......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Sabtu, 16 Mei 2009

Pohon Aren Dalam Tradisi Minangkabau


Pohon Aren Dalam Tradisi Minangkabau

Hari ini aku sedang ingin bercerita kepadamu tentang pohon aren atau enau ( arenga pinnata merr./sugar palm) dalam tradisi nenek moyangku, suku minangkabau.

Engkau tahu, Rumah Gadang sebagai simbol pemersatu keluarga saparuik (saparuik=seperut: garis keturunan ditarik melalui ibu) memiliki ruangan besar yang berfungsi sebagai pusat kegiatan seluruh keluarga.

Pokok bangunan yang didirikan diatas semacam dermaga, berlantai dan mempunyai ruang dibawah itu, pada suatu kala di fungsikan sebagai kandang itik atau ayam. Tapi aku melihat ruangan itu juga difungsikan sebagai gudang, menyimpan persediaan bahan makanan non-beras, kayu bakar atau perkakas lain yang akan di pakai kemudian. Percaya atau tidak kolong rumah gadang pernah pula dipakai untuk memasung kerabat yang gila agar tidak berkeliaran dan mengganggu orang lain!

Agar ternak tidak habis disamber musang atau barang2 yang di taruh dibawah kolong rumah aman dari tangan-tangan jahil, maka nenek moyangku memasang batang aren yang disebut ruyung sebagai pengaman. Ruyung itu disusun satu-persatu membentuk dinding dan diberi jarak agar udara tetap bebas keluar masuk.

Engakau tidak akan mungkin salah mengenali rumah adat Minangkabau di Taman Mini Indonesia Indah atau dimanapun miniaturnya dibuat di seluruh dunia. Itu berkat bentuk atapnya yang unik, mencuat kelangit menyerupai tanduk kerbau. Nah, atap dari gonjong-gonjong itu dahulu kala terbuat dari ijuk pohon aren. Ijuk itu diambil dari tumbuhan aren terbaik saat berumur 4-5 tahun. Konon atap ini bisa bertahan selama ratusan tahun.

Pemimpin suku di Minangkabau disebut penghulu. Dia mungkin kakak lelaki tertua atau adik atau sepupu dari ibu. Asal masih saparuik (seketurunan) tidak masalah siapapun dia. Syukur bila berpendidikan, berpengaruh atau kaya pula, sepanjang dianggap bisa memimpin dan karakternya bisa dihormati oleh seluruh anak kemenakan, dia berhak menyangdang gelar penghulu yang akan kami panggil Mak Datuk.

Seorang penghulu adalah tauladan bagi seluruh anak negeri. Karakternya harus prima. Untuk memastikan bahwa dia tidak melenceng dari garis-garis adat maka harus di sumpah terlebih dahulu. Jika dia melanggar sumpah ini maka nenek moyang akan mengutuknya tidak akan selamat dunia-akhirat. Nama sumpahnyaBiso Kawi dan bunyinya seperti ini : Keatas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar dan di tengah-tengah lapuk dimakan kumbang. 

Hih! Kata-kata yang mengerikan bila terbukti!

Jaman dahulu kala, sumpah biso kawi akan diambil disuatu tempat yang dianggap keramat. Disaksikan oleh seluruh penghulu nagari dan ditemani saudara perempuannya, calon datuk memasuki sebuah lingkaran yang terbuat dari daun enau/aren muda. Ditengah-tengahnya terpancang sebuah tongkat dengan buah aren/enau (kolang-kaling). Selain itu digantung pula sebuah periuk yang berisi daun jarak.

Aku tidak mengerti apakah biso(bisa=racun) kawi yang dimaksud adalah racun dari buah aren yang memang terkenal gatal bila bersentuhan dengan kulit. Yang jelas bila sang penghulu melanggar sumpahnya, bukan hanya dia, tapi seluruh keluarganya akan rusak binasa. Mereka tidak lagi bisa diibaratkan sebatang pohon yang berpucuk, berakar dan berbatang, melainkan hanya sebatang tongkat yang bisa digerogoti kumbang.

Bila engkau mendengarkan seni suara Minangkabau ( bahkan juga saluang) engkau seperti melihat langsung ke padang rumput berempun di suatu tempat terpencil. Keindahannya tidak akan memberimu alasan untuk bersedih tapi tidak pula untuk bersorak-sorak bahagia. Isinya melulu tentang kerinduan kepada sanak keluarga di rantau dan kerinduan perantau terhadap kampung halaman. Tidak ketinggalan tentang cinta yang putus dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Maaf, aku tidak punya penjelasan mengapa orang Minang yang bermotto dimana bumi dipijak disana pulalah langit akan di junjung memiliki lagu-lagu yang terdengar amat melankolis. Padahal sebagai perantau mereka terkenal tangguh.

Dalam hubungan dengan aren, para penyadap nira jaman baheula juga mendendangkan lagu-lagu sedih dibawah batang aren yang akan disadap. Bila tidak bisa bernyanyi maka mereka menyewa para peratap profesional. Semakin sedih lagunya diharapkan semakin banyak pulalah nira yang akan keluar dari irisan tangkai bunga jantan tanaman aren.

Begitu saja ceritaku hari ini. Sekarang mau kerja lagi:)

Salam,
-- Evi Indrawanto
DIVA'S Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners

Tidak ada komentar: