......Tidak lama lagi AREN jadi primadona perkebunan nasional ........

Senin, 13 Oktober 2014

Kisah Eksportir Sapu Ijuk Aren ke Manca Negara

Sempat Dikalahkan Teknologi, Jepang Masih Jadi Langganan



Kisah UD Wartono, Pengekspor Sapu Ijuk ke Manca Negara

Sapu ijuk, mungkin barang yang biasa-biasa saja. Tapi di tangan ahlinya, sapu itu menjadi barang layak ekspor dengan pangsa pasar yang jelas. Salah satunya, Jepang yang sangat membutuhkan. UD Wartono menangkap peluang itu.

AWALNYA hanyalah penjual sapu keliling. Modal sapu buatan sendiri, yang jumlahnya tak lebih dari 10 batang setiap produksi. Jika beruntung mendapat tempat, sapu ijuk dan sapu lidinya, bisa mejeng di Pasar Besar. Si penjual pun tak perlu bersusah payah menjajakan sapu keliling mengendarai sepeda jengki. 

Siapa sangka, belasan tahun kemudian, rata-rata 5.000 batang sapu buatannya, selalu ditunggu penduduk Jepang setiap bulan. Tradisi ekspor sapu dari Malang ini pun, berlangsung hingga saat ini.

Tentu bukanlah hal mudah bagi Judy R Wartono, pemilik UD Wartono, untuk mewujudkan cita-citanya. Dibutuhkan tidak sedikit tenaga dan biaya, serta keberanian, untuk sekadar memulai usaha berjualan sapu. Pria kelahiran Surabaya 64 tahun silam ini, merintis usahanya dengan modal nol rupiah. 

‘’Saat itu saya nganggur, miskin, tidak punya rumah, tidak punya uang. Karena berteman dengan tukang sapu, saya minta diajarin buat sapu. Saya ngutang ijuk ke tukang sapu dan ngutang kayu ke toko kayu. Semua utang saya bayar lunas selama dua bulan saja,’’ kisahnya pada Malang Post saat bertamu di kediamannya beberapa saat lalu.  

Berbekal keberanian melihat kesalahan diri sendiri, pria yang dikaruniai satu buah hati ini, terus mengembangkan usahanya. Sapu ijuk dari pohon aren, yang dirangkai sendiri dengan tangannya, dijajakan berputar kota Malang hingga Dau, setiap hari dengan sepeda jengki. 

Malangnya sepeda yang digunakan sejak awal usaha itu, raib tak lama setelah hutangnya berhasil dilunasi. Yongki lantas menyewa becak, untuk menjajakan sapunya yang semakin banyak. 

‘’Saat itu, saya punya 1 pegawai. Setelah itu berkembang jadi 7 di tahun 1982 saat saya membuka usaha UD Wartono dan mendapatkan izin dari Pemkot Malang waktu itu,’’ jelasnya sembari menunjukkan papan perizinan yang masih tertempel di salah satu dinding di kediamannya tersebut.

Usaha pun mengikuti pasang surut jaman. Bahan baku yang kian langka dan mahal, tak menyurutkan niatnya untuk tetap fokus di usaha sapu. Sampai kesempatan untuk menjual sapi di negeri lain pun masuk.

‘’Dari banyak jalur, saya mendapat kesempatan berjualan sapu ke Eropa dan Asia. Dulu ada banyak negara yang mau beli sapu, tapi setelah teknologi semakin maju, pengguna sapu ijuk semakin menyusut. Tinggal Jepang saja sampai sekarang,’’ tuturnya. Walaupun enggan menyebutkan data, berapa jumlah sapu yang di ekspor, namun catatan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang menyebut, rata-rata ekspor UD Wartono mencapai angka diatas 5.000 unit per bulan. Perkiraan nilainya USD 65 ribu. UD Wartono pun tercatat sebagai satu dari sedikit perusahaan yang mengimpor barang setiap bulannya dari Malang.

Sapunya cap dua macan, dikenal memiliki kualitas terbaik di pasaran lokal. Harga rata-rata di pasaran untuk sapu ijuk berlambang dua harimau mengapit sapu ini, berkisar antara Rp 17 ribu hingga Rp 20 ribu. 

Sementara sapu untuk Jepang, dibuat dengan standar yang berbeda. Karena harus memenuhi keinginan asosiasi pedagang sapu Jepang. Sapu ijuk alami buatanya, banyak diminati negeri matahari terbit itu terutama sepanjang musim dingin.
‘’Sapu dari plastik sintetis, sudah banyak di Cina dan Jepang. Tapi sifat plastik mengeluarkan medan magnet saat musim dingin. Jadinya kotoran malah lengket. Di Jepang masih menggunakan sapu ijuk untuk menyapu teras depan tempat sandal dan jaket dilepas dan digantung. Kalau bagian dalam sudah pakai penyedot debu,’’ bebernya ramah.

Ijuk milik Yongki, didapat dari Jawa Barat dengan sistem bayar di depan. Setiap bulannya, bisa dipastikan armada angkutan barangnya selalu mengusung ijuk dari Jawa Barat ke Malang. Yongki lebih memilih tetap menetap di Malang ketimbang harus hijrah ke Jawa Barat mendekati bahan baku sapunya.
Alasannya sederhana. ‘’Di Malang saya bisa pulang makan, tidak terlalu macet dan fasilitasnya lengkap. Saya sudah disini sejak awal membuat sapu dan akan tetap membuat sapu sampai nanti,’’ ucapnya jelas. (Dyah Ayu Pitaloka)  

Sumber : http://www.malang-post.com/features/58437-sempat-dikalahkan-teknologi-jepang-masih-jadi-langganan



Tidak ada komentar: