......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Selasa, 28 Juni 2016

Kisahku mengenal Aren


Kalau kisahku tentang Aren....

Aku mengenalnya pertama kali tentang Aren adalah  dari Gula Aren yang ada di Toples toko Jamu Tradisional nenekku. Nenekku, yang dikenal sebagai Bu Harjo Wiyono, adalah seorang Herbalis,  Bakul Jamu, Peracik Obat Herbal Jawa.  Dan itu menurun ke anak-anak dan cucu-cucunya, termasuk Ibu saya Ibu Hardi alias Bu Sumiati, adik saya dan kemudian anak saya yang sekarang menjadi seorang Apoteker.

Lama nian cerita itu mengendap. Aku terkesan dengan Gula Aren dalam Toples kaca itu. Dia berjejer dengan ramuan2 herbal yang hebat2. Ada Jintan hitam, Adas Pulosari, Kayu Manis, Kayu Secang, Biji Pala, Cabe Jamu, Gula Batu, Inggu, Kapulaga, ahh... masih banyak lagi jenisnya.

Kesanku bahwa Gula Aren itu adalah bagian dari Jamu atau Obat Herbal... Dan harganya sangat mahal... dibandingkan dengan Gula yang biasanya, yaitu gula putih atau pun gula merah dari kelapa dan tebu.

Tetapi sosok pohon Aren masih misteri... karena konon katanya dia hanya tumbuh di hutan.... hingga dewasa belum juga dipertemukan dengan sosok pohon yang penuh misteri ini.

Hingga kudengar cerita dari guru2 ngaji ketika berkisah tentang Kanjeng Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.  Dimana pohon Aren menjadi semakin menyimpan misteri dan kekagumanku padanya. Tetapi sosok pohon Aren itu masih menjadi misteri yang membisu....

Sebelum aku kenal Aren lebih dalam... rupanya Tuhan kenalkan dulu dengan Pohon Siwalan.  Pohon Siwalan ini banyak tumbuh di daerahku di Tuban Jawa Timur... dan sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang sering disebut dengan Pantura...

Waktu itu aku sangat prihatin dengan kebiasaan masyarakat kami dengan budaya minum tuaknya.. di pinggir-pinggir jalan, di warung dan tidak jarang ada yang mabuk diantara mereka.  Saya lebih senang jika ada Petani yang menjual "Legen" alias Nira manisnya... dengan wadah bambu berbalut daun lontar dan diikat tali rotan atau bambu sebagai tongkat pikulnya. Wadah bambu dengan panjang setinggi orang berdiri itu disebut dengan "Bonjor".

Biasanya penjual Legen atau Tuak itu membawa 4 bonjor dalam setiap pikulnya.  Yang unik lagi adalah tempat minumnya yang dibuat dari bambu agak kecil setinggi sejengkal. Gelas bambu itu disebut dengan nama "Centhak"... Bonjor dan Centhak inilah ciri khas tersendiri dari Kota TUBAN saat itu... kini sudah sangat langka.  Sekarang ini Legen dan Tuak Siwalan dijual di lapak-lapak pinggir jalan dengan kemasan bekas botol air minum.

Bersambung....





Tidak ada komentar: