......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Kamis, 22 Oktober 2009

Tanaman aren, sumber emas warisan Sunan Bonang







Tanaman aren, sumber emas warisan Sunan Bonang

Oleh Mulia Ginting Munthe & Moh. Fatkhul Maskur
Bisnis Indonesia

Aren sesungguhnya bukan tanaman yang asing bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa Arenga pinnata ini memiliki potensi besar sebagai pohon yang menyejahterakan?

Potensi tanaman aren tampaknya belum disadari. Di kampung-kampung, Aren umumnya tumbuh alami, bukan dibudidayakan. Pemanfaatan pohon ini terbatas pada ijuknya, atau kolang-kaling buahnya.

Pada masyarakat yang lebih maju, pohon ini diambil niranya sebagai bahan gula merah, gula semut, atau tuak minuman. Nira juga bisa diolah lebih menjadi etanol dan bahan energi alternatif pada masa depan.

Aren dapat tumbuh pada tanah liat, berlumur dan berpasir, tetapi tidak tahan pada tanah berkadar asam tinggi. Aren dapat tumbuh pada ketinggian 9 - 1.400 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun yang paling baik pertumbuhannya pada ketinggian 500 - 800 meter dpl dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun atau pada iklim sedang dan basah.

Ada dua kategori tanaman aren, yaitu Aren Genjah (pohon kecil dan pendek dengan produksi nira 10 -15 liter per tandan per hari), dan Aren Dalam (pohon besar dan tinggi dengan produksi nira 20 - 30 liter/ tandan/hari). Untuk pohon induk dianjurkan adalah aksesi Dalam.

Lahan 1 hektare dapat ditanam 200 pohon yang bisa disadap mulai tahun keenam. Katakan yang berproduksi 100 pohon, dan satu pohon meneteskan minimal 15 liter nira maka dihasilkan 1.500 liter nira per hari atau senilai Rp3 juta. Begitu seterusnya sampai masa produksi aren hingga usia 20 tahun.

"Aren sangat menjanjikan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat," kata Syaefurrahman Al-Banjari, Ketua Umum Komunitas Masyarakat Desa Mandiri (KMDM) lembaga swadaya masyarakat penggiat budi daya aren di Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen.

Al-Banjari menyarankan untuk memulai investasi tanpa harus dengan lahan luas. Katakanlah dengan 20 pohon. Pada tahun keenam, setiap hari akan dihasilkan 150 liter nira. Apabila harga nira Rp2.000 per liter, pendapatannya Rp300.000 per hari.

Nira itu juga bisa diolah lagi menjadi 39 kg gula. Apabila gula dihargai 8.000 per kg, diperoleh Rp312.000 per hari. Ini penghasilan per hari dari 10 pohon aren!

Sonik Jatmiko, pemerhati agribisnis dari Purwokerto, menilai program jangka panjang agribisnis yang sering ditinggalkan pengurusnya tidak akan terjadi pada aren, karena ide dasarnya dari masyarakat.

Mereka menanam untuk anak cucu, kalaupun tidak ada pabrik gula atau bioetanol, mereka masih dapat membuat gula aren. Selain itu, aren bisa diambil kolang-kalingnya, ijuknya bisa untuk atap rumah, dan batangnya menjadi sumber tepung.

Nilai ekonomi

Indrawanto, CV Diva Maju Bersama-produsen gula aren organik di Tangerang, Banten, mengemukakan yang lebih memiliki nilai ekonomis dari aren adalah niranya.

Apalagi jika harga jualnya mencapai Rp2.000 liter per hari. Dengan rata-rata produksi 15 liter per hari per pohon maka nilai jualnya Rp40.000. Jika petani memiliki 20 pohon omzetnya menjadi Rp80.000 per hari.

"Sayangnya daya tahan nira hanya sekitar 5 jam, setelah itu akan terjadi proses fermentasi sehingga tidak bisa dijadikan gula. Karena itu nira aren lebih banyak dijadikan gula merah atau gula semut," ujar Indrawanto.

Untuk memproduksi gula aren atau semut, Diva Maju Bersama menggandeng petani di Jawa Barat dan Lampung, yang mengolah nira menjadi bahan setengah jadi. Pola ini lebih praktis ketimbang langsung membeli nira ke petani karena risiko kerusakan tinggi.

Menurut dia, harga gula semut di pasar rata-rata Rp10.000 per kg. Dengan asumsi harga nira aren mencapai Rp2.000 per liter, nilai jualnya tidak jauh berbeda dengan gula semut.

"Gula aren bisa menjadi primadona ekspor karena harga ritel di mancanegara mencapai 2 euro, atau setara dengan Rp25.000 untuk bobot 250 ons. Berarti nilai jual 1 kg mencapai Rp100.000," tandas Indrawanto.

Namun, nilai ekonomisnya tidak terlalu tinggi bagi perusahaan ekspor karena dibebani biaya tambahan seperti pajak dan biaya administrasi. Pasar ekspor juga mensyaratkan standar ketat. Itu sebabnya Diva berkonsentrasi di dalam negeri.

Indrawanto mengakui potensi ekspor tetap terbuka karena kadar glysemix gula semut rendah, sehingga aman dikonsumsi penderita diabetes. Tidak heran, komoditas ini menjadi incaran masyarakat internasional.

Pohon aren juga menjadi sumber bahan baku bioetnol yang bernilai tambah tinggi. Dengan instrumen inilah, Ketua Umum HKTI Prabowo Subianto akan mengatasi kelangkaan energi yang 18 tahun lagi minyak bumi akan habis.

Selaku capres beberapa waktu lalu, Prabowo juga berjanji akan membuka 4 juta hektare kebun aren untuk mengatasi energi, yang juga akan menyerap tenaga kerja 24 juta orang.

Bila membaca sejarah, sesungguhnya potensi aren untuk kesejahteraan rakyat itu sudah diisyaratkan 500 tahun silam oleh Sunan Bonang, salah seorang Walisongo yang hidup pada 1465 - 1525 M di Tuban, Jawa Timur.

Dalam sebuah legenda, Sunan Bonang yang hendak dirampok oleh Lokajaya (belakangan berubah menjadi Sunan Kalijaga) hanya berkata sambil menunjuk buah kolang kaling, "Ambil saja itu emas." (ginting. munthe@bisnis.co.id/fatkhul.maskur@bisnsis.co.id)

Sumber : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/ritel-ukm-mikro/1id141267.html

Tidak ada komentar: