......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Jumat, 30 November 2012

Kisah Sunan Kalijogo dan Kilau Emas Pohon Aren

Kisah X - Jogo mencari Titik Ba'

Bismillahirrohanirrohim..........

Kisah ini sudah tidak asing lagi di Babat tanah Jawa, dikala seorang pemuda yang sedang menghentikan langkah sosok orang tua yang telah renta, yang bermaksud untuk merampas/merampok harta-nya. Dengan tenan dan tanpa ada-nya rasa takut si Tua Renta tadi bertanya :

Tua Renta : Apa yang engkau inginkan dari-ku wahai anak muda...???

Si Pemuda : Keluarkan hatra yang kau punya..!!!

(Dengan tersenyum yang menghiasi bibir) si Tua Renta ini menyerahkan seuntai Tasbih kepada si pemuda, karena memang itu-lah harta satu2-nya yang Ia bawa. Seraya berkata: )

Tua Renta : Silahkan ambil ini wahai anak-ku..!! Tapi, bila engkau ingin yang lebih banyak lagi dari ini, cobalah engkau tengok pohon Enau itu..!!!

(Sungguh terhenyak-nya si pemuda itu, tatkala melihat pohon Enau yang ditunjuk si Tua Renta tadi telah berubah menjadi Emas mulai dari Akar sampai Daun2-nya. Dan pada akhir-nya si pemuda menyadari bahwa yang berada di hadapan-nya bukan-lah manusia biasa, tetapi orang yang sakti mandraguna, dan segera-lah si pemuda minta maaf serta mencium tangan-nya, berlutut seraya memohon: )

Si Pemuda : Wahai Orang Tua, perkenankan-lah hamba yang hina ini untuk bisa menjadi murid-mu..!!! hamba mohon ampun atas perlakuan tadi terhadap-mu...

(Dengan sorot mata yang tajam, si Tua memandang serius kepada si pemuda itu, dan berkata: )

Tua Renta : Ilmu apa yang engkau inginkan dari-ku, anak-ku..!!!

Si Pemuda : Ilmu TITIK BA' tuan..!!!

(Sambil tersenyum, Si Tua meraih bahu si pemuda dan menyuruh-nya untuk berdiri)

Tua Renta : Baik-lah, tetapi aku harus meneruskan perjalanan dahulu, Engkau tunggu aku di sini dan tolong jagakan tongkat-ku ini..!!! (ditancapkan di pinggir/tepi sungai/kali) sampai aku kembali..!!!

Si Pemuda : Baik guru..!!!

Akhir-nya Si Tua Renta tadi pergi meninggalkan si Pemuda yang telah menunggu di sungai (KALI : Jawa,red:) Konon, kurang lebih sekitar 3 Tahun, si Tua Renta tadi teringat punya janji kepada orang yang pernah hendak merampas harta-nya untuk mengajarkan Ilmu TITIK BA' Beliau-pun segera bergegas berangkat menuju arah tempat pertemuan mereka dahulu:)

Dan betapa terkejut-nya si Tua Renta tadi, melihat sosok si pemuda yang belum beranjak dari duduk semadi-nya, yang kurus kering kerontang dan dilingkari oleh jalaran dedaunan..!!! yang menunggu untuk mendapatkan pelajaran Ilmu TITIK BA'. Si Tua Renta itu-pun membangunkan si pemuda itu dan memberi-nya nama : "K A L I J O G O" yang arti-nya (Penjaga Sungai).

Adapun si Tua Renta yang sakti mandraguna tadi tidak lain adalah seorang yang 'Arif Billah, seorang Khowasul Khowwas, seorang Waliyulloh yaitu : MAKDUM IBRAHIM yang di kenal dengan sebutan Sunan "B O N A N G"

Dari Kisah ini dapat di pahami, bahwa Ilmu TITIK BA' sudah menjadi pegangan para Wali di Tanah Jawa, meskipun kisah ini di anggap oleh sebagian orang hanya-lah legenda belaka.

Ulama' khusus-nya di kalangan Ahlu Isyarat, bahwa pendalaman rahasia2 huruf dalam Kitab Suci Al-Qur'an adalah suatu bagian dari Ijtihad. Merujuk keterangan para 'Arif Billah,

"Likulli ayatin wa-kharfin wa-nuqthotin minal-Qur'ani Hikmatun"

Wallohu A'lamu Bis-Showab......................

Created by : Mr. Com

Sumber : http://shafauqi.blogspot.com/2012/06/kisah-x-jogo-mencari-titik-ba.html

Jumat, 23 November 2012

MERANCANG PERKEBUNAN AREN INTENSIF DENGAN INDUSTRI GULA YANG MODERN



Gambar Sistem Industri Gula Moden


Gambar Pengelolaan Nira dengan Sistem Membran Reverse Osmose 
di Industri Maple Syrup Canada


 
 Gambar  Industri Maple Syrup skala kecil di Canada

Konsep Jembatanisasi dan Pipanisasi di Kebun Aren Modern


MERANCANG PERKEBUNAN AREN INTENSIF DENGAN INDUSTRI GULA YANG MODERN   (Bagian 1)

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Saya sering ditanya tentang skala minimal perkebunan Aren itu?   Ini suatu pertanyaan yang kelihatan simple, sederhana dan pendek saja.   Untuk menjawab pertanyaan ini sungguh bisa sangat panjang, bisa menjadi buku yang sangat tebal.  Namun rasanya penulis akan berusaha menjawabnya  agak singkat  dan pendek saja,  mungkin dalam beberapa tulisan.

Kapasitas Olah Pabrik dan Luasan Kebun

Kalau untuk perkebunan Kelapa Sawit biasanya ada skala minimal, yaitu 6.000 hektar.  Ada juga yang mengatakan bahwa skala minimal suatu perkebunan dan industry Kelapa Sawit ya di atas 10.000 hektar.   Kenapa jawabannya nggak sama?  Ternyata skala luas itu dihubungkan atau tergantung utamanya dari kapasitas pabrik olahannya.  Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang dianggap ‘mini’ itu membutuhkan bahan baku tandan buah sawit  20-50 ton tandan buah sawit per jam.  Skala kapasitas pabrik inilah yang menjadi ukuran dari berapa luas minimal perkebunan yang diusahakan.

Katakanlah kapasitas minimal pabrik pengolahan TBS ini misalnya 20 ton/ jam,  maka dalam setiap hari yang bekerja  20 jam/hari akan memerlukan bahan baku TBS sebesar  400 ton/hari.  Dalam hitungan sebulan maka pabrik akan memerlukan bahan baku TBS sebanyak  12.000 ton.   Jika setiap hektar kebun sawit menghasilkan panen TBS sebanyak 2 ton/bulan,  maka untuk memenuhi  kapasitas olah pabrik sebesar 12.000 ton TBS/bulan diperlukan lahan minimal 6.000 hektar.  

Dari hitungan di atas kita sebenarnya sudah menetapkan beberapa asumsi atau patokan angka sementara, yaitu seperti :
1.       Kapasitas olah mesin sebesar 20 ton/jam
2.       Lama bekerja pabrik dalam setiap hari misalnya 20 jam/hari
3.       Hari kerja dalam sebulan selama 30 hari per bulan
4.       Produktifitas lahan sawit yang diasumsikan berproduksi 2 ton/bulan/hektar.

Bagaimana dengan skala usaha perkebunan Aren?   

Dalam hal seperti  ini kita bisa mengukurnya  dimulai dari  kapasitas olah pabrik pengolahan Nira dan Gula Aren.   Masalahnya ukuran kapasitas pabrik gula Aren ini belum ada standard yang sudah diproduksi.   Namun dalam hal pengolahan gula yang berbahan dasar tebu biasanya digunakan ukuran TCD (Ton Cane Day) yang artinya jumlah berat tebu segar dalam satuan berat ton dalam waktu sehari.   Yang pernah penulis ketahui bahwa ada pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD berarti  pabrik tersebut mampu menggiling tebu sebanyak  5.000 ton per hari.

Jika masa giling tebu itu dihitung 150 hari dalam setahun, maka pabrik Gula kapasitas 5.000 TCD itu akan mampu mengolah tebu sebanyak   750.000 ton dalam setahun.  Menurut beberapa ahli gula rendemen gula dari total berat  tebu itu adalah antara 5% sampai dengan 7,5 %.   JIka hasil gulanya sekitar 5% dari berat tebu tersebut maka pabrik gula kapasitas 5.000 TCD tadi akan menghasilkan gula sebanyak sekitar  37.500 ton dalam setahun musim gilingnya.  Jika hasil gulanya (rendemen) 7,5 % maka kapasitas produksi akan menjadi  56.250 ton dalam setahun.

Kalau lahan tebu dalam sehektar menghasilkan tebu batangan sekitar  75 ton, maka diperlukan kebun tebu  seluas 10.000 hektar  agar pabrik dengan kapasitas 5.000 TCD bisa beroperasi.  Seandainya produktifitasnya dinaikkan menjadi 100 ton tebu batangan per hektar maka  luasan kebun tebu bisa dikurangi menjadi 7.500 hektar.

Kalau dalam sehari mesin bekerja 20 jam (misalnya), maka kapasitas olah pabrik itu adalah 250 ton tebu per jam, menghasilkan NIra tebu separuhnya yaitu sekitar 125 ton per jam.   Artinya bahwa Pabrik Gula Tebu dengan kapasitas 5.000 TCD itu mempunyai kapasitas olah Nira sekitar 125 ton  atau 125.000 liter per jam.  Kalau dihitung jam kerja sehari yang 20 jam, maka kapasitasnya adalah 2.500 ton atau setara dengan 2.500.000 liter per hari.

Kalau misalnya diasumsikan saja bahwa unit pengolahan Nira dari Pabrik Gula Tebu berkapasitas 5.000 TCD ini digunakan untuk Nira Aren, maka  Nira yang diolah juga sama yaitu sebanyak  2.500.000 liter Nira Aren per hari.   Jika setiap hektar kebun Aren itu nanti menghasilkan Nira Aren sebanyak 1.000 liter Nira per harinya, maka  kebun Aren yang harus ditanam seluas  2.500 hektar.  Jika produktifitas kebun Aren ditingkatkan menjadi  2.000 liter Nira per hektar per hari maka kebun
Aren luasannya bisa diturunkan menjadi  1.250 hektar saja.  

Hanya saja kalau bahan bakunya dari tebu dalam setahun Pabrik hanya bekerja selama sekitar 150 hari.   Namun jika menggunakan Nira dari kebun Aren Pabrik pengolahan itu bekerja sepanjang tahun tiada henti, karena Nira Aren terus keluar setiap hari sepanjang tahun.  Yang lebih menguntungkan lagi adalah bahwa dengan bahan baku dari Nira Aren  maka investasi pembangunan Pabrik menjadi sangat murah, karena tidak perlu lagi unit untuk  memeras nira dari batang tebu hingga alat untuk proses pemurnian nira.  Nira Aren sudah demikian bersihnya sehingga tinggal diproses untuk mengurangi kadar airnya dan setelah cukup kental tinggal dicetak atau dikristalkan.  Sedemikian sederhana dan jauh lebih murah.

Dari hitungan di atas kita sebenarnya sudah menetapkan beberapa asumsi atau patokan angka sementara, yaitu seperti :
1.       Kapasitas olah Pabrik Gula 5.000 TCD
2.       Lama bekerja pabrik dalam setiap hari misalnya 20 jam/hari
3.       Hari kerja dalam sebulan selama 30 hari per bulan
4.       Kandungan Nira dari Batang Tebu adalah sekitar 50% w/w
5.       Musim Giling Pabrik Tebu 150 hari
6.       Unit Pengolah Niranya berkapasitas  2.500 NPH (Nira per hari)
7.       Rendemen gula dari batang tebu  antara 5% - 7,5%
8.       Produktifitas lahan tebu  diasumsikan   75-100 ton tebu/musim/hektar
9.       Produktifitas Nira dari kebun Aren diasumsikan  1.000 – 2.000 liter/hektar/hari.

Angka-angka di atas adalah angka asumsi untuk memudahkan penggambaran kita tentang  besarnya skala ekonomis dari suatu pabrik gula yang selama ini sudah lazim.  Mudahan bisa membantu mebuat rancangan infrastruktur pendukung lainnya yang akan kita bangun dalam suatu unit perkebunan dan industry Aren di waktu yang akan datang.

Seandainya kita menggunakan teknologi yang sudah dikembangkan di Pabrik Gula dengan bahan baku tebu, maka  untuk pengolahan berbahan baku Nira Aren akan lebih sederhana.   Dalam Pabrik Gula berbahan tebu setidaknya ada 6 (enam) stasiun proses yaitu :
1. Stasiun Penggilingan
2. Stasiun Pemurnian Nira
3. Stasiun Penguapan Nira
4. Stasuin kristalisasi Nira
5. Stasiun Pemisahan
6. Stasiun Penyelesaian





Dengan bahan baku berupa Nira Aren maka Stasiun Penggilingan dan Pemurnian Nira tidak diperlukan lagi.   Tetapi Stasiun Penguapan Nira, Kristalisasi, Pemisahan dan Penyelesaian tetap diperlukan.   Beberapa alat yang selama ini belum lazim di Pabrik Gula  bahkan akan ditambahkan untuk meningkatkan mutu Nira dan disesuaikan dengan jenis-jenis produk Gula yang akan dihasilkan.  Beberapa alat itu antara lain :
1.       Sistem Pompa dan Storage Nira
2.       Sistem Pengangkutan Nira dari Kebun ke Pabrik
3.       Sistem Pemurnian Nira dengan Teknologi Membaran
4.       Sistem dehidrasi Nira dengan Reverse Osmose (RO)
5.       Sistem Vacum Evaporator Double/ Multiple Effect (Liquid Sugar)
6.       Sistem Pan Evaporator (Karamelisasi)
7.       Sistem Granulator Gula (Brown Sugar)
8.       Sistem Packaging
9.       Dll.

Hebatnya teknologi Membran dan Reverse Osmose

Di dalam paket industry Gula berbasis Aren kita sudah harus menggunakan teknologi yang bisa menghemat energy sekaligus meningkatkan mutu produk dan efisiensi biaya, tenaga dan waktu.  Artinya kita harus adopsi teknologi yang memang bisa memberi nilai tambah yang nyata sebagai suatu perkebunan yang dikelola intensif dan didukung dengan  industry pengolahan  yang modern.  Salah satunya adalah masuknya teknologi Membran dan Reverse Osmose dalam pengolahan Nira Aren.   Teknologi ini diinspirasi dari pengolahan Nira dari pohon Maple di Canada dan Amerika Utara.

Nira Maple yang memiliki kandungan gula hanya sekitar 2%  menggunakan teknologi Membran dan RO untuk mengurangi kandungan airnya dan sekaligus meningkatkan kadar gulanya hingga 30%.  Artinya volume Nira bisa dikurangi airnya hingga sekitar 93%  atau menjadi  7% (seperempatbelas bagian) saja dari volume semula.    Jika kita terapkan untuk Nira Aren yang memiliki kandungan gula sekitar 12 %  kemudian menjadi berkadar gula 30% itu artinya bisa mengurangi kandungan air dari nira Aren itu sebanyak 60% atau menjadi  40 % dari volume semula.  Kalau misalnya hasil Nira dengan kadar gula 12% itu sebanyak 1000 liter kemudian  diolah dengan alat RO,  akan dihasilkan Nira berkadar gula 30% dengan volume tinggal  400 liter saja, artinya yang 600 liter itu adalah berupa air murni biasa.

Bisa dibayangkan betapa mahalnya jika kita menggunakan cara tradisional dengan memasak nira menggunakan cara pemanasan.  Air yang keluar dari Nira dalam bentuk uap air baru bisa terjadi pada suhu di atas 100 derajat Celsius.  Berapa banyak energy panas yang harus diberikan untuk menaikkan Nira hingga bisa menguapkan air sebanyak 60% volume semula.   Selain energy panasnya perlu jumlah yang banyak, juga waktu untuk memanaskan perlu waktu yang cukup lama.  Hal ini bisa menyebabkan Gula yang terkandung di dalam Nira juga mengalami panas yang berlebihan yang menyebabkan karamelisasi atau terbakarnya zat gula  sehingga gula berwarna  kecoklatan atau hangus kehitaman.

Teknologi Membran dan RO ini  hanya mengandalkan energy listrik untuk memompa Nira melewati suatu Membran dari alat RO.   Sebagian air akan mampu menembus membrane sebagai flush liquid   dan sebagian lainnya akan kembali (reject liquid) karena tidak mampu menembus membrane.   Flush liquid itu adalah air murni yang keluar dari membrane RO, sedangkan reject liquid  itu adalah  Nira yang sudah kehilangan sebagian dari kandungan airnya atau Nira yang lebih kental.   Teknologi Membran RO ini sudah sangat familiar di kalangan Perajin Gula Maple di Canada dan Amerika Seriat Bagian Utara.  Makanya mutu gula maplenya, baik itu yang berupa Maple Syrup, Maple Sugar  maupun Maple Candiesnya  sudah terstandar mutunya hingga layak untuk dijual di Super Market maupun diekspor ke manca Negara.   Meskipun itu dikelola oleh para Perajin skala rumah tangga.

Dalam perkebunan Aren kita nanti yang dihasilkan adalah langsung dalam bentuk Nira cair yang langsung diolah menjadi gula.  Nira Tebu dari hasil perasan alat di pabrik Gula itu hampir sama karakteristiknya dengan Nira Aren yang baru saja keluar dari tandan bunga yang disadap.   Dalam pengelolaan on farm perkebunan Aren sudah langsung mempertimbangkan aspek pengolahannya.    Maka mutlak harus dicarikan jalan untuk mengelola Nira Aren dalam jumlah sangat besar itu dengan cara mekanisasi  dan system operasional yang efisien tenaga, waktu dan tetap menjaga mutu Nira tetap terjamin.  Oleh karena konsep  Jembatanisasi dan Pipanisasi (J&P) menjadi pilihan yang sangat cerdas.  Konsep ini menjadi mutlak adanya kalau luasan perkebunan dan produk industrinya  dirancang berkualitas tinggi (high quality product). 


(Insya Allah… Bersambung)

