......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Sabtu, 23 Agustus 2014

Potensi Aren dan Politik Gula

Potensi Aren dan Politik Gula
Rabu, 29 Agustus 2012 | 06:09 WIB
Oleh Ahmad Arif/Laksana AS/Aswin Rizal Harahap/Amir Sodikin

Pohon aren (Arenga saccharifera) adalah salah satu kekayaan hayati Indonesia yang sejak lama diolah sebagai penghasil gula. Namun, politik gula tebu Belanda telah meminggirkan peran aren. Di tengah kebutuhan gula tebu yang belum tercukupi oleh produksi dalam negeri, produksi gula aren bisa menjadi jalan keluar. 

Naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, yang menjelajah Pulau Sulawesi 150 tahun silam, dibuat takjub dengan manfaat pohon aren. Dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869), Wallace mencatat, aren telah dimanfaatkan masyarakat Sulawesi untuk menghasilkan gula.

”Gula yang dihasilkan dari tumbuhan ini memiliki rasa manis luar biasa,” Wallace menulis. Dalam buku ini, Wallace membuat ilustrasi pepohonan aren lengkap dengan orang yang hendak menyadap.

Dosen Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado, Julius Pontoh, mengatakan, sebelum kedatangan Belanda, masyarakat di Nusantara memanfaatkan aren, tebu, dan kelapa untuk menghasilkan gula merah dalam bentuk cetakan. Namun, tingginya permintaan gula putih di pasar internasional membuat pemerintah kolonial Belanda mengembangkan produksi gula tebu secara besar-besaran. 

”Industri gula putih berbasis tebu dibangun secara masif, terutama di Pulau Jawa,” tutur lulusan doktor di bidang kimia gula Universitas Saskatchewan, Kanada, ini.

Indonesia kemudian berkembang menjadi produsen gula putih utama dunia. Puncaknya, tahun 1930-an, industri gula Indonesia menghasilkan 3 juta ton dari 179 pabrik gula. Sebanyak 2,4 juta ton gula diekspor.
Awalnya, gula putih ditujukan untuk ekspor. Namun, lama-kelamaan, produksinya terdistribusi di dalam negeri hingga menggeser posisi gula merah dari pola konsumsi masyarakat Indonesia. Masyarakat pun tergantung pada gula putih tebu.

Saat ini, kebutuhan konsumsi gula putih untuk rumah tangga sebesar 1.842.464 ton, nonrumah tangga 514.065 ton, dan industri 278.652 ton. Sementara produksi tahun 2011 sebesar 2.228.259,1 ton. Artinya, masih ada kekurangan produksi. Sebagian defisit kebutuhan itu dicukupi oleh gula impor. Apalagi, belakangan harga gula impor lebih murah daripada gula produksi dalam negeri.

Menurut Pontoh, aren layak dan cocok dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif untuk memenuhi pasokan gula. ”Bukan untuk menggusur keberadaan industri gula pasir yang telah berkembang, melainkan memberi alternatif sekaligus menopang ketahanan pangan,” katanya.

Kelebihan aren
Selain untuk memenuhi kebutuhan gula nasional, menurut Pontoh, aren memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan tebu. Dari sisi produksi, tanaman aren bisa menghasilkan 25 ton gula per hektar per tahun. Adapun tebu rata-rata menghasilkan 14 ton gula per hektar per tahun. Panen nira bisa dilakukan setiap hari, sedangkan tebu tidak.
Karakter pohon aren juga lebih luwes dan kuat daripada tebu. Aren bisa tumbuh di lahan kritis serta kontur lahan datar atau miring sekaligus mampu mengonservasi lahan gundul. Penelitian Mujahidin dan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2003) menyebutkan, akar aren memiliki kemampuan mengikat air dengan baik sehingga bisa ditanam di daerah yang relatif kering.

Aren juga tak memerlukan perawatan khusus atau pemupukan karena pada dasarnya merupakan tanaman hutan sehingga tak perlu pupuk dan irigasi.

Direktur Yayasan Masarang Willie Smits menyatakan, aren tumbuh di hutan sekunder. Artinya, industri gula aren tidak bisa tidak harus melibatkan rakyat sebagai basis utamanya meski keterlibatan investor tetap diperlukan. Pembuatan aren menjadi gula juga bisa dilakukan langsung oleh masyarakat melalui industri rumahan.

Ini berbeda dengan industri pabrik gula atau kelapa sawit yang justru memberikan peluang besar bagi korporasi untuk mengembangkan bisnis secara eksklusif. Sementara keterlibatan rakyat tak lebih sebagai buruh dan penonton.

Dari sisi ekologi, Smits menambahkan, aren adalah tanaman yang konservatif. Aren tidak rakus mengambil air dan unsur hara dalam tanah sebagaimana terjadi pada sawit. Aren tumbuh dengan menyerap sinar matahari. Artinya, menjual produk dari pohon aren sama dengan menjual sinar matahari.

”Kalau kita mengekspor sawit, berarti kita membawa air dan unsur hara dalam tanah ke luar negeri. Kita mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia, yang ke depan semakin langka dan sulit dipulihkan. Kalau kita mengembangkan aren, kita menjual sinar matahari. Dan, ingat, sinar matahari itu kita dapatkan gratis,” kata Smits.

Alasan ekologis inilah yang mendorong Yayasan Masarang mengembangkan industri gula aren semut. Pabrik ini menampung nira dari petani di sekitar Tomohon, Sulawesi Utara. 

”Kami bisa memproduksi gula aren hingga 3 ton sehari. Hampir seluruh produk terserap ke pasar Eropa,” ujar Smits. ”Masyarakat Eropa meyakini, gula aren lebih menyehatkan dibandingkan dengan gula tebu.”

Guna menembus pasar Eropa, gula aren diproduksi dalam bentuk gula semut. Sertifikat organik pada area aren di 35 kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan, Tomohon, pun telah didapat. ”Jadi, daripada impor gula pasir, lebih baik kembangkan gula aren yang lebih bernilai ekonomi dan sehat. Ini tinggal persoalan kemauan politik,” ujarnya.

Kendala yang dihadapi perajin gula aren tradisional biasanya adalah ketersediaan bahan bakar untuk memasak air nira. Selama ini, mereka menggunakan kayu. Persoalannya, harga kayu terus merangkak naik. Dari sisi ekologi, hal ini mengancam hutan karena kayu-kayunya potensial dibabat.
Pontoh mengatakan, di Tomohon terdapat empat pembangkit listrik tenaga geotermal (PLTG), yang limbahnya bisa dimanfaatkan untuk mengolah gula nira. ”Saat ini baru satu PLTG yang di Lahendong yang sudah kami manfaatkan untuk memproduksi gula aren semut,” kata Pontoh

Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/29/06094850/potensi.aren.dan.politik.gula

Tidak ada komentar: