......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Rabu, 25 Juli 2012

Gula Semut produksi Pak Sugiyo dari Kulonprogo

Proses pembuatan Gula Semut


Ide selalu saja muncul dalam diri Sugiyo (55). Pengusaha yang mengakomodir kebutuhan petani ini, tak ingin statis dalam menjalani hari demi harinya. Sebagai seorang pengusaha, ia sadar, sebuah inovasi selalu mendatangkan dampak yang baik. Tak terkecuali dengan ide membuat gula kristal, atau bisa disebut gula semut, selama 10 tahun terakhir.


Saat anak-anak memulai rutinitas belajar di sekolah, beberpaa ibu bergegas ke sebuah rumah produksi di Penggung, Hargorejo, Kokap, Kulonprogo. Meski mayoritas warga menjadi petani, beberapa perempuan yang tidka mau menggantungkan hidupnya pada suami, memilih bekerja menjadi buruh di rumah produksi Kelompok Tani Sumber Rejeki yang dikelola oleh Sugiyo.

“Berangkat pagi, setelah anak-anak ke sekolah. Pokoknya setelah urusan di rumah selesai, ujar Murdiningsih (48), salah satu pekerja di tempat tersebut.

Sekitar 10 tahun, Murdiningsih menjalani aktivitas sebagai pembuat gula semut di tempat itu. Sebelumnya, ia hanya memproduksi gula bathok (gula Jawa) di rumahnya dalam skala kecil.
Murdiningsih harus bekerja karena sang suami telah tiada. Meski demikian, bukan berarti kebutuhan rumah tangga sehari-hari ia tanggung sendiri.

“Syukurlah, anak saya yang pertama sudah bekerja, sudah punya anak dan tinggal sendiri. Tapi kadang pulang ke rumah seminggu sekali,” ujar ibu dua anak tersebut.
Sehari-hari, Murdiningsih bekerja mengaduk olahan gula bathok yang sudah matan guntuk kemudian dikeringkan. Dengan alat masak tradisional, berupa tungku dan kayu bakar, para pekerja yang berada di dapur memaksimalkan hasil.

Dalam proses pembuatan gula semut, bahan bakunya bisa menggunakan legen atau gula bathok. Menurut Murdiningsih, kebanyakan bahan baku yang kini digunakan adalah gula bathok. Kalau legen panasnya lama. Berbeda dengan gula bathok. Kita panaskan dan proses pengeringan bisa seitar satu jam saja,” tuturnya.

Begitu pula bathok panas dan mencair, baru kemudian diaduk-aduk hingga kering. Setelah kering, gula terebut diayak dengan alat ayak hingga terpisah, mana yang bubuk lembut dan yang masih kasar. Yang lembut kemudian dimasak, sedangkan yang amsih kasar dipisah, kemudian bisa dipakai lagi untuk dicampur dengna gula bathok cair.

“Kalau untuk memasak gula smut yang sudah kering, kita gunakan oven,” tutur Sainem, istri Sugiyo.
Ia tak hanya memanfaatkan alat tradisional saja, melainkan juga laat-alat modern dengan mesin. Bahkan tidak hanya oven yang mereka gunakan, beberapa alat modern seperti mesin parut pun sudah tersedia. Hal tersebut disediakan untuk mempercepat proses produksi.

Mesin parut diguankan untuk memarut campuran gula semua yang meliputi kencur, jahe, kunyit dan lainnya. Setelah diparut, campuran tersebut dicampur dengan air, diperas baru kemudian dimasukkan dalam gula bathok yang sudah dimasak (dalam bentuk cair).

Inovasi
Dalam kurun waktu yang lama, Sainem mengaku, inovasi yang dilakukan Sugiyo memang berdampak baik. Jika dulunya hanya rasa jahe, gula semut produknya kin memiliki aneka macam rasa. Termasuk kencur, lengkuas, kunyit, temulawak dan lain-lain.

Menurut Sugiyo yang pernah mencetak rekor MURI sebagai pembuat gula bathok terbesar pada 2002 tersebut, inovasi dilakukan untuk mengembangkan usahanya. Tak hanya sebatas mencari untung, Sugiyo juga mencari pekerja yang terampil.

Keluhan selalu ada dalam setiap usaha. Masalah cuaca, bahan baku, modal hingga tenaga kerja. Untuk yang terakhir, Sugiyo sempat mengalami kewalahan karena ia mempercayakan home industry-nya kepada para pekerja yang tinggal di wilayah setempat.

Delapan orang, sebagian besar perempuan, menjadi buruh pembuat gula semut. Dua di antaranya laki-laki. Para laki-laki cenderung untuk bekerja pada aktivitas yang berat. Sedangkan perempuan, memasak, mengaduk dan mengemas gula kristal.

Meski ada yang baru saja bekerja selama dua minggu, Sugiyo mengaku,a sal ketrampilannya bagus, tak masalah.

“Sejauh ini belum ada keluhan dari para pekerja. Malahan, saya yang mengeluhkan mereka. Masalah disiplin waktu,” terang Sugiyo.

Ngasiyem (52), pekerja lain yang berada di tempat tersebut mengaku, adanya kegiatan kerja bakti 
atau hajatan di desa setempat sering mengganggu kerjanya.

“Kalau hari Minggu kami tetap bekerja. Seperti biasanya,” tuturnya.

Dari pukul 08.00 hingga 16.00 WIB, para pembuat gula semut tersebut bekerja. Dengan diiringi istirahat, emreka senantiasa bersenda gurau. Seakan-akan menikmati pekerjaannya, Murdiningsih dan Ngasiyem, seolah melupakan masalah di rumah.

Dengan tempat yang terlalu luas, keheningan di rumah produk yang juga meruapkan rumah Sugiyo tersebut, membuat para pekerja merasa nyaman.

Sumber : http://kertasbiasa.blogspot.com/2011/07/proses-pembuatan-gula-semut.html

UGM mulai membina Perajin Gula Semut di Kulon Progo

Rumah Produksi Gula Semut Binaan UGM dan SIKIB Diresmikan


Ketua II Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Ratna Djoko Suyanto meresmikan Rumah Produksi Gula Semut “Mbok Tani” Desa Sejahtera Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, Sabtu (18/2). Rumah Produksi Gula Semut merupakan hasil pengembangan antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM bekerjasama dengan SIKIB. Disamping persemian Rumah Produksi Gula Semut juga diresmikan program Sanitasi Masyarakat (Sanismas) dengan pembangunan fasilitas sanitasi (MCK).

“ Dengan adanya rumah produksi gula semut ini diharapkan dapat meningkatkan produksi gula semut sehingga dapat meningkatkan kesejahteraaan masyarakat Hargotirto,” jelasnya.

Program kerjasama SIKIB, UGM, dan masyarakat dalam pengembangan industri gula kelapa atau yang dikenal dengan gula semut ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat sejahtera. Selain itu, adanya rumah produksi gula semut ini diharapkan mampu mencukupi kebutuhan gula nasional. Upaya pengembangan industri gula semut di wujudkan dengan memberikan bantuan alat produksi dan sarana rumah produksi.

“ Alat produksi ini merupakan bantuan dari Presiden semoga benar-benar memberikan manfaat,” katanya.

Ratna menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan yang cukup pesat di Desa Hargotirto sejak diresmikan sebagai Desa Sejahtera pada 2010 silam. Perubahan tersebut tidak lepas dari peran UGM dan pemerintah kabupaten Kulon Progo dalam memajukan masyarakat Hargotirto. “Upaya UGM dalam mempelopori gerakan kepedulian masyarakat melalui KKN PPM telah menjadi inspirasi nasional yang telah diadopsi seluruh kampus di Indonesia,”katanya.

Ketua LPPM UGM, Prof. Dr. Ir. Danang Parikesit., M.Sc., juga menyampaikan hal senada bahwa telah terjadi banyak perubahan pada masyarakat Hargotiro baik dari cara berpikir maupun semangat yang dimiliki. Melihat hal ini LPPM UGM secara perlahan akan mulai melepas pembinaan yang telah dilakukan.

“Keberhasilan ini tak lepas dari semangat masyarakat yang sangat luar biasa. Tanpa antusiasme masyarakat disini, UGM tidak akan bisa mendorong, memberdayakan, dan memandirikan masyarakat. Semangat inilah yang patut untuk ditularkan ke desa-desa lain” ungkapnya.

Menurutnya pengembangan masyarakat yang sukses terwujud apabila program pemberdayaan dilakukan dengan memperhatikan potensi di setiap daerah. Untuk itu penting bagi perguruan tinggi mengetahui secara pasti potensi yang dimiliki masyarakat sehingga apa yang dikembangkan sesuai dengan potensi masing-masing daerah.

Bupati Kulon Progo, dr. hasto Wardoyo, Sp.OG., dalam kesempatan tersebut menyampaikan rasa terima kasih atas pengembangan industri gula semut dengan pendirian sarana rumah produksi dan pembuatan alat produksi. Ia berharap pengembangan ini bisa membawa manfaat yang lebih besar bagi peningkatan semangat dan motivasi masyarakat serta pemerintah kabupaten Kulon Progo dalam membangun daerah.

Kecamatan Kokap merupakan daerah yang memiliki sumber daya tanaman kelapa yang cukup besar, salah satunya di Desa Hargotirto. Di desa ini terdapat 70 kelompok penyadap nira (penderes) dengan jumlah kelapa sebanyak 16.815 pohon. “ Kami sangat berterima kasih atas peresmian rumah produksi ini, harapannya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena sebagian besar masyarakat penyadap nira merupakan masyarakat pra sejahtera,” jelasnya.

Sementara Manajer Pelayanan Masyarakat LPPM UGM, Adi Wibowo, S.T., menuturkan pengembangan gula semut untuk mengatasi rendahnya produksi gula semut karena proses pengolahan masih dilakukan secara konvensional terutama pada proses pengentalan, pengkristalan, dan pengeringan. Pengolahan dilakukan secara manual dengan sistem batch dan kapasitas tiap batch relatif rendah.

“Aplikasi teknologi pengolahan gula semut secara moderen dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas, higienitas,dan kontinuitas sehingga dibuat unit pengolahan gula semut dengan proses kontinu dan peralatan didesain menggunakan bahan stainless steel food grade,” urainya.

Adi memaparkan bahwa selama ini para perajin gula semut dalam pengolahan masih menggunakan alat tradisional, belum dengan stainless steel sehingga higientias produk belum terjaga. DIsamping itu pengolahan manual juga tidak efisien karena membutuhkan banyak tenaga kerja dan proses pengolahan yang memakan waktu.

Pada pengolahan secara konvensional,untuk mengolah 15-20 liter nira yang nantinya akan menghasilkan 3,5 kg gula semut membutuhkan waktu 6-8 jam. Sementara pada pengolahan dengan alat hanya membutuhkan waktu 2-4 jam untuk mengolah 105-120 liter nira menjadi 17,5-20 kg gula semut.

“Penggunaan alat ini juga mampu menaikkan kapasitas produksi. Dari satu kali produksi dihasilkan sekitar 20 kg gula semut, sementara dengan proses manual dalam satu kali produksi hanya akan dihasilkan 1 kg gula semut,” jelasnya.

Adi menambahkan pengolahan dengan alat juga bisa menghemat penggunaan energi dan biaya. Untuk mengolah 80 kg gula semut dengan cara manual membutuhkan 2 meter kubik kayu bakar seharga Rp. 140.000,-, sedangkan pengolahan dengan alat hanya membutuhkan energi dengan biaya Rp. 100.000,-.

Rumini (35), dari Kelompok Usaha Tani Anggrek mengaku senang dengan diresmikannya rumah produksi gula semut. Ia sangat berharap dengan adanya alat produksi ini bisa meningkatkan kapasitas produksi gula kelapa kelompok-kelompok petani di wilayah Hargotirto.

Rumini menuturkan dengan pengolahan secara konvensional yang selama ini mereka lakukan hanya bisa menghasilkan sekitar 3 kilo gram per hari. “ Kalau biasanya kami hanya bisa memproduksi gula semut sekitar 3kg setiap harinya. Dengan alat yang ada saat ini mudah-mudahan hasil produksinya bisa lebih meningkat ,” tukasnya senang.

Selain itu, Rumini juga berharap dengan pengolahan menggunakan alat mampu menaikan harga jual dari gula semut. Biasanya ia membeli gula semut dari petani seharga Rp. 12.000,- per kilo gramnya. “ Melalui pengolahan ini semoga hasilnya bisa lebih berkualitas sehingga mampu menaikkan harga jual,” harapnya

Pernyataan serupa disampaikan Biyantoro (52), Kelompak Tani Aneka Karya. Biyantoro meyambut gembira dengan didirikannya rumah produksi gula semut ini. Adanya alat pengolahan bantuan tersebut selain dapat meningkatkan kapasitas produksi juga dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan. “Selama ini untuk mengolah nira menjadi gula semut, masyarakat menggunakan kayu bakar untuk bahan bakar. Setelah ada alat ini harapannya bisa mengurangi penebangan dan penggunaan kayu sehingga alam tetap terjaga,” tuturnya. (Humas UGM/Ika)

Sumber : http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4455

Kopi Gula Aren bagi Penderita Diabetes

 

Kopi Gula Aren bagi Penderita Diabetes

Penulis : Gandang Sajarwo


Dengan kreativitas hal sederhana menjadi terasa istimewa. Sari Nira Coffee atau kopi gula aren misalnya, selain nikmat dengan rasa khas gula aren, minuman ini juga kaya zat besi dan rendah glikemiks sehingga cocok bagi penderita diabetes.

Sang kreator kopi gula aren, Rehan Abdullah, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, UGM mengatakan, ide untuk membuat kopi gula aren muncul setelah melihat banyak anak-anak muda yang nongkrong di kafe dan restoran makanan siap saji sambil menikmati kopi dengan pemanis brown sugar atau gula pasir yang diimpor dari luar negeri.

"Padahal bahan baku brown sugar berasal dari gula semut dari Indonesia yang diolah di Singapura. Berangkat dari keprihatinan ini kemudian saya mencoba menghubungi para petani penyadap nira di perbukitan Menoreh, Kulon Progo, Yogyakarta, untuk diajak mengolah gula batok jadi gula semut," kata Rehan yang ditemui di sela pameran Research Week UGM, Kamis (19/7/2012).

Lebih lanjut Rehan mengatakan, kopi gula aren memiliki cita rasa kopi khas Indonesia dengan sensasi kopi robusta yang dipadu dengan gula aren Kristal kelas premium. Karena gulanya terbuat dari air nira, sehingga tercipta rasa khas gula aren dalam setiap sajiannya.

Namun tidak hanya cita rasa gula aren sebagai keunggulannya, kopi yang satu ini juga bermanfaat untuk kesehatan. Gula aren diketahui menggandung kadar zat besi cukup tinggi dan tidak menaikkan kadar gula dalam darah sehingga cocok untuk minuman anti-diabetes.

"Gula semutnya kita ambil dari kualitas terbaik, dari Menoreh, Kulon Progo. Sedangkan krimernya dari lemak nabati gandum dan kopinya kita ambil jenis kopi robusta. Indeks glikemiks gula aren sangat rendah dibanding dengan gula tebu, sehingga sangat baik bagi penderita diabetes," katanya.

Kini gula semut tersebut dipasarkan dengan produk kopi gula aren "Kristal" dengan merk dagang Sari Nira Cofee. Setiap cup ukuran 32 gram dijual seharga Rp 2.500. Selain itu, bagi yang memesan khusus gula aren Kristal dengan ukuran 200 gram dijual dengan harga Rp 10 ribu. "Umumnya pesanan kita adalah kafe-kafe di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Gresik dan Malang," katanya.

Sumber : http://health.kompas.com/read/2012/07/19/16291726/Kopi.Gula.Aren.bagi.Penderita.Diabetes

Sari Nira Coffee : Kopi krimer dan Gula Aren yang menyehatkan


Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rehan Abdullah, berhasil menciptkan produk kopi yang ramah bagi penderita diabetes. Rehan menamai racikan kopinya itu Sari Nira Coffee. Pemanisnya menggunakan bahan gula aren kristal atau yang biasa disebut gula semut.

»Gula semut diambil dari sentranya di Menoreh, Kulon Progo, sedangkan creamer-nya dari lemak nabati gandum dan kopinya dari jenis robusta,” kata Rehan, Jumat, 20 Juli 2012.

Pria asal Gresik, Jawa Timur ini mengatakan, kopi ciptaaannya itu memiliki cita rasa khas karena ada gula yang dihasilkan dari air nira. Selain membuat aroma berbeda, gula aren mengandung zat besi yang tinggi. »Jadi, tidak akan menaikkan kadar gula dalam darah sehingga cocok untuk minuman antidiabetes,” kata dia. Berdasarkan penelitian, gula aren memiliki indeks glikemiks sangat rendah dibanding dengan gula tebu.

Rehan menuturkan ide membuat kopi gula aren ini muncul setelah melihat banyak anak muda yang nongkrong di kafe dan restoran fastfood sambil menikmati kopi dengan pemanis brown sugar impor. »Padahal, bahan baku brown sugar berasal dari gula semut dari Indonesia yang diolah di Singapura,” kata dia.

Berangkat dari kegelisahannya itu, Rehan kemudian mencoba menghubungi para penyadap nira di perbukitan Menoreh, Kulon Progo, untuk diajak mengolah gula batok menjadi gula semut. Produknya itu kini telah banyak didistribusikan ke sejumlah kota seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Gresik, dan Malang.

PRIBADI WICAKSONO

Sumber : http://id.berita.yahoo.com/mahasiswa-ugm-ciptakan-kopi-untuk-penderita-diabetes-101907700.html