......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Kamis, 26 Februari 2009

Alat Memasak Gula Aren dari Drum Bekas

Alat Memasak Gula Aren dari Drum Bekas


Alat Evaporator untuk memasak nira Aren menjadi Gula Aren. Tempat pembakaran terbuat dari Drum Bekas, sedang "Pan Evaporator" sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau stainless steel atau alumunium yang cukup tebal. Dengan 4 buah drum ukuran 200 literan panjang alat sekitar 360 cm, panjang 'pan evaporator' sekitar 300 cm, tinggi sekitar 30 cm, maka volume nira yang bisa dimasak sekitar 200 liter sekali masak.



Diagram atau pola tungku berbahan kayu untuk memasak nira Pohon Maple di Kanada dan Amerika. Teknologi ini bisa diterapkan untuk memasalk Nira Aren agar lebih menghemat bahan bakar, hasil olah yang lebih berkualitas & beragam serta pekerjaan menjadi lebih ringan dan efesien.

Evaporator untuk mengolah nira Pohon Maple menjadi Sirup Maple (Maple Syrup) seperti ini harganya antara US$ 3000 sampai US$ 5000 atau sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta itu harga di Kanada dan Amerika. Kalau dikirim ke Indonesia harganya bisa mencapai dua kali lipatnya.

Alat untuk mengolah Syrup Maple yang seperti ini harganya di atas US$ 5000 atau Rp 50 juta. Alat seperti ini bisa digunakan untuk mengolah Nira Aren menjadi Gula Aren Syrup, Gula Aren Cetak atau Gula Aren Serbuk (Semut), dll. Peningkatan kualitas proses pengolahan harus diikuti dengan kualitas produk, keanekaragaman produk, kemasan dan sistem pemasarannya.

Minggu, 15 Februari 2009

MERANCANG CORPORATE MIX FARMING (CMF) DI NUNUKAN

MERANCANG CORPORATE MIX FARMING (CMF) DI NUNUKAN
(UBIKAYU-SAPI-AREN VS CASSAVA FLOUR-PUPUK –OBAT ORGANIK-BIOETHANOL-GULA-SYRUP)

Oleh : Dian Kusumanto

 Rancangan ini bermula dari keprihatinan terhadap para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hijau Lestari di kampung Mamolo Nunukan. Dari keterangan para petani anggota yang berjumlah 20 orang, tingkat pendapatannya rata-rata masih sangat rendah bahkan di bawah UMR. Mereka mengusahakan lahan sawah sekitar 25 hektar dan lahan kering seluas 50 hektar. Pendapatan mereka rata-rata di bawah Rp 700.000 per bulan.

  Beberapa kali pertemuan menunjukkan bahwa mereka bukan tipe petani yang malas, mereka sangat rajin, hampir tiada hari tanpa memegang cangkul atau parang dan berkebun atau ke sawah. Sawah ditanami padi hanya sekali dalam setahun kadang juga dua kali, lahan keringnya sebagian besar belum tergarap . Sebagian kecil sudah digarap dengan menanam ubikayu, jagung, Lombok, tomat, kacang tanah, pohon pisang, pohon durian, dll.  

Dengan keadaan fasilitas yang apa adanya tenaga mereka tidak mencukupi untuk mengelolaha lahan yang ada. Modal tidak cukup untuk mengelola lahan semuanya. Kadang pada saat diperlukan pupuk atau obat hama modal belum tersedia dan akhirnya tanaman sering mengalami gagal panen. Pada saat harus mengelola sawah, kadang-kadang pekerjaan yang belum selesai di lahan kering terpaksa ditinggalkan. Mereka belum mampu mengelola perencanaan usaha tani dengan matang, iklim kadang mengacaukan rencana. Alat mesin pertanian yang terbatas belum sepenuhnya mampu membantu mengatasi kendala musim ini.

 Diskusi pun sering dilakukan untuk mencari cara “mengubah nasib” petani dari yang serba pas-pasan menuju petani yang bergairah dengan pendapatan dan kehidupan yang sejahtera.  Beberapa pemikiran pun dilontarkan, yang terakhir adalah rancangan Corporate Mix Farming (selajutnya disingkat CMF). Maka dimulailah dari alternative komoditi yang paling gampang dikembangkan, paling cocok dengan iklim dan tanah setempat dan petani sudah familiar mengelolanya, yaitu Singkong atau Ubikayu.

 Dengan pola CMF ini pengelolaan system usaha tani memadukan beberapa komoditi secara sinergis, memanfaatkan seluruh produk samping (dulu disebut limbah) menjadi bahan pendukung lainnya sehingga memberi nilai tambah bagi sub system lainnya secara saling isi mengisi. Sistem usaha tani menjadi jaringan yang tertutup bahkan tanpa input dari luar system, karena kesinergisannya antar sub system bisa saling menutupi kekurangannya.

 Konsep ini meneruskan pola sinergi pangan pakan dan energy yang telah dibahas sebelumnya, yaitu antara Aren sebagai tanaman jangka panjang dengan Ubikayu atau singkong sebagai tanaman sela pengisinya, ditunjang oleh Sapi sebagai titik kunci penghubung antar subsistem dari ketergantungan input dari luar. Untuk memulainya pakan diambilkan dari subsystem sawah yaitu limbah jerami padi. 

Ciri korporasinya terletak pada peningkatan nilai tambah dari produk-produk yang dihasilkan, meliputi pabrik pengolah Singkong menjadi tepung Cassava atau tepung Mocal, pabrik pengolah Bioethanol, Pabrik Pengolah Gula, Unit Pengolah Limbah Organik menjadi Pupuk dan Pestisida Organik, Unit pengelolaan pakan ternak, Unit Pengelola Produk-produk lainnya, dll. Oleh karena itu dalam mengelola CMF ini Kelompok Tani masih bekerja sama dengan suatu Koperasi dan beberapa lembaga pendampingan dari Pemerintah dan LSM.

 Rancangan CMF ini untuk lahan sawah 25 hektar dan lahan kering 50 ha, secara garis besar sebagai berikut :

1. Lahan sawah seluas 25 ha ditanami padi 2 kali dalam setahun dan sekali atau semusim ditanami palawija berupa kacang tanah atau jagung. Dari lahan sawah ini padinya dikelola oleh masing-masing petani sebagaimana biasanya, namun limbahnya yang berupa jerami dimanfaatkan oleh CMF untuk persiapan pakan ternak sapi. Jerami padi yang akan diproduksi adalah sekitar 1,5 kali produksi padinya, jika produksi bisa mencapai 5 ton per hektar, maka jerapi yang dihasilkan dari 25 ha lahan sawah selama 2 kali musim tanam adalah 1,5 x 5 ton/ha x 2 musim/tahun x 25 ha/musim = 375 ton Jerami per tahun.

Penggunaan pupuk dan obat-obat hama secara berangsur dikurangi dan total tidak menggunakan ketika unit pembuatan pupuk dan pestisida organic sudah berjalan Sebenarnya dengan hanya menggunakan pupuk organic sendiri dengan jumlah yang cukup hasil Padi dan palawija dapat ditingkatkan lebih tinggi lagi.


2. Dari jerami 375 ton per tahun dapat untuk dijadikan cadangan pakan sapi sekitar 1 ton per hari, atau bisa memberi pakan kepada sekitar 40 ekor Sapi Bali (dengan pakan rata-rata 25 kg/ekor/hari). Jerami-jerami ini ditampung pada suatu tempat atau disebut sebagai Gudang Jerami atau Gudang Pakan Sapi, sebab nanti setelah Ubikayu mulai panen akan ada sumber pakan baru berupa limbah Ubikayu yang berasal dari daun dan kulit umbi Ubikayu.
Memang sebaiknya jerami-jerami ini dipress sehingga tidak memerlukan tempat yang terlalu luas dan besar, demikian juga pakan yang berasaldari limbah Ubikayu, sebaiknya juga dipress.

3. Jerami dari padi ini dijadikan starter awal sumber pakan bagi Sapi bali sebanyak 40 ekor. Sapi-sapi ini dipelihara dengan system kandang sehingga kotoran dan urinenya bisa ditampung untuk dimanfaatkan dalam pembuatan pupuk organic dan pestisida nabati. Tidak menutup kemungkinan jumlah Sapi akan ditambah nanti setelah pakan memang banyak tersedia. Kalau tidak, pakan yang berlebih dapat dijual kepada peternak yang lain atau bahkan menawarkan kerja sama dengan menampung dan memeliharakan Sapi milik peternak-peternak lain yang dikelola secara liar. Dengan pemeliharaan system kandang maka nilai tambah dari kotorannya dapat menghasilkan pupuk dan obat hama yang juga dapat bernilai ekonomi tinggi.

4. Untuk tahap awal diperlukan kandang untuk 40 ekor Sapi Bali dan Unit Pengolahan Limbah Organik. Unit kandang Sapi Bali dan Unit pengolahan Limbah Organik ini harus saling berdekatan atau bergandengan. Di dalam Unit pengolahan Limbah Organik ini juga merupakan Unit Pemrosesan Pupuk Organik dan Pestisida Organik serta Unit Biogas. Pupuk Organik ada dua macam, yaitu pupuk padatan (Kompos) dan pupuk cair (Biokultur) yang diolah dari kotoran padat dari kandang sapi. Sedangkan Pestisida Organik diolah dari Urine Sapi atau kencing sapi yang diolah dengan teknik khusus diramu dengan bahan-bahan dari jenis-jenis tanaman dan bahan-bahan tertentu.

Dari Sapi Bali sebanyak 40 ekor maka diperkirakan akan dapat menghasilkan kotoran padat sebanyak sekitar 600 kg sehari (15 kg/ekor/hari x 40 ekor) dan kencing Sapi sebanyak sekitar 120 liter (dari 3 liter/ekor/hari x 40 ekor).


5. Unit Pengolahan Pupuk Organik akan dapat menghasilkan kompos sebanyak sekitar 300 kg sehari, atau akan menghasilkan Biokultur sebanyak 1.000 s/d 6.000 liter Biokultur per hari sesuai dengan kemauan dan kebutuhan pasar nantinya. Biokultur 50 liter dibuat dari 5 kg kotoran padat segar dengan 1 liter Enzim dan air sampai 50 liter, ditambah aneka bahan pupuk dari bagian-bagian tanaman yang mengandung unsure N, P atau K, serta bahan-bahan pelengkap lainnya. Biokultur bisa dijual dengan harga antara Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per liter.

Sedangkan Biourine (kencing sapi) diolah untuk menjadi obat pestisida organic bersama ramuan dari bagian-bagian tanaman yang mengandung anti hama dan penyakit tanaman. Dari urine Sapi sebanyak 120 liter per hari maka akan diperoleh sekitar 100 liter Biourine setiap hari. Dengan harga Biourine Rp 5.000 sampai dengan Rp 10.000 /liter, maka ada peluang tambahan penghasilan Biourine sebanyak antara Rp Rp 500.000 sampai dengan Rp 1 juta per hari.


Oleh karena produksi pupuk dan obat organic nanti akan melimpah, maka kemungkinan besar akan ada unit usaha baru yaitu usaha penjualan pupuk dan jasa pemupukan lahan-lahan petani yang lain di luar CMF ini. Keadaan pengembangan unit ini akan semakin membesar pada saat setelah pakan dari limbah Singkong dan bioethanol melimpah, hal ini dimungkinkan karena jumlah Sapi yang bisa disiapkan pakannya juga semakin besar.

6. Lahan Kering yang diusahakan dari CMF ini ada 50 ha. Komoditi jangka panjang yang ditanam adalah AREN, sedang tanaman tumpang sari jangka menengah yang ditanam di lahan tersebut adalah Singkong. Singkong ditanam secara bertahap agar nanti dapat dipanen secara bertahap setiap hari. Singkong akan diolah menjadi Tepung Cassava dan Tepung Mocal serta menjadi Bioethanol.

Tanaman Aren diproyeksikan mulai menghasilkan setelah umur 6 tahun, sedangkan Ubikayu dipanen antara umur 8 – 12 bulan atau sekitar 10 bulan. Pemupukan dan pengobatan terhadap hama dan penyakit hanya menggunakan pupuk organic dan pestisida organic yang diproduksi sendiri baik untuk tanaman Aren maupun Ubikayu.


7. Ubikayu atau Singkong seluas 50 ha ditanam untuk pembuatan Tepung Cassava atau tepung Mocal dan pembuatan Bioethanol. Oleh karena itu Singkong ditanam secara bertahap-tahap sehingga selama sekitar 10 bulan dapat ditanam Ubikayu seluas sekitar 50 hektar. Atau bisa juga dihitung dengan 5 bulan per hektar, atau dalam setiap bulan ditanam ubikayu seluas 5 ha. Dihitung dengan asumsi bahwa produktifitas Singkong sekitar 50 ton/ha/musim, maka dalam satu musim akan diproduksi sekitar 50 ha/musim x 50 ton/ha = 2.500 ton per musim. Dengan lama penanaman Singkong sekitar 10 bulan atau 300 hari maka akan dihasilkan sekitar 8,3 ton Singkong Segar per hari.

Penanaman Ubikayu menggunakan populasi antara 10.000 sampai 15.000 pohon per ha dengan target produksi sekitar 50 ton per hektar per musim. Ubikayu yang ditanam adalah jenis yang mempunyai potensi produksi tinggi dan yang rendemen patinya tinggi. Pemupukan dan penggunaan obat hama dan penyakit hanya menggunakan pupuk organic yang dihasilkan sendiri.  


8. Jumlah limbah Ubikayu yang dihasilkan dari produksi Umbi sekitar 8 ton per hari, maka limbah berupa kulit umbi ada sekitar 15 % -30 % dari umbinya, dan limbah berupa daun dan pucuk batang mudanya sekitar 50% - 100% dari umbinya. Maka jumlah limbah kulit sekitar 1.200 – 2.400 kg dan limbah daun dan pucuk batang muda ubikayu sekitar 4 – 8 ton per hari. Jadi limbah yang bisa dijadikan pakan ini sekitar 5,2 – 10,4 ton per hari, kalau diambil angka kecilnya saja, katakanlah 6 ton atau 6.000 kg per hari. Kalau seekor Sapi mengkonsumsi rata-rata 25 kg pakan, maka ada sekitar 240 ekor Sapi yang bisa disediakan pakannya dengan system kandang.

Artinya pakan ini bisa saja dijual kepada peternak yang lain, atau bisa juga dikembangkan unit-unit usaha baru di tempat lain untuk menampung Sapi dari para peternak yang biasanya hanya dilepas secara liar. Bisa saja dirintis usaha bagi hasil ternak antara CMF dengan peternak lain atau pemilik sapi di luar wilayah CMF sendiri dengan jaminan pakan dan pengalaman dari CMF.

Dengan system kandangisasi dan pakan yang disediakan, maka nilai tambah berupa limbah bahan pupuk dan pestisida organic akan semakin melimpah. Keadaan ini dapat menjamin ketersediaan pupuk mengurangi bahkan meniadakan ketergantungan petani akan pupuk dan obat pestisida kimia.

Pengelolaan limbah organic dari kandang ini pun bisa juga dikerjasamakan karena memang CMF sudah cukup memiliki pengalaman yang sudah mulai bisa ‘dijual’ kepada petani yang lain. Seluruh petani yang terlibat di dalam CMF ini merupakan para ahli di bidang masing-masing, dan siap menularkan ilmunya serta bertindak sebagai konsultan bagi kelompok tani yang lainnya.


9. Unit pengolahan Tepung Cassava dan Tepung Mocal (Modified Cassava Flour) disiapkan dengan kapasitas produksi sekitar 2,5 - 3 ton per hari. Tepung cassava 1 kg dihasilkan dari ubikayu sekitar 3 kg atau 3 kg ubi menjadi 1 kg. Jadi dari 8,3 ton ubi akan dihasilkan sekitar 2,76 ton tepung cassava, atau dibulatkan saja menjadi 2,5 ton tepung cassava per hari. Berarti jika tepung Cassava dinilai dengan harga Rp 2.000/kg saja, maka dapat dperoleh devisa sebesar Rp 5 juta per hari, atau Rp 150 juta per bulan, atau Rp 1,8 Milyard setiap tahunnya.

10. Seandainya CMF ini juga menyediakan unit pengolahan Bioethanol dari Ubi, maka dapat saja berbagi dengan ubi untuk cassava atau bahkan diolah dari tepung cassavanya itu sendiri. Seperti diketahui bahwa 1 liter bioethanol dapat dihasilkan dari sekitar 6,5 kg ubi. Jika semua hasil ubi diolah menjadi Bioethanol maka akan dihasilkan sekitar 1.277 liter Bioethanol atau dibulatkan menjadi 1.200 liter bioethanol setiap hari.

Unit Bioethanol akan diperbesar pada saat nanti Aren sudah mulai memproduksi nira, yaitu sekitar 6 tahun kemudian. Kapasitasnya diperkirakan akan mencapai antara 50.000 – 100.000 liter nira per hari, atau dengan hasil Bioethanol sekitar 3.500 – 7.000 liter Bioethanol per hari, atau 105 – 210 kL/ bulan atau 1.260 – 2.520 kL/tahun kalau nira digunakan semua untuk Bioethanol. Nilai hasil usaha (jika Bioethanol seharga Rp 5.000/liter) dapat mencapai sekitar Rp 6,3 – 12,6 Milyard per tahun. Bukan main!! Sangat fantastic.  


11. Unit Pabrik Gula akan menjadi salah satu andalan dalam system CMF ini, sebab dari unit ini akan dihasilkan beraneka macam produk-produk turunan dari Gula Aren ini. Dengan nira Aren sebanyak 50.000 – 100.000 liter per hari, maka akan bisa dihasilkan aneka produk Gula Aren mencapai sekitar 6.500 – 13.000 kg gula setiap hari, atau 195 -390 Ton/ bulan, atau 2.340 – 4.680 Ton per tahun. Nilai hasil usaha (jika Gula seharga Rp 5.000/kg atau per liter) dapat mencapai sekitar Rp 11,7 – 23,4 Milyard per tahun. Ini diperoleh jika diolah menjadi Gula semua. Ternyata lebih fantastic lagi. Dengan demikian para petani yang terlibat akan menjadi OKB-OKB yang mungkin saja sangat sejahtera di Indonesia.

Bagaimana menurut Anda??? (Bersambung ……………insyaAllah)

Sabtu, 14 Februari 2009

PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA RAKYAT

PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA RAKYAT

Oleh : Dian Kusumanto

 Pada tulisan terdahulu kita menganggap bahwa suatu keharusan atau wajib hukumnya untuk merevolusi atau merevitalisasi industry gula aren rakyat. Dengan perubahan-perubahan pola usaha ini diharapkan akan dinikmati oleh para perajin atau petani gula aren. Sebenarnya hal ini juga berlaku untuk industry rakyat di luar komoditi aren, misalnya industry rakyat gula kelapa ataupun gula siwalan atau lontar, yang selama ini keadaannya masih rentan terhadap perubahan iklim usaha dan persaingan usaha masa yang akan dating.

 Merevolusi artinya melakukan perubahan dengan mendasar dan menyeluruh dalam waktu yang relative singkat. Merevitalisasi artinya membuat, mengkondisikan, merubah dari yang dulunya lemah dan rentan terhadap cuaca usaha menjadi kuat dan tahan terhadap segala keadaan. Perubahan-perubahan yang kita inginkan adalah perubahan yang menjadikan industry rakyat ini menjadi lebih efisien, lebih berdaya saing, mampu menembus pasar yang lebih luas, sehingga memperoleh nilai tambah bagi tingkat pendapatan dan kesejahteraan para pelaku usaha industry gula rakyat. Apa saja perubahan yang harus dilakukan agar tujuan perubahan itu tercapai ?  

 Pertama adala merubah pola invidual kearah corporate, artinya para perajin atau petani jangan sendiri-sendiri lagi dalam mengelola industry gula rakyat ini. Merubah budaya saling bersaing menjadi saling bekerja sama. Budaya saling bersaing dan saling menghancurkan ini memang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang memanfaatka keadaan bagi kepentingannya sendiri.

 Untuk menyamakan persepsi diantara para perajin, kemudian bersepakat membentuk kelompok (korporasi) atau dalam bentuk koperasi, memerlukan keberanian, kecerdasan dan energy ekstra besar. Pemberian pemahaman tentang perlunya berkorporasi menjadi agenda yang secara konsisten harus dilakukan. Maka diperlukan ketokohan, kepeloporan dari salah satu atau beberapa orang di antara mereka.  

 Bila di suatu sentra ada sekitar 10 perajin, maka apabila dihitung dengan keluarganya sudah terkumpul sekitar lebih dari 20 orang. Dengan 20 orang kita sudah bisa membentuk Koperasi. Memang koperasi dibentuk dengan spirit untuk saling bekerja sama, saling bersatu menguatkan barisan, mengumpulkan modal untuk mengatasi masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.  

  Contohnya begini, pada saat penulis mampir ke Pondok Nongko Desa Sobo di Banyuwangi yang merupakan salah satu sentra perajin gula kelapa. Setiap perajin gula merangkap sekalian menjadi penderes atau penyadap, yang bekerja memanjat, memungut air nira sekaligus juga memasak nira menjadi gula. Kebanyakan para perajin adalah bukan pemilik pohon, perajin melakukan kerjasama dengan pemilik pohon dengan system bagi hasil.

 Untuk kerja sama ini perajin berkewajiban untuk mengelola pohon kelapa untuk produksi gula. Setiap seorang perajin biasanya bisa menyadap pohon kelapa hingga mencapai 50 – 60 pohon kelapa , tergantung kesepakatan dengan pemilik pohon. Setiap perajin mempunyai suatu tungku sendiri untuk mengolah nira menjadi gula merah. Segala kebutuhan bahan bakar, tenaga untuk pengolahan gula, tenaga untuk memasarkan gula dan lain-lain dikelola secara sendiri-sendiri oleh petani atau perajin.

 Demikian juga yang terjadi pada perajin gula Aren rakyat di Bulukumba Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Setiap perajin gula adalah pemilik pohon aren itu sendiri. Setiap perajin rata-rata mengelola antara 4 sampai 10 pohon Aren dan satu tungku pemasakan gula aren. Pekerjaan ini biasanya juga melibatkan anggota keluarga yang lain. Keadaan pola usaha yang individual ini terjadi juga di daerah lain sentra-sentra produksi gula aren.  

Seperti juga perajin gula kelapa, petani sekaligus perajin gula aren juga melakukan usahanya secara sendiri-sendiri. Segala kesibukan mulai memanjat pohon, memungut nira, memelihara sadapan dan pohon aren sampai kepada mengolah nira menjadi gula, mencari kayu bakar untuk tungku pemasakan bahkan melakukan pengemasan dan pemasaran produk gula aren.

  Untuk menuju efisiensi usaha gula aren rakyat, usaha gula kelapa rakyat dan usaha gula berasal dari pohon lontar (gula lontar atau gula siwalan), maka kita harus meninggalkan pola usaha individual dengan skala yang kecil-kecil. Para perajin harus bersatu, saling bekerja sama, menerapkan pola korporasi, menggunakan alat pengolahan dengan teknologi yang memadai. Para perajin harus mengikis kepentingan-kepentingan individual yang saling merugikan, namun sebaliknya harus saling bersatu guna mengatasi problema atau kendala-kendala yang mungkin saja timbul dalam usaha gula rakyat ini.

Meraih keuntungan-keuntungan berkoporasi

  Dengan berkoporasi banyak hal keuntungan nilai tambah yang dapat diperoleh. Nilai tambah dan keuntungan yang dapat diperoleh antara lain adalah :

1. Kapasitas alat pengolahan menjadi lebih besar lebih modern, karena memang didesign mampu menampung dan mengelola produksi dari para anggotanya.

2. Efesiensi bahan bakar, karena menggunakan tungku atau alat yang hemat energy. 

3. Efesiensi tenaga kerja pemasak gula, petani atau perajin mempunyai waktu luang lebih banyak untuk kepentingan-kepentingan yang lain.

4. Mutu produk dapat dengan mudah ditingkatkan, karena tempat dan kondisi pengolahan diciptakan sedemikian rupa sehingga tingkat hieginitas, pengontrolan mutu gula bisa diatur dengan lebih baik.

5. Variasi produk dengan ciri khas kemasan lebih bagus, tidak saja berbentuk gula cetak, tapi sudah bervariasi dengan gula serbuk atau gula cair (gula syrup).

6. Bisa membentuk badan usaha koperasi atau yang lain, karena yang terlibat ada sekitar 20 orang.

7. Ada peluang lebih besar untuk mengakses bantuan modal dari Bank atau sumber financial lainnya. Bank lebih percaya pada usaha yang berbentuk badan usaha dari pada perorangan.

8. Ada peluang untuk memperoleh perhatian dan kerjasama dari pemerintah atau lembaga-lembaga yang lain. Apalagi setelah korporasi ini berjalan dengan baik dan mampu member nilai lebih kepada para anggotanya.

9. Dengan perbaikan alat dan tungku pengolahan gula, usaha gula rakyat berpeluang menghasilkan produk tambahan berupa arang dan asap cair, yang nilai penjualannya bisa melebihi produk gula itu sendiri. Alat dan model tungku bisa didesign sendiri dibuat sendiri atau bekerja sama dengan bengkel setempat menggunakan contoh-contoh teknologi tungku yang ada. Asap cair banyak dibutuhkan untuk pengawetan produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan makanan olahan. Asap cair juga diperlukan untuk para petani untuk pengganti pestisida kimia yang membahayakan kesehatan, untuk para petani ikan untuk membasmi penyakit ikan di kolam, dll.

10. Dll.


Contoh 1 : Koperasi Gula Kelapa rakyat (saran untuk petani perajin gula kelapa di Pondok Nongko Banyuwangi)

Korporasi itu mungkin saja berbentuk koperasi Gula Rakyat, yang dibentuk atas dasar kemauan anggota yang mungkin saja terdiri dari 10 orang perajin atau penyadap, 5-10 orang pembantu perajin atau penyadap dan 5-10 orang pemilik pohon. Dengan minimal 20 orang anggota bisa dibentuk sebuah koperasi perajin gula rakyat. 

Pohon kelapa yang dikelola untuk gula sekitar 500 pohon (50 pohon/penyadap x 10 penyadap), dengan produksi nira sekitar 1.500 liter per hari (500 pohon x 3 liter/hari). Maka koperasi ini akan memproduksi gula kelapa sekitar 300 kg/hari ( 1.500 liter/hari : 5 liter/kg gula), dengan harga gula kelapa Rp 5.000 /kg maka pendapatan kotor koperasi yang berasal dari penjualan gula adalah Rp 1,5 juta per hari atau Rp 45 juta per bulan.

Tungku dan alat pengolahan gula sudah diperbaiki agar memungkinkan penghematan bahan bakar berupa kayu, sekam atau limbah gergajian, dll. Biasanya setiap perajin memerlukan kayu bakar sekitar 1 truk untuk memasak selama 10 hari, berarti kalau 10 perajin diperlukan 1 truk kayu bakar per hari. Korporasi yang mengelola hasil nira dari 10 perajin ini, dengan alat dan tungku hemat energy ini hany memerlukan sekitar 50 % bahan bakar yaitu 1 truk untuk sekitar 2 hari. Kalau 1 truk beratnya sekitar 2-3 ton, maka setiap hari hanya separuhnya, yaitu sekitar 1 sampai 1,5 ton kayu bakar.  

Harga kayu bakar berupa kayu limbah gergajian ini di tingkat perajin gula kelapa di Banyuwangi seharga Rp 375.000 per truk. Kalau penghematan bisa mencapai 50 % saja berarti ada penghematan sekitar Rp 187.500 per hari atau senilai Rp 5.625.000 per bulan, atau Rp 67.500.000 dalam setahun.

Penghematan tenaga kerja perajin yang dulunya diperlukan 10 orang atau lebih dalam mengelola gula secara individual, menjadi atau cukup dengan 2-3 orang saja. Berarti bisa dihemat tenaga sekitar 7-8 orang. Nilai penghematan itu sekitar Rp 200.000 per hari, atau Rp 6 juta/ bulan atau 72 juta per tahun. Jadi dari bahan bakar dan tenaga olah gula bisa dihemat sekitar Rp 140 juta per tahun. Kalau anggota koperasi ada 20 orang berarti pendapatan tambahan dari penghematan bahan bakar dan tenaga olah saja sekitar Rp 7 juta / tahun / anggota. Lumayan bukan?!

Belum lagi bila tungku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk selain memasak gula, juga menghasilkan arang (kayu, sekam, dll.) dan asap cair. Misalnya diasumsikan 1 kg arang dapat dibuat dari 4 kg kayu, dan 1 liter asap cair dapat dihasilkan dari 5 kg kayu, kalau setiap hari menghabiskan 1 ton kayu maka akan dihasilkan arang sekitar 250 kg dan asap cair sekitar 200 liter. Ini asumsi yang masih sangat kasar, angkanya bisa dikoreksi, bisa berkurang atau bertambah.

Produk samping yang dulu tidak kita pikirkan sekarang menjadi sumber pendapatan samping baru. Lalu berapa penghasilan tambahan dari arang dan asap cair ini ? Yang kita tahu sekarang ini adalah harga asap cair yang dibuat dari batok atau tempurung kelapa senilai antara Rp 7.000 – Rp 20.000 per liter, katakanlah Rp 10.000 per liter, maka nilai asap cair 200 liter itu adalah Rp 2 juta per hari. Kalau arang bisa dijual dengan harga Rp 1000 per kg, maka dari arang mendapat tambahan Rp 250.000 per hari. Berarti dari arang dan asap cair ada penghasilan sekitar Rp 2.250.000 per hari, atau Rp 67,5 juta per bulan, atau Rp 810 juta per tahun.

Nilai tambahan penghasilan dari produk arang dan asap cair ini memang sangat fantastic, maka sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kalau dibagi kepada 20 orang anggotanya, maka rata-rata per orang akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 40,5 juta per tahun. Dengan penghematan bahan bakar dan tenaga tadi, maka dengan menerapkan pola korporasi ini ada peluang peningkatan pendapatan sekitar Rp 47,5 juta per tahun per anggota korporasi. Nilai yang fantastic!!!

Bagaimana menurut Anda?

Kamis, 12 Februari 2009

REVOLUSI REVITALISASI INDUSTRI GULA AREN RAKYAT ADALAH WAJIB

REVOLUSI REVITALISASI INDUSTRI GULA AREN RAKYAT ADALAH WAJIB

Oleh : Dian Kusumanto

 Dalam fiqih syar’iyah dikenal ada 5 jenis hukum agama atas sesuatu kegiatan atau kejadian, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Bila melihat tingkatan hukum ini maka penulis menganggap bahwa revitalisasi industry gula aren rakyat hukumnya adalah wajib. Sebab kalau tidak dilakukan barangkali industry ini akan mati pelan-pelan digerus jaman.  

Keadaan ini bahkan sudah terjadi. Adapun yang masih bertahan sekarang ini adalah industry rakyat yang sangat rentan. Apabila ada industry besar gula aren dengan teknologi yang efisien dan memasuki pasar gula rakyat, maka industry rakyat ibaratnya seperti diambang badai dan gelombang besar yang mungkin segera akan menenggelamkannya.

 Industri gula aren rakyat banyak terdapat antara lain di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lain sebagainya. Pada umumnya kondisinya masih sangat sederhana, dikelola dengan manajemen keluarga dengan alat-alat yang masih sangat tradisional. Hampir tidak ada inovasi teknologi yang baru dari semenjak industri rakyat ini dikenal oleh nenek moyang kita.  

 Bahkan sebenarnya kondisi ini dialami juga oleh industry serupa dari bahan nira kelapa yaitu gula merah atau gula kelapa, dari bahan nira siwalan atau lontar yaitu gula lontar. Industri rakyat seperti ini kondisinya sama, yaitu belum banyak memanfaatkan kemajuan teknologi, jauh dari sentuhan teknologi. Ini memang sangat meprihatinkan!! Sekaligus mengkhawatirkan!! Bahkan sangat menyedihkan!!

 Kasihan memang. Ironis memang! Memang sangat kasihan, memang sangat ironi. Lalu mana peran lembaga penelitian kita ? Mana peran pemerintah daerah ? Kok semua pada tidur mendengkur, seolah lupa dan mabuk dengan urusan politik. Ekonomi rakyat ini juga perlu “dipolitiki” kok. (Marah ni yee?!). Oke biar nggak jadi “udun” atau “bisul” perjuangan ekonomi rakyat, yang bila pecah baunya nggak enak, maka kita coba cari solusi pengobatannya. Setuju khan?  

 Ibarat dokter, kalau mau mengobati pasiennya maka si pasien harus didiagnosa lebih dulu. Dari diagnose yang dilakukan, terkumpul data atau gambaran industry rakyat gula merah pada umumnya adalah sebagai berikut :
1. Dikelola oleh keluarga sendiri dengan pola yang sederhana
2. Bahan bakar kayu, sebagian besar menjadi beban biaya paling berat pada industry gula rakyat
3. Model tungku tunggal sederhana dengan kuali satu buah, di beberapa tempat ada sedikit model tungku semi tertutup dengan kuali ganda.
4. Pada umumnya memproduksi gula aren cetak. Bentuk cetakan biasanya sangat khas antara satu daerah dan daerah lain.
5. Kondisi dapur terbuka dan diluar ruangan, atau di bawah rumah atau pondok tanpa dinding.
6. Kondisi tempat produksi kurang hiegenis dan biasanya masih kotor.
7. Mutu gula sangat beragam belum ada jaminan mutu.
8. Produk gulanya pada umumnya belum bermerk.



 Keadaan ini sangat berpeluang besar untuk dapat diperbaiki. Perubahan besar atau revolusi sangat mungkin untuk dilakukan, dan bahkan sudah menjadi tuntutan agar industry rakyat ini tetap bertahan dan bahkan dapat diandalkan dapat memperbaiki ekonomi rakyat.

 Apa saja agenda wajib revolusi revitalisasi industry rakyat gula aren ini ? Yang bisa dilakukan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Perbaikan teknologi 
2. Perbaikan manajemen, 
3. Perbaikan kelembagaan usaha, 
4. Melakukan diversifikasi produk, 
5. Memperluasan pasar. 

Perbaikan teknologi pertama adalah perbaikan tungku untuk efisiensi penggunaan bahan bakan dan tenaga kerja, bahkan bisa menghasilkan produk sampingan. Barangkali kita bisa berguru pada industry Mapple Syrup yang ada di Amerika dan Canada, seperti tulisan artikel saya sebelum ini. Bahkan teknologinya bisa kita tingkatkan, maksud saya, teknologi tungku ini selain sangat efisien dalam penggunaan bahan bakar juga dapat menghasilkan Arang dan Asap Cair yang nilai jualnya juga cukup tinggi.

Ini tidak sembarang tungku, sebab dari tungku memasak gula ini kita bisa menghasilkan arang kayu yang harganya juga cukup bagus. Hasil dari arang kayu sangat tergantung dari jenis kayunya, semakin keras kayunya semakin tinggi hasil arangnya. Hampir semua jenis kayu dapat dibuat arang. Bahkan bila bahan bakarnya berupa sekam pun dapat dihasilkan arang sekam. Arang sekam bisa dicetak menjadi briket arang sekam, atau bisa digunakan sebagai media tanam pot yang harganya cukup bagus.

Asap cair juga bisa jadi menjadi komoditi tambahan dari industry gula rakyat ini. Bahkan bisa jadi hasilnya lebih tinggi dari nilai gula yang dihasilkan. Sebagai gambaran, jika bahan bakarnya berupa tempurung kelapa maka rendemen asap cair dapat mencapai 35-50 %, arang tempurung mencapai sekitar 40 % dari berat tempurung kelapa. Hal ini sebenarnya sangat dahsyat dan revolusioner. Sebab dapat merubah kondisi dari industry rakyat yang kembang kempis menjadi industry rakyat modern yang sangat menguntungkan.  

Jadi, selain memproduksi gula aren industry ini juga berpeluang untuk menghasilkan arang kayu dan asap cair. Asap cair sekarang ini menjadi alternative sebagai pengawet alami yang aman, menjadi pengganti obat-obatan pestisida untuk tanaman, untuk kolam, dll. Harga asap cair ini di pasaran cukup tinggi, yaitu antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 20.000 per liter. Kalau dalam sehari menggunakan 1 ton kayu, maka dapat juga dihasilkan arang sekitar 400 kg dan sekitar 350 liter asap cair.

Dengan teknologi yang baru ini maka akan terjadi peningkatan kapasitas alat. Oleh karena itu para perajin gula harusnya bisa disatukan dalam kelompok perajin. Banyaknya anggota kelompok tergantung dari kapasitas alat yang akan digunakan. Ini tidak mudah, karena perlu meyakinkan para perajin dari keadaan yang dulunya saling bersaing menjadi keadaan yang saling kerjasama dan saling mempercayai. Tantangannya adalah karena “permusuhan” ini memang kadang sengaja “diciptakan” untuk kepentingan bisnis segelintir orang.

 Makanya upaya revitalisasi ini lebih pas kalau disebut sebuah revolusi, karena memang yang diubah adalah hampir semua aspek kebiasan dan perilaku dari mulai pemilik pohon (pekebun), perajin, pengepul, pedagang dan konsumen. Peluang ini akan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau dia tidak berpihak kepada ekonomi kerakyatan, maka tidak akan merubah nasib petani dan keluarganya yang selama ini hidup dari industry rakyat ini.  

Maka diperlukan Pengusaha yang punya hati nurani dan humanism yang tinggi, tidak cukup hanya berorientasi keuntungan sesaat yang akhirnya menghancurkan sub-sub system lainnya. Namun seluruh system industry gula berbasis rakyat ini harus bisa maju bersama, sejahtera bersama agar terus berkelanjutan usahanya dan harmonis serta dirahmati Tuhan. (bersambung…. insyaAllah).

Selasa, 10 Februari 2009

Prospek Gula Aren Cair agar sehebat Mapple Syrup

Mapple syrup kemasan kaleng.


Mapple syrup kemasan botol gelas, eksklusif dan sangat prestisius.  Pantas kalau harganya sangat berharga. 