Rabu, 21 November 2012

Antara Food Estate dan Pengembangan Aren










Antara Food Estate dan Pengembangan Aren

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Program Food Estate dan Rice Estate sekarang menjadi salah satu tumpuan harapan bagi mencukupi kebutuhan pangan masa depan.   Ketahanan Pangan bahkan menjadi program utama dan seharusnya diutamakan.  Krisis pangan dunia  sebenarnya sudah lama disadari pasti akan datang.  Semua orang juga sudah tahu kalau krisis pangan terjadi  maka kemudian pasti krisis yang lain akan bermunculan.  Kekacauan itu bisa saja bergulir ke krisis politik atau ekonomi lebih dulu.  Atau bahkan bisa bergulir ke krisis keamanan dan moneter dunia.  Dan sejarah seperti sudah pernah terjadi, krisis panganlah hulunya.
Pangan memang seharusnya menjadi program wajib yang pertama dan utama.  Oleh karena itulah Kaltim merasa sangat berkepentingan dalam hal pemenuhan pangan bagi warganya.  Keadaan yang sama secara nasional memang tidak sama dirasakan oleh daerah-daerah lain,  yang merasa ketersediaan pangannya sudah mencukupi.   Namun demikian secara nasional keadaan pangan kita sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan.
Maka sangat tepat jika Program Nasional Food & Rice Estate  (FRE) dari Kementerian Pertanian  kemudian ditarik ke Kaltim.  Gubernur Awang Farouk Ishak demikian antusias untuk menarik program yang semula  dialokasikan di Papua ini.   Antusiasme Food & Rice Estate ini menjadi lebih bergairah lagi setelah Kawasan Delta Kayan di Kabupaten Bulungan menunjukkan titik-titik keberhasilannya dalam program awal pengembangan pangan ini.  Antusiasme pun menular ke seluruh kabupaten/kota di Kaltim dengan menyediakan cadangan lahan untuk kawasan pangan program ini.
Seperti magnet yang kuat,  program FRE ini kemudian menarik minat perusahan swasta nasional dan BUMN untuk ikut mengambil peluang.  Menteri BUMN juga demikian antusias dan sangat terpanggil untuk turut memperjuangkan kemandirian pangan nasional ini dengan menugaskan beberapa BUMNnya  mencari lokasi lahan di Kaltim.   Seperti berlomba mereka seolah tidak mau kehabisan stok lahan yang sudah dicadangkan yang konon  tersedia hingga 200-an ribu hektar bahkan lebih.
Entah karena belum pengalaman di bidang pembukaan lahan atau karena ternyata tidak segampang yang dibayangkan, maka banyak pihak calon investor FRE ini kemudian pada berguguran.   Pengurusan lahan yang terkesan berbelit-belit dan sulit itu kemudian sampai sempat membuat hati  Pak Dahlan Iskan galau untuk tidak melanjutkan.   Maka mungkin saking emosinya, sempat Menteri Dahlan Iskan mengatakan bahwa penyediaan lahan 200 ribu hektar di Kaltim itu omong kosong.   Ternyata kegalauan Bapak Menteri itu cukup mengejutkan Bapak Gubernur dan seluruh Bupati yang sudah berusaha dengan susah payah mencadangkannya.
Pak Gubernur demikian gigihnya untuk tetap menjalankan program ini walau bagaimanapun keadaannya.  Beberapa Bupati juga bertekad tidak kalah semangatnya untuk terus mengawalnya.  Sejak awal program ini juga selalu menjadi pekerjaan utama bagi Tim Percepatan Food & Rice Estate Kaltim yang dipimpin oleh Profesor Riyanto.  Bersama timnya Bapak Profesor terus bergerak untuk meyakinkan pihak investor dan para Bupati untuk tetap konsisten dan terus maju.   Potensi yang sedemikian besar meskipun masih diselimuti banyak kendala tidak akan menyurutkan tekad karena kalau tidak maka krisis pangan akan menjadi bayang-bayang yang sangat menakutkan.

Yang menjadi prioritas utama FRE tentu saja adalah pemenuhan pangan pokok yaitu beras.  Maka kemudian pencetakan sawah dan lahan baru bagi tanaman padi menjadi yang paling banyak dibicarakan.   Karena beras merupakan bahan pangan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia,  maka beras harus benar-benar aman ketersediaan maupun distribusinya.   Komoditi pangan yang lain juga harus diperjuangkan seperti Jagung, Kedelai, Ubikayu, dan lain-lain.   Tentu saja kita juga harus berpikir tentang pemenuhan sumber protein hewani berupa daging sapi yang selama ini masih impor.  Demikian juga gula, kita juga masih selalu impor.  Pabrik-pabrik dan perkebunan tebu kita masih belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri.

Aren berpeluang masuk Food Estate

Nah… dari hal yang penulis sebutkan terakhir itulah Aren bisa masuk menjadi salah satu komoditi di dalam program Food Estate.   Food yang artinya adalah pangan untuk manusia, di dalamnya juga ada gula yang menjadi kebutuhan cukup mendasar bagi kehidupan manusia modern sekarang ini.   Selama ini kta sangat mengandalkan tebu sebagai bahan utama gula kita.  Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa Aren ternyata sangat potensial dan sangat masuk akal untuk  menjadi alternatif  lain bahan baku gula.

