......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Sabtu, 25 Oktober 2008

MEMILIH AREN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETHANOL




MEMILIH AREN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETHANOL  

Oleh : Dian Kusumanto


Pada pertengahan Bulan Agustus 2008 yang lalu penulis mengikuti Pelatihan Produksi Bioethanol yang diselenggarakan oleh Majalah TRUBUS di Cimanggis Depok. Penulis bertemu dengan para ahli di bidang Bioethanol Indonesia, antara lain : Bapak Arief Yudiarto, Bapak Roy Hendroko, Bapak Ronny Purwadi, Bapak Cecep Sudirman dan Bapak Bambang Purnomo. Beliau semua adalah para ahli yang bertindak sebagai nara sumber dan instruktur pelatihan tersebut.

Bapak Arief Yudiarto dan Bapak Roy Hendroko mengakui bahwa Aren adalah salah satu bahan baku bioethanol yang paling produktif. Dalam catatannya disebutkan bahwa Aren yang diolah dari niranya dapat menghasilkan bioethanol sekitar 25.000 dan 40.000 liter/hektar/tahun. Sedangkan komoditi lain jauh lebih rendah. Nipah, Kelapa dan Lontar yang diambil dari niranya potensi bioethanolnya antara 15.000, 10.000 dan 8.000 liter/hektar/tahun. Ubijalar, Tebu, Jagung, Sorgum manis, dan Ubikayu memiliki produktivitas bioethanol lebih rendah lagi yaitu antara 7.800, 6.000, dan 4.500 liter/hektar/tahun.

Antara Tebu dan Aren 

Selama ini bahan baku yang paling banyak digunakan untuk bioethanol adalah Tebu, terutama memanfaatkan Molases (tetes tebu) yang merupakan ‘limbah’ (atau lebih tepat produk samping) dari pabrik gula tebu. Tebu dari batang segarnya mempunyai produktivitas bioethanol mencapai 6.000 liter/hektar/tahun, sedangkan dari molasesnya mencapai 1.000 liter/hektar/tahun, kalau dijumlah menjadi sekitar 7.000 liter/hektar/tahun.  

Menurut Bapak Bambang Purnomo dari 100 kg tebu segar akan dihasilkan 85 kg nira tebu (press dua kali). Dari nira 85 kg tersebut diperoleh 6,6 liter bioethanol 95%(v/v). Kalau 1 hektar tebu, yang menurut Dr. Sunyoto (dari P3GI) Pasuruan, potensi produktivitas Tebu tahun 2007 sebesar 82 ton/hektar, maka akan diperoleh nira sebanyak 69.700 kg dan akan menjadi bioethanol sebanyak 82.000/100 x 6,6 = 5.412 liter/hektar. Jadi angka 6.000 liter di atas masih agak dekat dengan 5.412 liter.

Sekarang masalahnya adalah apakah sama kandungan gula antara nira dari Tebu dan dengan dari Aren. Karena yang akan diubah menjadi bioethanol dari kedua nira tersebut adalah gulanya, makanya kandungan gulanya perlu dibandingkan. Namun kita bisa saja mengambil hitungan di atas, maksud saya berapa kandungan bioethanol dari nira. 85 kg Nira Tebu dapat menghasilkan 6,6 liter bioethanol 95% (BE 95), berarti sekitar 7,7 %.  

Pengalaman di Minahasa Selatan Nira Aren dapat mengasilkan BE 95 antara 6 sampai 7 %, tetapi ada yang mengatakan sampai 7,5 %. Kalau dibandingkan dengan Nira Tebu hampir sama. Misalnya kita ambil angka terendah yaitu 6 % saja. Jadi berapa hasil BE 95 jika kita berkebun Aren seluas 1 hektar dalam satu tahunnya? Asumsi kita setiap hari dalam satu hektar dari 200 pohon yang menghasilkan ada 100 pohon saja, dengan rata-rata produksi nira 15 liter/hari/pohon. Jadi hasil nira dalam satu hari setiap hektar adalah sekitar 1.500 liter/ha/hari, maka akan menghasilkan BE sebanyak 1.500 liter x 6 % = 90 liter/hari. Kalau dihitung sebulan menjadi 30 hari/bulan x 90 liter/hari = 2.700 liter/bulan, dan menjadi dalam setahun menjadi 12 x 2.700 liter = 32.400 liter BE 95 /hektar/tahun.

Produktifitas BE dari kebun Aren yang mencapai 32.400 liter itu dihitung dengan asumsi hasil nira 15 liter/pohon/hari. Kalau menggunakan angka produksi nira Aren 10 liter/pohon/hari angka produksi BE-nya menjadi 21.600 liter/ha/tahun. Sedangkan kalau asumsinya produksi nira Aren 20 liter/pohon/hari, maka angka produksi BE dari kebun Aren seluas 1 hektar dalam setahunnya adalah 43.200 liter BE/hektar/tahun. Kita bisa hitung-hitung sendiri berapa banyak produksi nira dari kebun Aren kita seandainya akan diolah menjadi BE semua. Dari pengalaman lah yang nanti dapat menetapkan angka-angka pastinya produksi BE.

Jadi hasil BE antara sehektar lahan Tebu dan sehektar kebun Aren berbanding antara 5.412 : 32.400 = 1 : 5,98 atau 1 : 6 (satu dibanding enam). Jadi kalau kita menanam 6 hektar Tebu baru lah sebanding dengan 1 hektar kebun Aren. Atau sebaliknya kalau kita memiliki 1 hektar kebun Aren maka akan menghasilkan Bioethanol yang setara dengan menanam Tebu seluas 6 hektar.

Aren vs Nipah dan Kelapa

Bagaimana dengan Nipah dan Kelapa yang juga sebagai sumber bahan pemanis yang bisa diolah niranya menjadi Bioethanol? Nipah adalah tanaman yang merupakan anugerah alam di sekitar pantai atau perairan yang payau. Nipah tumbuh sendiri secara liar di kanan kiri sungai yang berair payau, pertemuan antara air tawar dan air laut. Namun yang menjadi kendala pengelolaan nira Nipah adalah sulitnya menjangkau pokok-pokok Nipah karena tumbuhnya secara liar di pinggir sungai. Untuk mengumpulkan nira dari pohon ke pohon tingkat kesulitannya sangat tinggi, karena tanah berlumpur, populasi Nipah yang rapat, banyak nyamuk, banyak buaya, dll. Produksi nira per pohon per harinya juga sangat kecil, sehingga pekerjaan pengambilannira dirasa sangat ribet, rumit, dan kurang praktis.

Kalau Kelapa masih banyak gunanya untuk keperluan pangan yang lain, sehingga meskipun produktivitasnya cukup tinggi dengan kemudahan pemungutannya hampir seperti Aren, belum menjadi pilihan untuk diolah menjadi bioethanol. Kadang yang sering menjadi pertimbangan adalah faktor pasar serta kemudahannya dalam memprosesnya. Kalau pasarnya untuk Kelapa segar sudah bagus, mengapa harus bersusah-susah diolah menjadi bioethanol. Kalau harga Kopra untuk bahan minyak goreng saja sudah bagus menapa harus diolah menjadi Bioethanol. Jadi begitulah mungkin cara berpikir yang pragmatis, realistis dan mungkin ekonomis. Dengan demikian Aren memang lebih unggul dan lebih efisien jika dibandingkan dengan sumber bahan yang lain untuk Bioethanol.


Aspek Teknologi Pengolahan Bioethanol

Dari aspek teknologi prossesing-nya mengolah nira Aren menjadi Bioethanol ternyata yang paling sederhana dengan peralatan yang paling minimum. Bahkan nira bila dibiarkan saja akan mengalami fermentasi dan menjadi alkohol, yang disebut sebagai bioethanol itu. Saking sederhananya masyarakat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dll. sudah membudayakan cara mengolah Nira Aren menjadi Tuak atau Cap Tikus untuk dimurnikan menjadi Bioethanol bagi keperluan industri dan bahan bakar nabati.

Di Minahasa Selatan sudah dari dulu kala, secara turun menurun masyarakat memanfaatkan Nira Aren mengelolanya menjadi Bioethanol. Caranya sebagai berikut, pertama nira Aren disadap selama 24 jam, kemudian dibiarkan selama 12-24 jam lagi sehingga terbentuklah ethanol berkadar 6-7 %. Kemudian nira yang telah terfermentasi tersebut dimasak dalam Drum dan uapnya diembunkan lewat Bambu. Dari uap air yang merambat di bambu tersebutlah diperoleh bioethanol berkadar antara 18 – 70%.

Omset pendapatan petani Aren dari bioethanol dengan kebun sehektar 

Kalau angka produksi yang digunakan adalah 32.400 liter/hektar/tahun, sedangkan tingkat harga Bioethanol seharga Rp 8.000,-/liter BE, maka omset pendapatan petani setiap hektar/tahun mencapai Rp 259.200.000,- (dua ratus limapuluh sembilan juta rupiah) per hektar/tahun. Kalau harga Bioethanol mencapai Rp 10.000,-/liter, maka omset pendapatannya akan mencapai Rp 324 juta/ha/tahun. Tentu saja angka ini masih dikurangi segala jenis biaya-biaya yang diperlukan dari pengelolaan kebun, pengelolaan nira sampai menjadi bioethanol, dll. Tapi barangkali proporsinya sekitar 30-45% saja, jadi masih ada hasil bersihnya sekitar 55-70% dari omset pendapatan tadi. Kalau toh hasil bersih yang diperoleh petani 50 % saja juga masih sangat bagus.

Oleh karena itu para pekebun Aren tidak hanya boleh KAYA tapi harusnya menjadi KAYA RAYA. Nah… kalau sudah KAYA atau KAYA RAYA jangan lupa mengeluarkan hak para fakir, miskin, kaum lemah, dan siapa saja yang membutuhkan pertolongan, yang jumlahnya masih sangat banyak di negeri kita ini. Makanya dengan membuka KEBUN AREN sekarang , sekitar delapan sampai sepuluh tahun kemudian kita akan bisa berbagi dengan hak-hak mereka, karena kita akan KAYA dan KAYA RAYA. Kita tidak perlu lagi merompak seperti Raden Said, … karena kita sudah menemukan emasnya Kanjeng Sunan Bonang pada KEBUN AREN kita. InsyaAllah!

Bagaimana menurut Anda?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

cocok ngga ditanam di kalimantan tengah!