Mapple syrup kemasan plastik galon


Mapple syrup kemasan botol gelas yang khas dan cantik, menarik dari jauh, ingin membeli kalau dari dekat.


Mapple syrup kemasan plastik mirip keramik yang menarik dan kokoh

Prospek Gula Aren Cair agar sehebat Mapple Syrup

Berikut ini surat atau email yang sangat inspiratif dari Sdr. Anjar.

Dear Bapak Dian Kusumanto,


Perkenalkan nama saya Anjar. Saya dan beberapa teman yang tergabung dalam satu tim, saat ini tengah memulai proses penyusunan tugas akhir kami yang berupa Business Plan. Kami adalah mahasiswa S2 Prasetiya Mulya Business School Jakarta. Dalam Business Plan ini, kami diharapkan untuk menyusun sebuah prencanaan bisnis yang mampu menjawab kebutuhan pasar dan sekaligus profitable sehingga bisnis yang dijalankan cukup sustainable. Adapun dalam proses awal ini, kami sedang melakukan eksplorasi ide dan kami tertarik dengan prospek bisnis gula aren, terutama dengan gula aren cair. Walaupun produk aren dapat berupa gula jawa, gula semut dan gula aren cair, kami tertarik dengan gula aren cair karena gula jenis ini penetrasi ke pasarnya masih rendah. 

Kami direkomendasikan oleh Pak Tatang dari ITB untuk mengambil topik bisnis ini. Pak Dian, bila bapak berkenan dan tidak keberatan, kami ingin berkorespondensi dengan bapak untuk berkonsultasi mengenai hal ini. Terutama dalam tahap awal ini, kami ingin mematangkan konsep bisnis gula aren. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan ke Bapak:
Bagaimana pemanfaatan gula aren cair di Indonesia? Untuk apa aja...? Lebih efektif mana dengan penggunaan gula semut? 
Apakah gula aren cair memiliki karakteristik yang sama dengan gula mapple (mapple syrup)?
Pasar seperti apa yang selama ini efektif mengkonsumsi gula aren cair? Rumah tangga, restoran, hotel..?
Bagaimana sistem distribusi/penjualan yang berjalan di perusahaan bapak?
Apakah perusahaan bapak memproduksi nira aren sendiri atau nira diperoleh dari penduduk setempat?

Semua informasi yang kami peroleh hanya akan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan bersifat confidential (intern kampus). Mudah-mudahan Bapak bersdia membantu kami. Demikian permohonan dari kami. Atas perhatian dan bantuan yang diberikan, kami ucapkap terima kasih.

Hormat Kami,

Anjar Titisari 
Telp. 0818616371
Email. Anjar.titisari@gmail.com
Student of MMR 36 Prasetiya Mulya Business School

www.pmbs.ac.id

Terima kasih atas perhatian para Calon Peneliti yang mulai perhatian terhadap prospek komoditi negeri sendiri.  Mudahan sumbangsih perhatian, pemikiran ide-ide dari saudara akan bermanfaat bagi kemandirian dan kedaulatan Bangsa Indonesia.  Amin.

Mohon maaf seandainya Sdr Anjar Titisari kurang berkenan atas posting emailnya.  Oleh karena itu mohon perkenannya karena pertanyaan Saudara sangat penting bagi timbulnya wacana ini untuk membangun prospek Gula Cair Aren masa yang akan datang.

Jawaban/ Tanggapan/ Ide saya, sebagai berikut.

Tanya – Jawab
1. Bagaimana pemanfaatan gula aren cair di Indonesia? Untuk apa aja...? Lebih efektif mana dengan penggunaan gula semut? 

Secara tradisional masyarakat Indonesia juga menyukai gula cair. Alasannya adalah praktis. Contohnya :
- Gula Juruh atau gula merah yang dicairkan biasanya dipakai untuk pemanis gethuk, srabi, kue cethot, 
- Gula cair untuk pemanis Es cendhol, Es Dhawet, Es Degan, Es Teller, dll.
- Gula Cair untuk pemanis bubur kacang hijau, 
- Gula cair yang di lumurkan pada krupuk singkong, sebagai pemanis sekaligus penghias
- Gula cair juga digunakan untuk memasak pisang, singkong, serutan kelapa, serutan ubi, dll.

Gula semut adalah gula merah/ gula aren yang berbentuk serbuk. Secara tradisional biasa digunakan untuk pembuatan kue-kue seperti : 
- mengisi kue klepon,  
- mengisi kue jembhlem (dari singkong yang dimasak), 
- mengisi kue lemet (dari singkong parut), 
- mengisi kue Pilus (dari ubijalar), 
- untuk membuat gula juruh atau gula cair, dll.

Memang lebih praktis bila menggunakan gula cair. Kalau mau dibandingkan kekurangan dan kelebihannya, bisa disusun sebagai berikut :

Gula Aren Cetak :
Kelebihan : Membawanya enak, Wadahnya sangat fleksibel.

Kekurangannya : Kalau akan menggunakan harus diiris-iris dulu, kurang praktis,
Sulit untuk menakar sesuai keperluan, Gampang meleleh kalau tempatnya panas,
Dalam pembuatannya juga memerlukan waktu dan keahlian khusus

Gula Aren Semut :
Kelebihan : Gampang mengambilnya sesuai keperluan,  Penggunaannya praktis,
Wadahnya fleksibel.
 
Kekurangan : Cara membuatnya agak rumit, Kadar airnya lebih sedikit, beratnya kurang,
Gampang meleleh atau mencair kalau kena panas dan kena air

Gula Aren Cair :

Kelebihan : Gampang penggunaanya, Bisa ditakar sesuai keperluan, Bisa dimasukkan botol, jerigen, drum, dll.

Kekurangan : Kadar gula sangat bervariasi, Mutu gulanya sangat tergantung dari bahan baku dan cara pemrosesannya, Belum banyak dipasarkan.

Jadi kalau mau disimpulkan, sebenarny yang paling efektif, mudah membuatnya, praktis dalam penggunaannya, dan lebih menguntungkan bagi pembuat gula adalah gula aren cair. Hanya saja harus ada jaminan mutu dari produknya. Oleh karena itu perusahaan Gula Aren cair harus konsisten dengan standard yang sudah ditetapkan atau yang sudah dipatentkan. Sehingga konsumen akan yakin dan percaya bila menggunakan produk gula cair aren merk tertentu, contohnya Gula Syrup Aren produk DIVA MAJU BERSAMAnya Bu Evi Indrawanto.

Malaysia juga lebih banyak memproduksi Gula Syrup (Arenga Syrup) untuk konsumsi dalam negeri maupun yang diekspor ke Jepang. Perusahaan Pabrik Gula Arenga Syrup di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia adalah perusahan patungan dengan investor dari Jepang.  

Sebenarnya kalau mau Indonesia lebih berpeluang, bisa bekerja sama dengan para petani Aren di Sulawesi Selatan (Bulukumba, Enrekang, Palopo, Tana Toraja, dll) , Sulawesi Tengah (Palu), Toli-toli, Sulawesi Utara (Minahasa Utara, Selatan, Tondano, dll.), Gorontalo.
Gula Cair kita bisa beraneka rasa, karena banyak macam tanaman yang bisa dipilih. Tanaman sumber bahan pemanis gula cair antara lain adalah Aren, Kelapa, Siwalan (Lontar), Nipah, dll. Ada nggak ya yang seperti pohon Mapple dari Amerika dan Canada? Kalau ada memang sangat praktis nyadapnya.

2. Apakah gula aren cair memiliki karakteristik yang sama dengan gula mapple (mapple syrup)?

Gula Mapple kayaknya agak beda. Pohon Mapple bukan jenis palma, sedang pohon-pohon tropis yang mengandung gula kebanyakan berjenis palmae (Aren, kelapa, Lontar, Nipah, kecuali tebu). Pohon Mapple jelas beda sekali, dia mampu hidup pada saat musim dingin, dan masih terus meneteskan air gulanya.
Karakteristik gulanya juga beda, Nira pohon Mapple jernih seperti air biasa namun terkandung gula sekitar 2-3 %, sedang nira dari Aren, Kelapa, Nipah dan Lontar warnanya agak keputihan dan sedikit lebih kental, kandungan gulanya lebih tinggi sekitar 7 – 15 %.

3. Pasar seperti apa yang selama ini efektif mengkonsumsi gula aren cair? Rumah tangga, restoran, hotel..?

Sebenarnya konsumen akan sangat menyukai Gula Cair Aren, karena lebih praktis penggunaannya. Masalahnya untuk merubah budaya dan kebiasaan yang sudah mengakar ini perlu trik perlu rekayasa social dan pengenalan yang terus menerus. Saya kira ada beberapa strategi yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut :
- Bahwa Gula Cair Aren tidak kalah kualitasnya dengan gula putih
- Kelebihan-kelebihan Gula Cair Aren (GCA) harus dikenalkan seperti (organic atau alamiah, tidak membahayakan kesehatan, mengandung beberapa khasiat tertentu, dll.)
- Jaminan mutunya harus konsisten. Oleh karena itu kemasan harus mencerminkan jaminan kwalitas mutu yang konsisten.
- Bisa saja GCA diberi tambahan aroma atau flavor tertentu seperti rasa pandan, rasa coco pandan, rasa cocoa, rasa jahe, GCA Kumis Kucing, GCA Mahkota Dewa, GCA Rosella, GCA Rumput Laut, dll.

4. Bagaimana sistem distribusi/penjualan yang berjalan di perusahaan bapak?
5. Apakah perusahaan bapak memproduksi nira aren sendiri atau nira diperoleh dari penduduk setempat?

Maaf, perusahaan Gula Cair Aren saya belum selesai dibangun (mungkin tahun-tahun depan??). Tapi Anda bisa menghubungi Ibu Evi Indrawanto (http://gula-aren.blogspot.com tentang ini, karena beliau sudah berpengalaman. Mudahan beliau mau member informasi yang Anda perlukan.

Jangan lupa nanti hasil studinya agar saya juga dikirimi, agar bisa dimanfaatkan untuk anak-anak bangsa demi kemajuan generasi bangsa. Thanks, selamat berjuang!! Salam untuk pak Tatang.



Senin, 02 Februari 2009

Kunjungan Pakar Biofuel Nasional di Kebun Bibit Aren Nunukan

Bapak Asisten Ekonomi & Pembangunan (ASS II) Pemda Kabupaten Nunukan (H. Adi Kamaris Ishak, SIP), didampingi Bapak Anwar R.N. (Anggota DPRD Kabupaten Nunukan) dan Pak Ilham Zain, S. Sos. (Sekretaris Dinas PerindagkopUKM Kabupaten Nunukan) sedang membuka acara presentasi prospek Biofuel di Kabupaten Nunukan oleh DR. Ir. Tatang H. Soerawidjaja (ITB) dan Ir. Ricky H. Warga Kusumah dan Ir. Aribowo dari PT. Pasadena Engineering Indonesia.

Bapak Ir. Ricky H. Wargakusumah dan Bapak DR.Ir. Tatang H. Soerawidjaja sedang memberi paparan tentang propek Biofuel di Kabupaten Nunukan.  Nunukan berpotensi menjadi Kabupaten Sumber BBN atau Kabupaten Mandiri Energi dengan memanfaatkan segala sumber bahan bakar nabati seperti Kelapa Sawit, Aren, Nipah, Singkong, Sorgum, Ubijalar, dll.  Semua tanaman BBN bisa tumbuh subur di Nunukan, kita patut mensyukurinya.  


Pak Tatang, Pak Ricky dan Pak Aribowo sedang mengamati bibit Aren di kebun pembibitan Aren di Sei Jepun Nunukan Selatan.  Bibit Aren yang dikelola oleh Bapak Daeng Lau cukup menarik perhatian dalam kunjungan Ahli dan pejuang Biofuel Nasional ini.  Dari pembibitan di Nunukan ini diharapkan memberi sumbangsih bagi pengembangan kemandirian energi di Nunukan khususnya serta Nasional.  Amin.

Pak Tatang sedang mengamati buah Nipah di pinggir hamparan lahan pantai yang ditumbuhi pohon Nipah yang terletak di Desa Binusan di Pulau Nunukan.  Pohon Nipah banyak terdapat di sepanjang tepi pantai atau sungai, namun sampai sekarang belum dimanfaatkan.  Pak Tatang menyebutkan Nira Nipah juga bisa dimanfaatkan untuk gula atau bioethanol, pohonnya sudah ada dan tinggal dimanfaatkan saja. 

Pak Yasir dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Nunukan menjelaskan potensi Nipah dan tanaman-tanaman lain penghasil BBN yang sangat banyak di Kabupaten Nunukan.


Pak Daeng Lau sedang berbincang dengan Bapak Dr. Tatang Hernos Soerawidjaja dari ITB, Bapak Ir. Ricky H. Wargakusumah dan Bapak Ir. Aribowo dari PT. Pasadena Engineering Indonesia di kebun pembibian Aren  di Sei Jepun Nunukan Selatan.