Ternyata kesulitan Pak Gubernur dan para Bupati untuk menyediakan lahan itu terkendala sebagian besar karena status kawasan dan tentang perijinannya.  Betapa tidak, lahan-lahan yang sangat potensial untuk kawasan FRE itu sebagian besar sudah memiliki ijin penggunaan lahan oleh investor sebelumnya.  Para investor itu memang mengelola bidang-bidang yang menggiurkan untuk berinvestasi seperti untuk Pertambangan Batu Bara,  Perkebunan Kelapa Sawit,  HPH, IPK dan lain-lain.  Pada akhirnya mencari lahan untuk keperluan membuka persawahan dan lahan pangan sangat sulit. Persaingan kepentingan sungguh sangat ketat.

Status Kawasan yang bisa dikelola untuk membuka persawahan dan lahan pangan praktis adalah lahan KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan) dan Kawasan Hutan Peruntukan Lain (HPL).  Kawasan Lindung, KBK (kawasan Budadaya Kehutanan) praktis tidak bisa digunakan untuk pengembangan persawahan dan lahan pangan.  Namun kalau yang dipilih itu adalah Aren, maka bisa dikatakan Aren itu tanaman yang sangat fleksibel.  Tanaman Aren bisa masuk sebagai tanaman perkebunan, juga bisa masuk sebagai kategori pohon hutan non kayu bahkan sebagai tanaman yang berfungsi konservasi.  Oleh karena itu Aren bisa masuk di semua status kawasan apakah KBNK, KBK ataupun Kawasan Lindung.

Jika Aren dikelola untuk diambil manfaatnya  menghasilkan salah satu bahan makanan utama (Sembako)  yaitu Gula, maka pengembangan Aren secara perusahaan oleh investor, seyogjanya bisa termasuk dalam program Food Estate.   Kita sudah paham kalau selama ini kebutuhan Gula kita masih terpaksa  mendatangkan atau impor dari luar negeri.  Ternyata perkebunan Tebu dan industry Gula kita sudah lama terseok-seok dan semakin lama malah semakin menurun vitalitasnya.  Program revitalisasi gula melalui bahan baku tebu pun sampai sekarang belum mampu mendongkrak kebutuhan gula nasional kita.

Produktifitas tebu yang semakin lama semakin menurun, terakhir hasil gulanya dari se hektar lahan tebu hanya sebesar antara 5 – 7 ton gula.   Sangat jauh dengan produktifitas kebun Aren yang mampu menghasilkan  paling sedikit 50 ton Gula Aren dalam waktu setahun dari sehektar lahan.  Kalau kebun Aren dikelola secara intensif dan modern maka hasil Gulanya bisa mencapai 100 ton bahkan lebih.  Itu artinya bahwa Aren mempunyai kemampuan 10-20 kali lipat dari Tebu.  Jika sekarang ada sekitar 400.000 hektar lahan perkebunan Tebu di Indonesia ini, maka peran itu bisa diganti oleh  hanya  20.000 sampai 40.000 hektar perkebunan  Aren. 

Dan kebun Aren itu bisa ditanam di lahan-lahan yang selama ini kurang produktif, di lahan-lahan kering yang berbukit-bukit.  Lain halnya dengan tebu yang selalu bersaing dengan lahan-lahan sawah produktif, lahan-lahan kering untuk pangan lainnya.   Maka jika Aren dikembangkan untuk Food Estate sebagai penghasil Gula, maka Aren akan dapat membantu, mendukung bahkan menggantikan tebu.  Bisa dibayangkan jika kemudian program Food & Rice Estate ini kemudian mendapat tambahan luasan 400.000 hektar dari bekas lahan Tebu,  berapa banyak kontribusi pangan yang bisa diberikan.  Soalnya peran tebu untuk menghasilkan gula sudah diganti oleh Perkebunan dan Industri Gula berbasis Aren.

Maka sekarang kita bisa menggunakan akal yang sehat untuk memperhitungkan Aren dalam program Food Estate dalam rangka kemandirian pangan nasional kita.    Mengapa kok kita sangat terlambat memikirkan hal itu ?

Bagaimana menurut Anda ?