......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Rabu, 29 Februari 2012

Palm Wine dari Nira Aren

Palm Wine dari Nira Aren

Palm wine atau anggur palma adalah anggur yang diproses menggunakan nira aren sebagai bahan baku, kemudian difermentasi menggunakan mikroba seperti ragi roti ataupun kultur murni Saccharomyces cereviceae dan S. ellipsoides. Sebagai bahan baku palm wine dibutuhkan nira segar (belum difermentasi), oleh karena itu diperlukan bahan pengawet selama penyadapan nira. Sabut kelapa dapat digunakan sebagai pengawet alami karena mengandung tanin yang dapat menghambat aktifitas mikroba. Nira aren yang menggunakan sabut kelapa sebagai pengawet dapat bertahan lebih dari tiga jam setelah penyadapan dan warna nira berubah menjadi coklat kemerahan, sehingga memberikan warna alami pada palm wine.

Pengolahan palm wine skala laboratorium, terdiri atas dua tahap, yakni pembuatan starter dan pembuatan palm wine. Pembuatan starter diawali dengan penyaringan nira aren, dan pengaturan kadar gula nira dari 11-15% menjadi 2%, nira dipanaskan sampai mendidih dan didinginkan. Nira diinokulasi dengan kultur murni ragi S. cerevisiae atau S. ellipsoides, dengan takaran 3 g/100 ml nira, dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang.

Pengolahan palm wine dilakukan dengan cara menyaring nira dan penyesuaian kadar gula nira aren menjadi 15%. Nira dipanaskan sampai mendidih, didinginkan dan diatur kemasamannya menjadi pH 4,0-4,5 dengan penambahan asam sitrat, kemudian nira aren diinokulasi starter dengan takaran 10% v/v dan difermentasi, dilanjutkan proses penuaan selama 3 bulan. Pada pengolahan palm wine, untuk menghindari kontaminasi selama proses fermentasi dan penuaan. Palm wine yang menggunakan ragi S. cerevisiae berwarna merah, mengandung gula 3,3-3,8%, pH 3,9-4,1 dan kadar alkohol 7 %. Sedangkan yang menggunakan ragi S. Ellipsoides, berwarna merah, mengandung gula 10,4%, pH 4,3 dan kadar alkohol 1,6%. Palm wine mengandung total asam 9,2-12,3 meq/100 ml, total mikroba 6,0-9,2 koloni/ml dan asam volatil sebagai asam asetat 0,01-0,04%. Palm wine yang menggunakan ragi S. Ellipsoides mempunyai rasa seperti hasil fermentasi buah anggur.

Palm wine yang dihasilkan berwarna merah kecoklatan sebagai akibat tanin yang terkandung dalam sabut kelapa yang digunakan sebagai pengawet pada saat penyadapan nira. Dari aspek bau dan rasa, palm wine dari nira aren yang diolah menggunakan kultur murni S. ellipsoides lebih disukai dibanding dengan palm wine yang diolah menggunakan dua stater lainnya. Palm wine yang diperoleh termasuk minuman beralkohol dengan kandungan asam volatil berada di bawah standar yang ditetapkan, yaitu 0,20%.

Palm wine dari nira aren


Sumber : http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149%3Apalm-wine-dari-nira-aren&catid=46%3Apaket-teknologi-pasca-panen&Itemid=80&lang=en


Sabtu, 04 Februari 2012

Gula Aren Cair

Gula Aren Cair

Pendahuluan

Berbagai variasi Gula dibedakan berdasarkan karakteristik fungsinya yang berbeda-beda, gula digunakan dalam berbagai persiapan makanan, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan gula yaitu:

Gula putih, yaitu gula yang pada umumnya berbentuk granula dengan berbagai ukuran dan berwarna bening sampai putih yang terdiri dari gula putih biasa, gula buah, gula baker khusus, gula superfine/ultrafine atau gula bar, gula bubuk, gula kasar, dan gula pasir. Jenis guia ini merupakan yang terbanyak digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Golongan kedua adalah gula cokelat pada umumnya memiliki warna kecokelatan, yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah gula turbinado, gula cokelat dari molasse, dan gula demerara. Jenis yang ketiga adalah gula cair yang memiliki fasa cair dengan kekentalan yang berbeda.

Terdapat klasifikasi lain berdasarkan sumber gula itu diproduksi yaitu jenis gula yang berbasis dari sukrosa yaitu jenis gula yang diproduksi dari bahan yang memiliki kandungan sukrosa di dalamnya, contohnya adalah gula bit, gula tebu, gula aren, gula invert, dan gula buah atau fruktosa, dan gula berbasis pati yaitu gula yang diproduksi dari pati dan pada umunya secara enzimatik, contohnya adalah sirup Glukosa, High Fructose Corn Syrup (HFCS) , dekstrosa, dan isoglukosa. Di antara jenis gula ini yang terkenal di masyarakat adalah gula berbasis sukrosa yang pada umunya berbentuk granula dan padat. Sementara gula berbasis pati pada umumnya berbentuk cair dan tidak terlalu umum digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, aren merupakan tumbuhan yang memiliki banyak potensi dalam bidang pangan dan energy, menurut kajian BPPT Banten, dalam setahun setiap pohon aren bisa memproduksi nira 300-400 liter / tandan bunga. Setiap tandan bunga mampu menghasilkan nira 300-400 liter per musim bunga ( selama 3- 4 bulan). Jadi dalam satu pohon aren mampu menghasilkan nira kurang lebih 900-1.600 liter / tahun.

Di Indonesia, jenis gula yang paling banyak dikonsumsi secara massal adalah gula pasir biasa yang berbasis sukrosa. Jenis gula kristal putih ini biasa digunakan oleh rumah tangga atau industri makanan-minuman skala kecil. Untuk kemurnian yang lebih tinggi, tersedia gula rafinasi, yaitu gula kristal putih yang telah mengalami berbagai proses pemurnian dan penghilangan warna secara kimiawi dan fisik. Gula rafinasi lebih disukai sebagai bahan baku industri makanan-minuman besar karena tidak berwarna dan kemurniannya tinggi. Setelah gula putih Kristal berbahan baku tebu, jenis gula kedua yang banyak digunakan masyarakat adalah gula aren atau disebut juga gula merah atau gula palm.

Gula aren pada umumnya diproduksi secara tradisional dengan skala kecil sampai menengah. Usaha ini dilakukan dalam skala rumah tangga dan tersebar dengan sangat baik di berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat misalnya Garut, Sumedang, Sukabumi, dan Tasikmalaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan (Bulukumba, Enrekang, Palopo, Tana Toraja, dll) , Sulawesi Tengah (Palu), Toli-toli, Sulawesi Utara (Minahasa Utara, Selatan, Tondano, dll.), Gorontalo, dan berbagai wilayah di Kalimantan. Pabrik berskala besar yang mengelola aren menjadi berbagai produk gula seperti gula merah biasa, gula semut, dan lain-lainnya masih dikatakan belum banyak. Salah satu contoh pabrik gula aren yang sedikit ini adalah pabrik Masarang yang merupakan pabrik pertama di dunia yang mengolah aren dalam skala pabrik.

Kerugian utama dari proses tradisional adalah produk akhir dan produksi produk samping berupa molasse (tetes) yang mengandung gula tak terproses. Selain itu, untuk menghasilkan gula dalam bentuk Kristal atau padat dibutuhkan energi yang cukup besar baik dari energi panas maupun energi listrik untuk mengoperasikan alat.

2. Berbagai Produk Olahan Aren dan Kegunaannya

a. Gula aren cair

Secara tradisional masyarakat Indonesia menyukai gula aren dalam bentuk cair gula cair ini diperoleh dengan melelehkan gula cetak yang ada di pasaran. Contohnya :
- Gula Juruh atau gula merah yang dicairkan biasanya dipakai untuk pemanis gethuk, srabi, kue cethot,
- Gula cair untuk pemanis Es cendhol, Es Dhawet, Es Degan, Es Teller, dll.
- Gula Cair untuk pemanis bubur kacang hijau,
- Gula cair yang di lumurkan pada krupuk singkong, sebagai pemanis sekaligus penghias
- Gula cair juga digunakan untuk memasak pisang, singkong, serutan kelapa, serutan ubi, dll

b. Gula semut adalah gula merah/ gula aren yang berbentuk serbuk. Secara tradisional biasa digunakan untuk pembuatan kue-kue seperti :

- isi kue klepon,

- isi kue jembhlem (dari singkong yang dimasak),

- isi kue lemet (dari singkong parut),

- isi kue Pilus (dari ubijalar),

- untuk membuat gula juruh atau gula cair, dll.

Berdasarkan penggunaan tersebut, dapat dilihat beberapa kelemahan dan kelebihan berbagai bentuk gula aren yang ditunjukan Tabel 1.

Bentuk Gula Aren

Kelebihan

Kekurangan

Gula Aren Cetak
  1. Mudah dalam transportasi
  2. Tidak perlu pengemasan khusus
  1. Kurang prakstis dalam penggunaan
  2. Tidak efektif jika kemudian digunakan dengan mengembalikan bentuknya menjadi cair
  3. Mudah meleleh
  4. Sulit untuk menakar sesuai kebutuhan
Gula Aren Semut
  1. Mudah dalam transportasi
  2. Tidak perlu pengemasan khusus
  3. Mudah dalam penakaran
  4. praktis
  1. Proses produksinya lebih rumit
  2. Mudah meleleh
Gula Aren Cair
  1. Praktis
  2. Mudah dalam penakaran
  3. Efektif dalam proses produksi, lebih mudah membuatnya

  1. Memerlukan Pengemasan khusus
  2. Belum dipasarkan secara khusus

3. Proses pembuatan gula aren secara tradisional

Secara umum, proses pembuatan gula aren cetak dapat ditunjukan Gambar 1. Perbedaan pembuatan gula cair dan gula semut hanya berbeda setelah pemanasan 1. Gula aren cair sudah bisa diperoleh setelah pemanasan 1 yang disebut dalam istilah bahasa Sunda sebagai wedang. Kadar air wedang atau gula aren cair lebih tinggi dari kadar gula semisolid yang diperoleh dari hasil pemanasan 2. Gula aren cair atau wedang ini diambil sesuai keinginan saja, jarang yang diproduksi secara khusus dan dipasarkan secara khusus misalnya seperti di Pulau Rote dan Pulau Sabu yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT).


4. Gula Aren Cair

Substitusi gula kristal baik gula putih maupun gula merah oleh gula cair (liquid sugar) dapat dijadikan langkah penghematan biaya operasi produksi gula. Pada umumnya, gula digunakan oleh masyarakat dengan cara diencerkan terlebih dahulu. Memproduksi gula cair berarti meringkas penggunaan gula sekaligus mengeliminasi kebutuhan energi untuk kristalisasi atau pemadatan. Kemudian, berbagai modifikasi terhadap proses pengolahan gula yang dilakukan dengan tujuan peningkatan efisiensi adalah langkah strategis dalam rangka memproduksi gula yang lebih berkualitas namun hemat. Dengan memproduksi gula cair dengan bahan baku aren yang diperoleh langsung dari petani aren Indonesia, diharapkan pasar gula aren kembali menggeliat, kelangsungan usaha petani tebu lebih terjamin, dan rendemen gula dalam aren hasil produksi dapat ditingkatkan.

Selain itu, pemasaran gula aren dalam bentuk cair ini akan mempermudah produksi pangan berikutnya. Tidak ada ikhtiar untuk melarutkan gula kemudian menggunakannya untuk pemanis berbagai produk minuman dan makanan. Dengan demikian, selain ongkos produksi terpangkas karena tidak adanya biaya kristalisasi, pencetakan, atau pemadatan, ongkos produksi juga tereduksi karena tidak ada biaya pengenceran. Dapat dikatakan produksi gula cair ini akan membuat produksi pangan yang menggunakan gula aren sebagai bahan bakunya menjadi lebih efektif dan efisien.

Di negeri Jiran Malaysia gula aren cair diproduksi khusus dengan nama Gula Syrup (Arenga Syrup) untuk konsumsi dalam negeri maupun yang diekspor ke Jepang. Perusahaan Pabrik Gula Arenga Syrup di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia adalah perusahan patungan dengan investor dari Jepang. Di negeri ini, gula cair aren diproduksi secara khusus dalam skala pabrik, sementara di Indonesia yang notabene memiliki lahan aren yang sangat luas meskipun liar belum terberdayakan sacara maksimal. Padahal selain memiliki ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah dengan produksi nira yang juga melimpah, dan pasar berupa manusia yang demikian banyak jumlahnya dan tentu saja memiliki kebutuhan terhadap pangan yang cukup besar, maka produksi aren dalam bentuk cair dianggap sangat prospektif. Tinggal siapa yang berani mengembangkannya dan memasarkannya.

Selain di Malaysia, gula cair juga diproduksi di Meksiko, di sebuah perusahaan pangan bernama Novasep. Adapun dasar pemikiran pembuatan gula cair yang dilakukan oleh Novasep adalah:

  1. Kristalisasi dan pemadatan bukan merupakan jalur yang efektif untuk memproduksi gula.
  2. Penggunaan gula padat baik dalam bentuk tercetak maupun kristal dalam industri memerlukan penanganan yang cukup banyak, misalnya: pelarutan dalam air, filtrasi, pasteurisasi,
  3. Modal dan biaya operasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan gula cair lebih sedikit untuk kapasitas produksi yang sama
  4. Kapasitas optimal untuk pabrik gula cair cukup ideal sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasar minuman ringan. Jika kapasitas diperbesar akan cocok untuk industri permen dan gula-gula

Proses ini cocok digunakan untuk memproduksi: Sukrosa cair, sirups Medium invert, 95% sirups invert, sirup Glukosa, sirups Fruktosa, gula spesial seperti fructo-oligosakarida, dan lainnya).

Pertanian dan industry gula aren cair akan menyebabkan pengaruh yang cukup besar, selain kepada pertumbuhan ekonomi para petani dan pengrajin aren yang biasa berproduksi skala rumah tangga, efek yang ada juga akan berpengaruh kepada industry pangan yang menggunakan gula aren sebagai bahan baku. Selain itu, ketergantungan terhadap gula impor juga akan menurun sehingga industry gula Indonesia akan kembali sehat bahkkan bisa bangkit dan Berjaya lebih dari apa yang bisa kita bayangkan sepert berjayanya sirup Maple di Kanada.

Sumber : http://iinparlina.wordpress.com/2011/10/18/gula-aren-cair/#more-837

Silakan lihat juga artikel di
http://kebunaren.blogspot.com/2009/02/prospek-gula-aren-cair-agar-sehebat.html

Jumat, 03 Februari 2012

MENYONGSONG HADIRNYA AREN DAN LENGSERNYA TEBU DARI TAHTA INDUSTRI GULA NASIONAL


MENYONGSONG HADIRNYA AREN DAN LENGSERNYA TEBU DARI TAHTA INDUSTRI GULA NASIONAL

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto


Pada edisi 17-23 Juni 2009 No. 3308 Tahun ke 39, Tabloid Sinar Tani memuat tulisan mengenai Gula dengan judul “Rendemen Naik, Produksi Gula Meningkat”. Ada salah satu alinea menyebutkan bahwa, Pemerintah berencana membuka perkebunan tebu, pabrik gula baru dan industri berbasis tebu di beberapa daerah.

(Foto kiri : Bapak Presiden SBY sedang meresmikan Pabrik Gula Baru; Kanan : Bapak Ahmad Manggabarani, Dirjen Perkebunan DEPTAN)

Pada tulisan tersebut Dirjen Perkebunan Deptan, Bapak Ahmad Manggabarani juga mengatakan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan Indonesia menjadi eksportir Gula pada tahun 2014 mendatang. Selama tahun 2009 ini, Indonesia sudah memenuhi sepenuhnya kebutuhan atas swasembada gula kristal putih untuk konsumsi dan sudah menghentikan impor.


Bapak Dirjenbun juga melaporkan bahwa luas areal perkebunan tebu bertambah dari 427.178 hektar pada tahun 2007 menjadi 441.318 hektar pada tahun 2009. Produksi tebu naik dari 33,066 juta ton tahun 2007 menjadi 34,756 juta ton pada tahun 2009. Sedangkan produktivitas tebu berhasil ditingkatkan dari 77,4 ton/ha menjadi 78,8 ton/ha.

Pada tahun 2008 yang lalu saya juga pernah menulis tentang hal semacam ini dengan judul ”Pabrik Gula Berbasis Aren, Kenapa Tidak? Adalah berawal dari repotnya Pemerintah kita yang memaksakan diri untuk tetap menjadikan tebu sebagai harapan utama produksi Gula Indonesia. Ibarat makan Buah Simalakama, susah sekali menggantikan tebu sebagai bahan baku pabrik gula kita. Pemerintah seolah tidak berniat mencari solusi atau alternatif bahan baku gula selain tebu.

Mari kita coba untuk menghitung dan menimbang kelayakan tebu sebagai andalan gula Indonesia. Pertama dari sisi produktivitas yang rata-rata hanya mencapai 78,8 ton/ha, taruh kata rendemennya mencapai 10%, maka gula yang diperoleh hanya sekitar 7,88 ton/ha/musim. Padahal rendemen gula kita sangat sulit sekali mencapai angka dua digit itu, paling-paling hanya sekitar 8 - 9 %. Jadi hanya menghasilkan gula antara 6 – 7 ton/ha/musim.

Upaya-upaya sudah terlalu banyak dilakukan, hasil-hasil penelitian juga yang mana lagi yang belum dijalankan. Semua untuk mendongkrak produktivitas tebu menjadi naik dan berproduksi tinggi. Namun sampai sekarang masih belum mampu merubah keadaan, ternyata produktivitas tebu malah semakin menurun. Padahal pada jaman Kolonial dulu sekitar tahun 1930-an produktivitas tebu mencapai puncaknya yaitu sebesar 17 ton gula/hektar/musim.

Waktu itu memang bisa terjadi karena dengan tanam paksa, pihak kolonial bisa memaksakan untuk menanam tebu di lahan-lahan sawah nomor satu, di lahan-lahan yang paling subur, kalau perlu penanaman padi dialihkan dulu dan dipentingkan tanaman tebu. Maka wajar saja pada era itu Belanda menikmati hasil yang sangat besar dari Gula yang berbasis tebu, sehingga mereka bisa membiayai perang, membangun negerinya dengan memeras tebu untuk menjadi gula. Namun tidak hanya tebu yang diperas, lahan-lahan sawah kita yang dulu subur makmur diperasnya, tenaga-tenaga petani kita juga diperas dengan kerja paksa. Memang penjajah Belanda sangat kurang ajar!!!

Sepeninggal kolonialisme Belanda industri dan perkebunan tebu diambil alih oleh Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh BUMN bidang perkebunan tebu dan pabrik gula. Pengambilalihan secara penuh baru selesai pada tahun 1950-an, yaitu tepatnya 1957, pada hal kita merdeka pada 17 Agustus 1945, jadi baru setelah 12 tahun dari kemerdekaan kita baru bisa mengambilnya.

(Foto : Pabrik Gula berbasis Tebu)

Yang kedua tebu juga mengambil alih lahan pangan yang lain. Sampai sekarang pun lahan-lahan tebu ini masing saling bersaing dengan tanaman pangan, yaitu dengan sawah-sawah yang mestinya ditanami padi dan palawija, di lahan-lahan kering atau tegalan yang juga biasa ditanami sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan bahkan buah-buahan. Jadi lahan tebu yang 441.318 hektar tadi secara nasional, sebenarnya seluruhnya bersaing dengan lahan tanaman pangan lainnya.

Maksud saya begini, seandainya tanaman Aren bisa menggantikan peran tebu untuk memenuhi kebutuhan dan produksi gula selama ini, maka lahan-lahan tadi yang luasnya hampir 450 ribu hektar bisa ditanamai tanaman pangan, seperti padi, palawija, kacang-kacangan, sayuran dan tanaman pangan lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan tebu.

Seandainya setiap hektar lahan dalam satu tahun dapat ditanami padi dua musim dan satu musim palawija dengan hasil misalnya 6 ton beras dan 4 ton jagung, maka ada bahan pangan tambahan dari 450 hektar, yaitu 2,7 ton beras dan 1,8 juta ton jagung. Ini peluang yang sangat berarti untuk mendukung kecukupan pangan dan bahan baku pakan dan mengurangi ketergantungan impor bahan pangan dan pakan.

Dari sisi petani pun penerimaan dari usaha tani tebu juga sudah kalah dengan komoditi pangan lainnya. Hanya untuk petani yang tidak punya modal, pilihan yang paling mudah adalah menyerahkannya kepada pihak lain untuk ditanami tebu, dan nanti petani tinggal mendapatkan hasilnya meskipun tidak seberapa. Kalau untuk usaha tani komoditi lain sendiri modal kurang, walaupun hasilnya memang lebih tinggi. Keadaan inilah yang banyak dialami oleh petan sehingga harus menyerahkan lahannya pada pihak perkebunan tebu dan pabrik gula atau KUD-KUD. Sebenarnya kalau petani punya modal dan tenaga dalam usaha tani mereka pasti memilih komoditi lain yang lebih menguntungkan.

Lalu apa Aren bisa diolah menjadi gula putih? Untuk yang hal ini Saudara saya Bapak Slamet Sulaiman sudah membuktikan dengan alat mesin pabrik gula mininya. Pabrik gula mini dengan bahan baku nira aren sudah dibangun antara lain di Minahasa Selatan. Uji coba untuk menghasilkan gula putih telah berhasil dilakukannya. Artinya tidak masalah seandainya nira aren diolah menjadi gula putih.

Namun secara perhitungan sebenarnya tidak menguntungkan sebab untuk mengolah gula menjadi putih memerlukan bahan yang lebih banyak, siklus proses yang lebih panjang dan lebih rumit. Dengan demikian biaya produksi jauh lebih tinggi, nilai rasio konversi bahan baku menjadi produk jadi lebih kecil. Dilihat dari harga jual juga tidak jauh berbeda antara gula putih dan gula merah tradisional. Namun kalau gula putih pangsa pasarnya sangat besar dan seolah tidak terbatas, karena selama ini memang kebutuhan gula didominasi oleh gula putih.

Berbeda dengan gula merah atau brown sugar dari tanaman palma, yang selama ini belum menjadi produk massal dunia karena keragaman produknya sangat luas dan terbuka. Nilai jualnya juga sangat beragam harganya. Seolah harga dapat diciptakan sedemikian rupa tergantung pada pemilik brand atau merek. Karena memang pangsa pasarnya juga belum luas.

Berbeda dengan Gula dari pohon Maple. Di Negara aslinya Canada dan Amerika bagian utara, gula tersedia kebanyakan dalam bentuk cair, berupa syrup dari pohon Maple, atau sering disebut sebagai Maple Syrup. Di sana justru gula putih kalah populer dengan Maple Syrup. Gula putih yang berasal dari tebu dianggap gula tingkat rendah, yang kurang nilai gizinya. Bahkan gula putih dianggap biangnya penyakit diabetes di seluruh dunia. Oleh karena itu mereka lebih memilih Maple Syrup dari pada Gula Putih yang asalnya dari Brazil itu.

Trend beralihnya pola konsumsi gula dari gula putih hablur ke gula berbentuk cair atau syrup sudah terjadi di luar negeri. Jepang, Korea, Eropa seperti Belanda dan Jerman juga sudah lama mengevolusi pola konsumsi gulanya. Di dalam negeri sendiri sebenarnya juga sudah lama terjadi, khususnya pada industri makanan dan minuman. Maka lambat atau cepat trend itu akan terjadi, artinya kita harus mengantisipasinya dengan penyiapan industri gula palma kita juga mengarah ke gula cair atau Sugar Palem Syrup, Coconut Sugar Syrup dll.

Kalau dilihat potensinya sebenarnya Aren yang punya peluang besar menggantikan peran tebu sebagai bahan baku Gula atau bahan pemanis. Sebab Aren memiliki produktifitas paling hebat, paling tinggi dalam menghasilkan Gula. Dalam setiap hektarnya Aren bisa menghasilkan Gula sampai 77 ton per/tahun/hektar. Bagaimana bisa terjadi ? Uraiannya sebagai berikut :
a. Dalam satu hektar ditanam 200 pohon Aren.
b. Setelah 6-7 tahun dapat dipanen air nira dari sekitar 75 % populasi pohon, atau 150 pohon. Atau ada 25 % pohon yang beristirahat menghasilkan nira.
c. Jika produksi nira rata-rata adalah 10 liter/phon/hari, maka nira yang dihasilkan adalah 10 liter/pohon x 150 pohon/ha = 1.500 liter/hektar/hari.
d. Jika untuk membuat gula 1 kg diperlukan nira 7 liter, maka jika semua nira diolah akan menjadi gula sebanyak : 1.500 liter/ha/hari : 7 liter/kg = 214,3 kg/hektar/hari.
e. Produktivitas Gula dari setiap hektar kebun Aren adalah :
Setiap hari : 214,3 kg/hari;
Setiap bulan : 6.428,6 kg/bulan;
Setiap tahun : 77.142,8 kg/tahun; atau 77 ton/tahun.

Keunggulan tidak hanya pada aspek produktivitas, sebagaimana hitungan di atas, tapi juga banyak keuntungan-keuntungan di aspek yang lain, yaitu :
a. Dengan menggantikan tebu dengan Aren, maka lahan yang diperlukanlebih sedikit (seper sepuluhnya) kita sudah dapat memenuhi swasembada gula nasional.
b. Kontinyuitas produksi pabrik berjalan sepanjang tahun, dan pabrik tidak ada masa istirahat karena bahan baku tersedia secara koninyu setiap hari sepanjang tahun. Pada Pabrik Gula berbasis Tebu biasanya hanya beroperasi selama sekitar 150 hari atau 5 bulan dalam setahun, berarti 7 tahun pabrik tidak beroperasi.
c. Biaya investasi pembangunan pabrik gula berbasis Aren jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrik gula berbasis tebu. Bahkan seandainya Pabrik besar belum dibangun pun, industri gula rakyat sudah bisa mengatasi masalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan masyarakat.
d. Lahan tanaman tebu sekarang juga sangat bersaing dengan tanaman pangan. Maka di era dimana ketahanan pangan menjadi prioritas baik karena program pemerintah, atau permintaan pasar yang terus meningkat. Maka cepat atau lambat komoditi Tebu diperkirakan akan terdesak oleh dorongan ekonomis dan politis yang semakin kuat.
e. Beda dengan tanaman Aren yang sangat fleksibel, bisa ditanam di lahan-lahan miring, lereng lereng bukit, tepi-tepi sungai, daerah bekas hutan yang ditinggalkan, atau lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif. Maka dengan kehadiran tanaman Aren bisa menjadikan lahan lebih produktif dan berfungsi ganda sebagai penyelamat linkungan dan pencegah longsor.
f. Dll.

Jadi tinggal kemauan dan kesadaran politik saja yang akan merubah kebijakan industri gula nasional ini berhijrah dari yang semula berbahan baku tebu ke arah pada pabrik gula berbasis perkebunan Aren. Maka sebelum terjadi keterpaksaan dalam merubah kebijakan tersebut, sebaiknya dengan sadar para penentu kebijakan itu mengambil tongkat komando untuk secara bertahap menyiapkan lengsernya tebu dalam tahta industri pergulaan nasional. Dan segera menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong perkebunan Aren yang tampil dalam tahta tertinggi industri gula nasional kita.