.000.000 per hektar per tahun. Dari segi lapangan kerja, apabila kita asumsikan setiap 100.000 pohon seho sama dengan 1kilang/pabrik, maka dengan 100 juta pohon harus dibuat 1000 kilang/pabrik, maka dia akan menyerap seluruh angkatan kerja yang ada di Minahasaraya, malahan akan terjadi kekurangan tenaga kerja.
2. Mega Proyek Listrik Danau Tondano, apabila penanaman masal pohon seho berhasil termasuk telah menghutankan seluruh perbukitan sekeliling Danau Tondano, untuk memenuhi kebutuhan dari ke1000 kilang/pabrik methanol tersebut, diperlukan daya listrik yang sangat banyak, sedangkan salah satu masalah kedepan adalah ketersediaan tenaga listrik serta sumber tenaga listriknya. Dengan letak Danau Tondano yang berada pada ketinggian lebih kurang 600 meter diatas permukaan laut dapatlah dikatakan bahwa Danau Tondano adalah Waduk Alam. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik tenaga air, perlu dilakukan pengerukan, kalau pada tahun enam puluhan kedalamannya mencapai lima puluhan meter, kini kedalaman air Danau Tondano tinggal belasan sampai dua puluh meter, maka untuk mengembalikan kedalaman air perlu dilakukan pengerukan sampai kira-kira tiga puluh meter, agar tidak menjadi persoalan dimana lumpur sedalam tiga puluh meter dikali luas, maka disamping pengerukan untuk mencapai kedalaman 50 meter, lumpurnya dijadikan tanggul setinggi 30 meter, maka air Danau akan menjadi sedalam 80 meter. Dengan luas danau lebih kurang 100.000.000 m2, kedalam 80m maka tanpa hujan selama 3tahun kita mendapatkan lebih kurang 80 m3 air per detik, bila setiap terowongan air berkapasitas 5 m3 per detik, maka berpotensi untuk dibuat 16 terowongan air. Dari ketinggian 600 m diatas permukaan air laut, setiap penurunan 50m menuju laut dipasang 1bh turbin, maka setiap terowongan dapat dipasang lebih kurang 11turbin, dengan 16bh terowongan, maka dapat terpasang 176 turbin, turbin sebanyak ini bisa menghasilkan listrik dengan kapasitas yang sangat dasyat, bisa memenuhi kebutuhan listrik untuk 1000bh pabrik methanol dan dapat menerangi seluruh pulau Sulawesi.
3. Eksport Air Danau Tondano, sepulang dari Jerusalem/Israel akhir 2000, Om Vence (HN Sumual) mengkisahkan terpelihara dengan baiknya “Danau Galilea” serta manfaatnya sebagai sumber air tawar, mengilhami pemanfaatan air Danau Tondano setelah sebelumnya untuk tenaga listrik; dengan ketinggiannya dan jarak dengan garis pantai yang hanya kurang lebih 20km, air tawar/bersih Danau Tondano memiliki nilai ekonomi sangat tinggi terutama untuk komoditas eksport. Lebih kurang 3 bln sebelum lengsernya mantan presiden Gusdur perna berdialok dengan (kalau tidak salah) masyarakat Padang, Sumatera Barat yang di publikasikan pada media masa yang kebetulan saya ikuti melalui media elektroni/televis, perna bercerita bagaimana kapal tanker setelah mencurah minyak dari Arab di Tokio, balik dan mampir di Riau untuk membeli air tawar dan di kirim ke Arab. Karena kedepan Air Tawar menjadi komuditas yang semakin langkah dan sangat bernilai, mengapa tidak kalau kita membuat pelabuhan khusus air tawar sebagaimana pelabuhan khusus minyak, bila ditarik garis lurus dari danau kurang lebih di sekitar desa Sawangan, kecamatan Kombi. Kalau di Riau, untuk mengisi satu buah tanker sampai beberapa hari, maka dengan kapasitas 80m3 per detik, maka hanya dalam beberapa jam bisa memenuhi beberapa buah kapal tanker sekaligus. Bila ini terwujut akan menjadi pelabuhan air tawar pertama terbesar di dunia. Bila di Riau di beli dengan beberapa US$ per meter kubik, dengan kita menjual seharga US$ 0.50 saja, maka setiap detik US$ 40, satu harinya US$ 3,500,000.00, bilah kurs hari ini lebih kurang Rp 10.000, maka ekuvalen dengan dengan Rp 36,6 milyar per hari, dan pertahunnya Rp 13,3 triliun. Bila separuhnya untuk biaya operasional dan angsuran pinjaman, maka lebih kurang Rp 7 triliun pertahun dana untuk kesejateraan masyarakat Minahasaraya, setiap hari bisa dibangun border school dari tk sampai perguruan tinggi di setiap kecamatan gratis.
4. Sirkuit Balap Formula & Toll Outo Ring Roud Danau Tondano, dari proses pengerukan dan pembuatan tanggul disekeliling danau Tondano, tanggul tersebut dapat sekalian dibuat menjadi Serkuit Balap Formula, sekaligus Toll Outo Ring Roud, artinya pada saat tidak ada event balapan maka akan berfungsi sebagai jalan toll. Dengan adanya sirkuit berikut jalan toll dimungkingkan berkembangnya wisata, yang berguna untuk pemberdayaan masyarakat di seputaran danau yang akan digusur dengan proses, bukan ganti rugi tapi ganti untung, artinya pada saat tepian danau di sterilkan dari pemukiman penduduk, maka rakyat diseputaran danau dipindakan menjauh + 2 km dari danau, yang telah disediakan rumah tinggal idial berikut sejumlah kamar sewa (cottage) sesuai kemampuan olah keluarga. Menajemen dilakukan secara masal terutama untuk menampung wisata outomotif pada saat ada kegiatan balap.
Selain hal-hal tersebut diatas bersama ini paparan beberapa dari sekian banyak nilai ekonomi pada pohon seho sebagai berikut;
1. Pada kira-kira umur empat tahun, disamping untuk menghindari kebakaran karena sifatnya yang mudah menyalah walau hanya tersulut puntung rokok sekalipun, gomutu/ijuk menjanjikan nilai ekonomi yang sangat tinggi walau diperlukan usaha kampanye penggunaannya, karena kita tahu bersama disamping penggunaan yang secara tradisionil kita manfaatkan untuk tali, sapu lantai, sikat, matras, resapan pada sepitank, dll, ada penggunaan yang sangat besar yang selama ini telah tergantikan dengan serat nilon dan lainnya, yaitu pada pembuatan air port, lapangan golf, landsceping, pelabuhan/pengurukan dll, tergantikan oleh produk sintetis karena selama ini tidak ada yang dapat memasok dengan jumlah yang mencukupi, untuk mengembalikan peran gomutu, sebagai LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) lingkungan hidup, serta adanya Om Johan (Dr Johan BP Maramis) sebagai Duta Besar dan tokoh UN (United Nation; Perserikatan Bangsa-bangsa) pada jajaran Majelis Luhur, kami akan memanfaatkan jaringan NGO seperti Greenpeace dan institusi lingkungan hidup lainnya seperti UNEP (United Nations Environment Program) dll, untuk mendesak penggunaan gomutu pada proyek tersebut diatas, termasuk mengusahakan pembiayaan ke empat mega proyek tersebut diatas, terutama melalui institusi dibawah UN seperti World Bank, ADB, UNDP dll; apabila program penanaman masal seho telah berhasil dan berproduksi.
2. Lidi hitam sebagai limbah sampingan dari gomutu perlu dilakukan penelitian kusus karena seperti yang dilakukan leluhur/orang-orang tua dulu pada waktu korek api masih barang mahal, apabila kekebun dan perlu membawa api maka mereka menggunakan lidi hitam yang dibakar dan berbara unjungnya untuk kemudian dibuat api di kebun, kenapa tidak diteliti khusus untuk dijadikan dupa yang dipakai sebagai sakramen oleh Umat Bhuda dan Konfutsu, apabilah mungkin ini akan memberikan nilai yang tidak sedikit.
3. Lidi/batang daun disamping yang selama ini hanya dipakai untuk sapu lidi, dimungkinkan untuk bahan handycraf, bahan tambahan pada furitur, tusuk sate, tusuk gigi dll, serta penggunaan lain yang dapat mengankat nilai ekonomi lainnya.
4. Pulingka/buah enau, disamping yang selama ini dikenal dengan kolang kaling sebagai bahan makanan perlu dilakukan penelitian khusus untuk produk makanan lainnya. Hal lain dari pulingka selama ini penyebarannya dihutan dilakukan oleh babi hutan karena menjadi makanan kesukaannya, karena kita berhadapan dengan produksi yang sangat banyak perlu dilakukan penelitian lanjutan sebagai bahan pakan ternak, terutama penelitian pada kulit/gadingnya untuk kandungan kalsium sebagai komponen penting pada pakan ternak menggantikan fish mills (tepung ikan).
5. Saguer/Airnila, disamping apa yang sudah dijelaskan khusus diatas pada Mega Industri Biokimia Ethanol dengan turunan alkohol lainnya, juga yang kita telah ketahui bersama produk dalam bentuk Gulamerah/gulabatu/gulaaren (palm sugar), perlu pengembanagan khusus misalkan dalam bentuk minuman segar kemasan bervitamin non alkohol (Softdrink), juga dapat langsung dijadikan permint dll.
6. Serat seho, yang terdapat pada tengah batang seho dulunya sering digunakan untuk sebagai ikatan pancing karena kuatnya, karena kuatnya dimungkinkan untuk dijadikan kulit semi sintetis atau karpet dan lain sebagainya.
7. Seluruh isi dari batang pohon seho yang sudah diambil saguernya, karena volumenya sangatlah banyak apabilah penanaman masal berhasil dimungkinkan untuk dijadikan palp untuk industri kertas dll.
8. Nibong/batang keras pohon seho, penggunaannya saat ini yang masih sangat terbatas hanya untuk batang kapak, pada saatnya nanti dengan jumlah yang sangatlah banyak dapat dibuat menjadi furniture dan bahan bangunan(termasuk sebagai tiang pancang untuk pondasi), serta bahan seni dll.
LAIN-LAIN
Hal lain yang bisa dilakukan apabilah penanaman seho ini telah dilakukan adalah pada saat pohon seho yang ditanam secara masal telah mencapai umur 4 s/d 5 tahun, maka masyarakat Minahasaraya telah memberikan andil pada pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan, disamping kita bisa mendapatkan proyek-proyek hiba, berikut dimungkinkan pemotongan/penghapusan utang luar negeri proyek infrastruktur di Minahasaraya seperti hutang luar negeri pada proyek pelabuhan Bitung dan air port Sam Ratulangi melalui pola Debt Swap Natural (DSN) untuk Program Pembangunan Berkelanjutan. Lewat institusi LSM juga, kami bisa melakukan penekanan pada Pemerintah Pusat melalui Departmen Kehutanan untuk menyalurkan dana reboisasi ke rakyat Minahasaraya, dari pada dana tersebut digunakan pada pembuatan pesawat untuk ditukar pulo (beras ketan), melakukan pembibitan kayu-kayu tradisionil seperti kayu cempaka, kayu linggua, kayu besi, kayu nantu, kayu kapal dll, dan dibagikan secara gratis kepada masyarakat untuk ditanam pada sela-sela pohon seho dengan jarak 10m x 10m (100 pohon perhektar). Khusus untuk daerah sampai 5 km dari garis pantai ditanami kayu kapal, untuk industri pembuatan kapal kayu. Kalu ini berhasil kita akan menjadi satu-satunya didunia yang memiliki hutan rakyat masal didunia serta akan menjadi pusat industri kapal kayu terutama kapal untuk penangkapan ikan.
Dewan Pembina LSPM-Minaesa
1. HN (Vence) Sumual Ketua Dewan Pembina
2. Johan BP Maramis Wakil Ketua Dewan Pembina
3. Bert Supit (Budayawan) Anggota Dewan Pembina
Badan Pengawas
1. Benny E Matindas
2. Eddy Tumengkol
Jakarta, 07 Februari 2001
Badan Pengurus
Franky HT Maramis.
Ketua Umum
alamat:
Jl. Bekasi Timur IV/3A, Cipinang Besar, Jakarta 13410
Tlp. 62 21 8503924; 62 21 819 0018
Hp. 62 816 19 444 73
Sumber : http://minahasaraya.blogspot.com