......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Kamis, 06 Desember 2012

Memanen Gula Aren dari Panas Bumi






Yusuf Wungouw, petani gula aren di Kelurahan Lahendong, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (30/7/2012), menyadap nira di atas pohon aren miliknya. Dari hasil sadapan pohon aren ini, ia mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.


Oleh Laksana Agung Saputra/Ahmad Arif

KOMPAS.com
- Dikepung gunung api tidak hanya berarti bencana. Energi panas bumi yang berlimpah menjadi sumber listrik dan ”limbahnya” bisa dipakai menggerakkan ekonomi rakyat melalui pengolahan nira menjadi gula semut.

Gunung Soputan dan Lokon yang terlihat menjulang dari Kota Tomohon, Sulawesi Utara, sepertinya tak pernah tidur. Gunung Lokon yang berstatus Siaga sejak 24 Juli 2011 terus menyemburkan belerang sepanjang tahun. Sementara Gunung Soputan meletus dan menyemburkan asap hingga 5.000 meter dari puncak pada Minggu, 26 Agustus 2012.

Namun, bagi warga Kelurahan Lahendong, Kecamatan Tomohon Selatan, dua gunung api yang hanya sejarak 15 kilometer itu adalah berkah. Sejak 2001, sistem geotermal yang muncul dari aktivitas kegunungapian di kawasan ini telah menghasilkan listrik 60 megawatt (MW) dan memasok sekitar 60 persen kebutuhan listrik Sulawesi Utara. Sejak 2007, sisa energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk mengolah air nira menjadi gula.

Siang itu, wangi gula merebak di udara ketika air nira dalam wajan mulai mendidih. Perlahan, uap panas bumi yang disalurkan ke dalam tungku melalui instalasi pipa PT Pertamina Geothermal Energy Cluster 13 membuat air nira mengental.

Pipa itu mengalirkan uap panas nyaris tanpa henti. Hebatnya, sumber energi yang berlimpah itu diperoleh secara gratis. Tiap hari pabrik pengolahan gula PT Gula Aren Masarang menyerap 22.000 liter nira rakyat dan menghasilkan 3 ton gula semut.

Limbah geotermal
Pemanfaatan panas bumi untuk pabrik gula aren terbilang sederhana. Pabrik gula aren ini hanya memanfaatkan uap yang tersisa setelah dipakai untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Di pembangkit listrik tenaga panas bumi lainnya, sisa uap itu biasanya dialirkan ke kolam pendingin. Lalu, setelah jadi air, diinjeksikan lagi ke dalam tanah.

Namun, di Lahendong, sebagian uap sisa itu juga dialirkan menuju pabrik gula yang dibangun berdampingan dengan pembangkit listrik itu. ”Kami hanya membeli dan memasang pipa. Uap sisa ini diberikan gratis oleh PT Pertamina sebagai bagian dari CSR (corporate social responsibility) mereka karena yang menikmati adalah para petani,” kata Willie Smits, Ketua Yayasan Masarang, yang mengelola pabrik gula aren di Lahendong.

Sebanyak 6.285 petani, menurut Smits, ikut menikmati berkah ”limbah” geotermal tersebut. Energi panas bumi ini juga menyelamatkan 200.000 pohon per tahun jika dibandingkan dengan banyaknya kayu bakar untuk mengolah nira menjadi gula aren secara tradisional.

Keuntungan yang bisa dinikmati petani meningkat dan kerja juga menjadi efisien. Jika dengan cara tradisional bisa memakan waktu setengah hari untuk memanen nira dan mengolahnya menjadi gula, dengan dukungan ”limbah” panas bumi hanya dibutuhkan waktu kerja rata-rata 4,2 jam per hari.

Menggerakkan ekonomi
Matahari baru saja terbit ketika Armi Mende (35) selesai memanen air nira dari hutan sekunder di pinggiran Kota Tomohon. Empat jeriken ukuran 20 liter hampir terisi penuh nira yang disadap sore sebelumnya.

Warga Lahendong ini lalu menuang nira ke wajan. Ia memasak nira itu dengan kayu bakar. Dia harus terus mengaduk air nira itu hingga mengental, kemudian mencetaknya dalam batok kelapa.

Menyadap nira dan mengolahnya menjadi gula aren adalah rutinitas yang nyaris tak pernah dilewatkan Armi meski hari Minggu sekali pun. Sekali mayang telah dipotong, menyadap nira, atau dalam bahasa Minahasa disebut batifar, tak boleh absen. ”Absen sehari saja bisa merusak mayang,” kata Armi.

Setiap pagi dan sore, ayah tiga anak itu mengambil nira. Hasil sadapan pagi rata-rata 50 liter dan sore hari 25 liter.

Dengan rata-rata 75 liter nira per hari, Armi mampu memproduksi 15 batok gula aren per hari. Gula aren dibeli pengepul dengan harga Rp 8.000 per batok. Artinya, omzet kotor Rp 120.000 per hari.

Jika dijual langsung ke PT Gula Aren Masarang, nira dihargai Rp 1.500 per liter. Jadi, hasil panen 75 liter per hari menghasilkan omzet bersih Rp 112.500.

”Saya lebih memilih menjual air nira langsung ke pabrik karena tidak perlu memasak seharian sehingga bisa melakukan pekerjaan lain. Saya juga tidak perlu membeli kayu,” kata Armi.

Tingginya minat petani membuat Smits berancang-ancang mengganti pipa pemasok gas panas bumi menjadi berdiameter 10 inci (25,4 sentimeter) agar bisa memproduksi 9 ton gula aren per hari. ”Ke depan, kami harap bisa menyerap 100.000 liter nira per hari,” katanya.

Smits juga menyiapkan industri aren berbasis koperasi desa. Setiap desa diharapkan mendirikan koperasi untuk mengelola pabrik mini di desa masing-masing. ”Sudah ada beberapa investor yang tertarik membangun pabrik mini ini,” katanya.

Anggota koperasi berhak menjadi pemegang saham pabrik mini itu maksimal 49 persen. Sisanya tetap dipegang investor. Dengan sistem ini, petani berhak mendapat bagian keuntungan pabrik mini. ”Cara menjadi pemegang saham cukup dengan menyediakan nira di bawah harga. Selisih harga itu digunakan untuk membeli saham,” katanya.

Smits mengklaim bahwa pabrik gula aren Masarang yang memanfaatkan panas bumi tersebut merupakan yang pertama di dunia. Ini merupakan upaya pengoptimalan potensi panas bumi yang berlimpah di negeri ini.

Indonesia memiliki potensi panas bumi 40 persen dari cadangan dunia atau mencapai 29.038 MW. Lokasinya tersebar di 276 titik, mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, sampai Papua. Potensi ini merupakan yang terbesar di dunia. Namun, potensi itu baru dimanfaatkan 1.332 MW (4,7 persen dari potensi), yang menempatkan Indonesia di bawah Filipina (2.000 MW) dan Amerika Serikat (2.700 MW).

Jika potensi panas bumi ini dioptimalkan, Indonesia tak hanya bisa menjadi superpower energi listrik, sebagaimana disampaikan Al Gore di Jakarta beberapa waktu lalu. Panas bumi juga bisa memberikan banyak nilai lebih untuk menggerakkan ekonomi rakyat.(Amir Sodikin/Aswin Rizal Harahap)
Ikuti perjalanan Ekspedisi Cincin Api Kompas di www.cincinapi.com

Sumber : http://ekspedisi.kompas.com/cincinapi/index.php/detail/articles/2012/08/29/11065345/Memanen.Gula.Aren.dari.Panas.Bumi
 



Tidak ada komentar: